Translate

Thursday, July 27, 2017

Jasa Adsense Ketar-ketir



Bagi jasa adsense Ketar-ketir lantaran untuk pendaftaran adsense semakin mudah keterima. bagaimana tidak membauat kaget orang yang baru punya empat artikel TLD dia sudah bisa keterima oleh adsense.

Walau Bagi sorang pemula, Baru bermain blogger mereka selalu merasa kesulitan untuk daftar adsesnse . untuk hari ini sudah banyak jasa yang menyediakan google adsense non hosted ( bisa di gunakain oleh semua wap dan YT). Dengan harga yang sangat murah kisaran 200-an juga ada. Walau di sebagian lapak harganya masih kisaran 700-1jt.

Ia kenyataan itu mamang sangat menyakitkan bagi para penyedia jasa adsense. Namun hal itu sduah terjadi karena untuk keterima adsense tahun2017  ini terbilang cukup mudah. Ia kita sadar bagi seorang blogger kurang sah kalau dia belum keterima google adsense

Sehingga dari sekian blogger sangat memburu adsense di berbagai forum masih banyak oaring yang menanyakan bagai mana tips untuk bisa keterima adsense. Sehingga bagi sebagian blogger yang masih pemula cenderung dia memilih jalan pintas untuk mencari jasa adsense.

Ia untuk sekarang semuanya bisa dibilang serba mudah. Untuk keterima adsense kita tidak harus menunggu terlalu lama atau bahkan yang di sebut dengan tahap review 2. Untu tahun iani ada tapi itu kaeabayakan langsung tayang. Walaupun ada seabagian yang tidak bisa langsung tayang.


Namun juga kita tidak bisa di pungkiri bagi sebagian blogger yang masih awan akan adesense itu terasa sangat sulit. Saking sulitnya bagi blogger pemula cenderung dia mengambil jalan pintas. Atau yang sering kita kenal jalan tikus tuk mendapatkan adsense.

Walau untuk pengalaman bisa di terima di adsense terbilang cukup variatif dalam artian pengalaman setiap blogger itu berbeda. Saya dengar untuk jasa penjualan adsense sudah sangat marak tapi harganya turun cukup signifikan lantaran kita bisa punya adsense cukup menyediakan uang 200 ribu hampir sama dengan harga Domain.

Sekian catatan saya mengenai agen adsense semoga bisa membantu kawan-kawan yang masih usaha keterima atau mencari jasa adsense.

Selanjutnya

Wednesday, July 26, 2017

Pemikiran Ibn Rusyd dan Karyanya yang Tersisa

Pada zaman Ibn Rusyd pengkafiran Bidah itu sudah lazim di ucapkan oleh beberapa golongan Ortodoksi berasal dari kata Yunani “orthodoxos” yang terdiri dari kata “orthos” (lurus atau lempang), dan “doxa” (pendapat atau dogma). Ortodoksi ini ada dan hidup pada setiap agama, terutama setelah meninggalnya pembawa agama (Rasul). Ia dianggap sebagai model ajaran yang (paling) standar dan (paling) pakem, serta dianggap mewakili kebenaran mutlak dalam beragama.


Filosof Muslim seringkali menjadi sasaran utama dalam rangka “pengkafiran” karena dianggap (paling) menyeleweng dari kebenaran ortodoksi—dalam hal ini oleh para ahli fiqh (fuqaha’). Al-Kindi, kemudian puncaknya terhadap al-Farabi dan Ibnu Sina, adalah para filosof Muslim yang berusaha memadukan syari’ah dan filsafat, atau setidaknya menyatakan bahwa filsafat tidak bertentangan dengan agama, maka menjadi pihak yang dituduh menyimpang.

Di saat bersamaan, beberapa kelompok aliran teologi seperti As’ariyah, Muktazilah, Hasywiyah, dan Bathiniyah, saling menyudutkan dengan argumen ke”ortodoksi”an mereka. Puncak ketegangan antarpemikiran Islam ini terjadi setelah “keberhasilan” al-Ghazali (1058-1111) dalam menyumbat pemikiran filosof dalam kehidupan keagamaan Islam pada kurun ke 12 M. Al-Ghazali bahkan disambut pendukungnya sebagai Hujjat al-Islam dan Nashir al-Syari’ah. Zaman pada saat itu mengantarkan Ibnu Rusyd (1126-1198) dalam plataran pemikiran Islam saat itu. Dengan mengusung konsep “takwil” dan “akal merdeka” ia berusaha melakukan restorasi (penataan ulang) pemikiran Islam dengan mengakrabkan filsafat (akal) dengan agama (wahyu). Mengenai riwayat Ibnu Rusyd dia adalah Abu al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Rusyd dilahirkan di Cordova, Andalus, pada tahun 510 H/ 1126 M, sekitar 15 tahun setelah wafatnya Abu Hamid al-Ghazali (1058-1111). Ia lebih populer dengan sebutan Ibnu Rusyd, yang sebenarnya adalah panggilan kakeknya yang berasal dari Jazirah Arabia kemudian menetap di Andalus.
 
Biografi


Dalam periodisasi sejarah Islam, Ibnu Rusyd hidup pada masa periode Klasik. Sebagaimana pembabakan sejarah yang dilakukan Harun Nasution, sejarah Islam dibagi ke dalam tiga periode, yaitu Klasik, Pertengahan, dan Modern. Periode Klasik dimulai pada 650 M sampai 1250 M. Periode ini bisa dibagi menjadi dua; masa kemajuan Islam I (650-1000 M), dan masa disintegrasi (1000-1250 M). Periode Pertengahan dimulai pada 1250 M sampai 1800 M. Periode ini juga dibagi menjadi dua, masa kemunduran pertama (1250-1500 M) dan masa tiga dinasti besar (1500-1800). Sedangkan Periode Modern dimulai pada 1800 sampai sekarang. Sementara menurut periodisasi sejarah Barat, Ibnu Rusyd hidup pada masa periode Pertengahan. Hal ini berdasar pada pembabakan sejarah Barat yang menengarai era Klasik sejak 500 SM sampai jatuhnya Imperium Romawi tahun 600 M.

Setelah itu, Zaman Pertengahan dari tahun 600 M sampai 1550 M, yang kemudian periode ini dibagi menjadi dua; masa kegelapan (the dark age) (600-1300 M), dan masa renaissance (1300-1550 M). Dan periode Modern dari 1550 M sampai sekarang. Dalam sejarah filsafat Barat juga dikenal era kontemporer, yaitu mulai abad XIX sampai abad XX. Orang Barat menyebut Ibnu Rusyd dengan sebutan Averrois. Sebutan ini muncul akibat dari terjadinya metamorfose bahasa Yahudi-Spanyol-Latin. Oleh orang Yahudi, kata Arab Ibnu diucapkan dalam kata Ibrani (bahasa Yahudi) dengan Aben.


Sedangkan dalam standar Latin, Rusyd menjadi Rochd. Dengan demikian, kata Ibnu Rusyd menjadi Aben Rochd. Akan tetapi, dalam bahasa Spanyol, huruf konsonan “b” diubah menjadi “v”, maka Aben menjadi Aven Rochd. Melalui asimilasi huruf-huruf konsonan dalam bahasa Arab (disebut idgham) kemudian berubah menjadi Averrochd. Karena dalam bahasa Latin tidak terdapat huruf “sy”, maka “ch” diganti “s” menjadi Averrosd. Kemudian rentetan “s” dan “d” dihilangkan sehingga menjadi Averross. Agar tidak terjadi kekacauan antara huruf “s” dengan “s”, maka antara “o” dan “s” diberi sisipan “e” sehingga menjadi Averoes, dan “e” sering mendapat tekanan sehingga menjadi Averrois. Ibnu Rusyd berasal dari keluarga terhormat yang terkenal sebagai tokoh keilmuan. Kakek dan ayahnya adalah mantan hakim di Andalus. Faktor keluarga yang memiliki ghirrah yang tinggi terhadap keilmuan, memengaruhinya untuk menjadi ilmuwan besar, di samping faktor kecerdasan dan kegeniusannya. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika ia menjadi pewaris ilmu keluarganya dan berhasil menjadi seorang sarjana yang menguasai berbagai disiplin ilmu; seperti hukum, filsafat, kedokteran, astronomi, sastra Arab, dan lainnya.

Ibnu Rusyd lahir pada suasana politik yang memanas meskipun dalam suasana ilmiah tidak demikian karena Daulah Murabithun mendekati ambang keruntuhan. Pada masa Murabithun, pemegang kendali pemikiran adalah para ulama fiqh yang bersikap antipati terhadap ilmu-ilmu akali, khususnya filsafat. Pada masa itu, gelombang pengafiran terhadap filosof begitu besar, terutama akibat pengaruh al-Ghazali (1058-1111) di Timur, yang kemudian dibawa ke Barat oleh Ibnu Tumart (1078-1130) dengan mendirikan Dinasti Muwahhidun. Dominasi ulama fiqh yang begitu besar ini mengakibatkan pengaruh filsafat yang sebelumnya pernah ada (terutama filsafat al-Farabi dan Ibnu Sina di wilayah Timur) meredup, meskipun saat itu sedang hidup filosof Ibnu Bajah (w. 1138) dan Ibnu Thufail (1110-1185) di wilayah Barat. Dalam keadaan seperti inilah, pada tahun 1153, Ibnu Rusyd pindah ke Maroko, memenuhi permintaan khalifah Dinasti Muwahhidun, Abu Ya’qub ibn Abd al-Mu’min. Khalifah ini banyak membangun sekolah dan lembaga ilmu pengetahuan, dan meminta Ibnu Rusyd membantunya dalam mengelola lembaga tersebut.

Dikisahkan, akibat tekanan terhadap dunia filsafat, ketika Khalifah ini meminta Ibnu Rusyd menjelaskan beberapa hal mengenai filsafat, ia tidak menjawab langsung akan tetapi menunggu sambil menyelami situasi sebelum akhirnya ia mengatakan tentang keterlibatannya dalam filsafat. Namun demikian, kiprah Ibnu Rusyd dalam dunia filsafat ini justru mendapat dukungan dari Khalifah serta ditugaskan untuk menafsirkan karya Aristoteles. Dan karena keberhasilannya dalam melaksanakan tugas penafsiran ini, ia menjadi orang dekat Khalifah dan mendapat jabatan-jabatan tinggi. Pada tahun 1169 Ibnu Rusyd diberi jabatan qadli (hakim) di Isabella dan tahun 1171 dinaikkan jabatannya menjadi qadli al-qudlat (hakim kepala) di Cordova. Ketika Ibnu Thufail usianya telah senja sebagai dokter pribadi Khalifah, Ibnu Rusyd ditunjuk untuk menggantikannya pada tahun 1182. Khalifah Abu Ya’qub dan jajaran Dinasti Muwahhidun sangat kagum atas keluasan pandangan Ibnu Rusyd ketika berhasil membuat komentar terhadap filsafat Aristoteles; pendek (talkhis), sedang (tausith), dan panjang (tafsir). Karena demikian bagus dan mengesankannya tentang filsafat Aristoteles, maka seolah orang tidak perlu membaca naskah aslinya. Padahal, ia tidak menguasai bahasa Yunani yang digunakan Aristoteles dalam karyanya

Untuk keahliannya ini, ia diberi gelar kehormatan The Famous Comentator of Aristotle oleh Dante Alagieri (1265-1321), penulis buku Divine Comedy. Suatu hal yang sangat mengagumkan ialah hampir seluruh hidupnya ia pergunakan untuk belajar, membaca, dan menulis. Menurut Ibnu Abrar,—walaupun rasanya terlalu fantastis—Ibnu Rusyd tidak pernah meninggalkan membaca dan menulis, kecuali pada malam ayahnya meninggal dan malam perkawinannya Barangkali inilah, di samping faktor dukungan dari penguasa, ia mampu melahirkan banyak karya-karya ilmiah dalam berbagai bidang ilmu.

Selain produktifitas karya ilmiahnya yang tinggi, kelebihan lain dari Ibnu Rusyd dalam karyanya adalah gaya penuturannya yang mencakup komentar, koreksi, dan opini sehingga karyanya lebih hidup dan tidak sekadar deskripsi belaka. Karya-karya Ibnu Rusyd meliputi berbagai ilmu; filsafat, fiqh, ushul fiqh, bahasa, kedokteran, astronomi, politik, dan akhlaq. Buku-bukunya adakalanya merupakan genuine karyanya sendiri, ada pula ulasan dan ringkasan terhadap karya orang lain. Karena penghargaannya yang sangat tinggi terhadap Aristoteles, maka tidak mengherankan jika ia memberikan perhatian yang besar untuk mengulas dan meringkas filsafat Aristoleles. Buku-buku lain yang telah diulasnya adalah buku-buku karangan Plato, Iskandar Aphrodisias, Plotinus, Galinus, al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Bajah, dan al-Ghazali. Ibnu Rusyd menulis sejak usia 34 tahun hingga akhir usianya, 72 tahun. Selama hampir 40 tahun ini, ia menghasilkan sepuluh ribu lembar yang terdiri dari berbagai buku, baik yang besar dan berjilid-jilid maupun yang kecil berupa risalah. Sebagaimana disitir Suparman Syukur, Ernest Renan mencatat karya Ibnu Rusyd sebanyak 78 buah buku yang perinciannya terdiri dari 28 buah dalam bidang filsafat, 20 buah dalam bidang kedokteran, 8 buah dalam bidang fiqh, 5 buah dalam bidang teologi, 4 buah dalam bidang astronomi, 2 buah dalam bidang sastra Arab, dan 11 buah dalam bidang disiplin lainnya.

Setelah Abu Ya’qub meninggal, anaknya yang bernama Abu Yusuf al-Mansur menggantikannya sebagai khalifah. Ia sangat mengagumi dan menghormati Ibnu Rusyd melebihi dari yang dilakukan khalifah-khalifah sebelumnya. Pengaruh Ibnu Rusyd semakin meluas, sehingga pikiran dan pendapatnya selalu menjadi bahan kajian yang hampir tidak pernah putus. Akan tetapi pada 1195, keadaan berubah sama sekali. Sekelompok fuqaha dan ulama lain menuduhnya sebagai seorang zindiq dan kafir. Khalifah akhirnya juga “terpengaruh” oleh keadaan ini dan memecatnya dari jabatan hakim dan mengasingkannya di perkampungan Yahudi, Elisana (Lucena), yang terletak sekitar 50 kilometer sebelah tenggara Cordova. Buku-bukunya dibakar, terutama buku-buku filsafat, kecuali buku-buku kedokteran, astronomi dan matematika. Menurut Nurcholish Madjid, terjadinya tindakan Khalifah yang tragis ini pada dasarnya atas pertimbangan politis belaka.

Hal ini karena Khalifah mendapat desakan dari para ulama fiqh yang memiliki banyak massa. Sementara bagi Khalifah sendiri, tindakan itu diambil untuk keperluan mobilisasi massa (yang kebanyakan di bawah pengaruh ulama fiqh) untuk menghadapi pemberontakan Kristen Spanyol. Suasana mencekam ini dimanfaatkan oleh para ulama fiqh beserta pendukungnya yang menolak pemikiran Ibnu Rusyd untuk melenyapkan karya-karyanya di bawah legitimasi Khalifah, sekaligus untuk mencapai posisi strategis dalam politik yang pernah hilang. Ibnu Rusyd akhirnya menjalani hukuman pengasingan di Lucena, tempat perkampungan Yahudi tersebut. Namun demikian, Ibnu Rusyd justru lebih leluasa dalam mengembangkan pemikirannya di pengasingan ini karena ia memiliki banyak pengikut yang mengaguminya dari kalangan Yahudi dan bangsa Latin.

Keahlian Ibnu Rusyd dalam mengulas pemikiran Aristoteles menjadi daya tarik dan kekaguman tersendiri bagi bangsa Eropa, meskipun di pihak pemikiran Islam saat itu mendapat respon sebaliknya. Pada masa menjalani hidup di pengasingan ini, Ibnu Rusyd mendapat banyak pengikut yang sekaligus menyelamatkan pemikiran dan karya-karyanya melalui penerjemahan ke dalam bahasa Ibrani dan Latin. Seiring jalannya waktu, atas jasa baik para pemuka kota Sevilla yang menghadap Khalifah dan membujuknya untuk membebaskan Ibnu Rusyd, akhirnya ia dibebaskan. Ibnu Rusyd kemudian pergi ke Maroko, di mana kemudian ia meninggal di Marakesh dalam usia 72 tahun pada 9 Shafar 595 H/ 10 Desember 1198 M. Setelah tiga bulan berlalu, jenazahnya dipindahkan ke Cordova untuk dikebumikan di makam keluarga.

 Di antara karya-karya besar Ibnu Rusyd yang terselamatkan dan masih banyak digunakan adalah

 1. Tahafut al-Tahafut, berisikan pemikiran filsafat Ibnu Rusyd dan kritiknya terhadap karya al-Ghazali yang berjudul Tahafut al-Falasifah

 2. Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, berisikan pandangan dan uraian-uraian Ibnu Rusyd dalam bidang fiqh;

 3. Fashl al-Maqal fi Ma baina al-Hikmah wa al-Syari’at min al-Ittishal, berisikan kajian tentang korelasi antara filsafat dan agama, serta upaya memadukannya;

 4. Al-Kasyf ‘an Manahij al-Adillat fi ‘Aqa’id al-Millah, berisikan kritik terhadap metodologi para ahli kalam dan para sufi

 5. Syarh Kitab al-Sama’ wa al-Ardl li Aristo, berisikan komentar dan tafsiran filsafat Ibnu Rusyd terhadap filsafat Aristoteles tentang persoalan langit dan bumi;

 6. Syarh Kitab Ma Wara’a al-Tabi’ah li Aristo, berisikan kajian metafisika menurut Aristoteles;

 7. Al-Masa’il fi al-Falsafah, berisikan pembahasan dan pendapat Ibnu Rusyd seputar persoalan filsafat; 8. Risalah fi Ta’alluq ‘Ilm Allah ‘an ‘Adam Ta’alluqihi bi al-Juz’iyyat, berisikan pembahasan tentang korelasi ilmu Allah dengan persoalan-persoalan kecil

; 9. Naqd Nadzariyat Ibn Sina ‘an al-Mumkin li Dzatihi wa al-Mumkin li Ghairihi, berisikan kritik Ibnu Rusyd terhadap pandangan Ibnu Sina;

10. Risalah fi al-Wujud al-‘azali wa al-Wujud al-Mu’aqqat, berisikan tentang keazalian dan keabadian alam; dan,

11. Risalah fi al-‘Aql wa al-Ma’qul, berisikan pembahasan tentang batas-batas kemampuan akal.


 Untuk membhas menagai ibnu rusy kita akan bahas lebih lanjut dalam tulisan saya berikutnya Trimakasih

Selanjutnya

Sunday, July 23, 2017

Politik Aristoteles

Sebagaimana sudah lazim kita ketehui bersama bahwa Aristoteles merupakan murid dari Plato. Aristoteles lahir di Macedonia dan hidup pada masa 384 SM hingga 322 SM. Di awal masa menuju dewasanya dia pergi ke Athena dan belajar bersama Plato. Aristoteles tumbuh sebagai manusia yang tidak memiliki batasan dalam hal minat dan pengetahuan. Pengetahuannya selalu terjewantahkan kedalam bentuk-bentuk tulisan. Jika Plato memiliki buku Politeia sebagai mahakaryanya, Aristoteles memiliki karya yang diberi nama Politik (Politica). Dia memiliki pandangan yang berbeda dengan yang berbeda dengan gurunya (Plato) dalam memahami hakikat negara. Dia berpendapat bahwa manusia adalah makhluk politik (zoon Politikon), makhluk sosial. Zoon politikon diartikan sebagai manusia tidak dapat hidup tanpa bergantung dengan manusia lainnya. Manusia akan saling membutuhkan satu sama lain di dalam sebuah masyarakat.

Dalam konsep inilah Aristoteles menganggap negara sebagai sebuah hasil hubungan dari bagian-bagian yang ada dari yang terkecil yaitu, individu, hingga yang terbesar yaitu kampung. Setiap individu pada hakikatnya menghendaki kawan dalam hidupnya. Selanjutnya dalam melihat ketergantungan yang saling mengikat antara sesama manusia ini yang mendorong terbentuknya suatu negara. Negara lahir atas dasar kebutuhan warga negaranya. Dalam hal yang lebih sederhana bahkan Aristoteles menganalogikan negara sebagai sebuah tubuh manusia yang terdiri atas organ (individu) yang saling bergantung. Gabungan dari berbagai kelompok individu ini yang kemudian menjadi negara. Menurut Aristoteles, negara adalah lembaga politik yang paling berdaulat, meski bukan berarti negara tidak memiliki batasan kekuasaan.

Kekuasaan tertinggi terbentuk karena tujuan yang dimilikinya adalah untuk mensejahterakan seluruh warga negara, bukan individu-individu tertentu (seperti Plato). Tujuan negara ini memberikan gambaran bahwa negara ada untuk memberikan kebahagiaan bagi seluruh warganya. Negara lahir untuk menjamin kebaikan bagi rakyatnya. Dengan kata lain, baagi Aristoteles, dia menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.


Memaknai Kekuasaan
Aristotiles memaknai sebuah kekuasaan, dia mengklasifikasikan dalam hal siapa yang selayaknya memegang kekuasaan dan jenis kekuasaan. Dalam konteks siapa yang layak berkuasa, Aristoteles berbeda dengan Plato yang membatasi hak atas kepemilikan. Sementara Aristoteles membenarkan bahwa setiap manusia berhak atas kepemilikan harta dan barang. Dalam hal ini Aristoteles menganggap hak kepemilikan berkaitan dengan kebahagiaan. Sebagai tujuan negara yang mengedepankan kebahagiaan rakyatnya, maka negara tidak melarang bagi manusia untuk memiliki sumber harta.

Hal yang perlu digarisbawahi adalah Aristoteles tidak pernah membenarkan untuk seseorang menumpuk kekayaannya. Milik baginya adalah alat; alat untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari dan alat supaya ada kesenggangan waktu untuk mencurahkan perhatian kepada masalah masyarakat. Sebagai alat ia dipergunakan, tetapi tidaklah alat yang menjadi tujuan. Dari segi kepemilikan ini, Aristoteles membagikan masyarakat menurut kelompok kekayaannya yang akan berimbas pada konstitusi ideal.

 Menurut Aristoteles, kemiskinan akan mengurangi perhatian seseorang untuk melihat pada persoalan-persoalan masyarakat. Sedangkan kekayaan yang berlebih akan berimbas pada seseorang melupakan persoalan-persoalan sekitarnya. Keduanya akan memiliki keterbatasan waktu untuk mengurusi persoalan yang menyangkut kehidupan bermasyarakat. Namun, terdapat kelompok menengah dalam jumlah besar yang memiliki harta secukupnya namun tidak miskin, kelompok ini yang menurut Aristoteles sebagai kelompok yang tepat memegang kekuasaan.

 Mengenai hal tersebut Aristoteles membagi kekuasaan berdasarkan jumlah orang yang memegang kekuasaan. Bentuk negara yang benar menurutnya yaitu Monarki, Aristokrasi, dan Politea (Negara Konstitusional), sedangkan deviasi negara yang benar yaitu Tirani, Oligarki, dan Demokrasi. Pada pendapatnya yang paling ideal bagi Aristoteles adalah monarki, karena diperintah oleh seorang raja filsuf yang dapat berkuasa untuk kepentingan rakyat. Namun pada kenyataannya monarki dengan raja filsufnya seakan menjadi hal yang tidak pernah ada dalam masyarakat.

Sehingga dia lebih melihat bahwa aristokrasi lebih realistis untuk diterapkan pada suatu negara. Ketiga bentuk kekuasaan yang dijabarkan Aristoteles, baginya yang paling memungkinkan untuk diterapkan dalam realitas adalah politea atau demokrasi. Walaupun demikian, dia mensyaratkan dengan tegas bahwa penerapan demokrasi harus berdasarkan hukum. “Karena dalam demokrasi yang berdasarkan hukum, warga negara mendapat tempat istimewa, dan disana tidak ada demagog. Tetapi dimana hukum tidak berkuasa, disana demagog muncul.”

Memaknai Hukum 

Aristotiles tidak segan-segan dalam memaknai sebuah Hukum mendapatkan tempat yang tertinggi dalam pemikiran Aristoteles. Hanya hukum yang dianggap mampu mengawal semua bentuk kekuasaan yang diterapkan. Pernyataan di atas menggambarkan dengan jelas bagaimana kedudukan hukum pada sebuah sistem politik demokrasi. Menurut Aristoteles, apapun bentuk kekuasaan yang diterapkan apakah itu demokrasi maupun oligarki, ketika hukum dijadikan sebagai panduan dalam pengambilan keputusan yang patuh terhadap hukum, maka kebajikan akan ada dalam negara tersebut.

Tujuan negara menurut Aristoteles adalah ketika kebajikan dapat dirasakan oleh rakyat. Kebajikan hanya akan terpenuhi ketika keadilan diberlakukan dengan benar. Seorang penguasa akan dikatakan adil jika hukum ditegakkan. Keadilan adalah sesuatu yang berkaitan dengan moral. Aristoteles tidak mengartikan keadilan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan persamaan. Dia lebih mengedepankan persamaan hak setiap orang pada ukuran keseimbangan bukan pada persamaan mutlak (jumlah).

Keadilan adalah ketika seseorang merasakan hak yang sama dengan orang lain, dia tidak mengambil sesuatu yang bukan merupakan haknya untuk menjadi miliknya. Yang paling penting adalah dia menganggap hukum harus adil dan seimbang, bahkan pada masanya Aristoteles menganggap kedudukan adalah sesuatu yang bisa dirasakan oleh setiap warga negara yang dapat menjalankannya dengan adil. Disini Aristoteles melihat keadilan dari sudut hak, sedangkan Plato memandangnya dari sudut kewajiban. Itu yang kemudian manjadi pembeda yang sangat jelas ketika keadilan merupakan hak maka dibutuhkan hukum yang tegas agar hak tersebut dapat terjaga dengan baik. Sedangkan ketika keadilan adalah kewajiban memberikan peran yang lebih besar kepada negara untuk mewujudkan keadilan bagi rakyatnya, tanpa melihat ada hak yang dimiliki oleh rakyat.

Itulah cacatan saya mengenai pemikiran Aristotiles dalam memakani politik dan negara semoga bisa membantu bagi mereka yang ingin tahu bagaimana berpoltik yang sebenarnya sekian salam mahasiswa
Selanjutnya

Friday, July 21, 2017

K.H Abdul Halim Majalengka

Sebagaimana kita tahu bersama bahwa K.H Abdul Halim majalengka dia dikenal sebgai alim ulama juga termasuk tokoh islam yang memperjuangkan negara ini. shingga banyak kemudia yang bialng bahwa beliau adalah termasuk dari pahlawan nasional, dia juga lebih dikenal dengan nama K.H. Abdul Halim Majalengka (lahir 26 Juni 1887, di Desa Ciborelang, Kecamatan Jatiwangi, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat - meninggal 7 Mei 1962, di Majalengka pada umur 75 tahun) adalah salah seorang tokoh pergerakan nasional, tokoh organisasi Islam, dan ulama yang terkenal toleran dalam menghadapi perbedaan pendapat antar ulama tradisional dan pembaharu.

Dia lahir dengan nama kiai Otong Syatori. Ia merupakan anak terakhir dari delapan bersaudara dari pasangan K.H. Muhammad Iskandar dan Hj. Siti Mutmainah. Selain mengasuh pesantren, ayahnya juga seorang penghulu di Kawedanan, Jatiwangi.Sebagai anak yang dilahirkan di lingkungan keluarga pesantren, Kiai Halim telah memperoleh pendidikan agama sejak balita dari keluarganya maupun dari masyarakat sekitar. Ayahnya meninggal ketika Kiai Halim masih kecil, sehingga ia banyak diasuh oleh ibu dan kakak-kakaknya.Sejak kecil Kiai Halim tergolong anak yang gemar belajar.Terbukti ia banyak membaca ilmu-ilmu keislaman maupun ilmu-ilmu kemasyarakatan.

Setelah berumur 10 tahun Kiai Halim belajar al-Qur'an dan Hadis kepada K.H. Anwar, yang sekaligus menjadi guru pertamanya di luar keluarganya sendiri.K.H. Anwar merupakan seorang ulama terkenal dari Ranji Wetan, Majalengka Sebagai penggemar ilmu, Kiai Halim juga mempelajari disiplin ilmu lainnya, tidak pandang apakah yang menjadi gurunya sealiran (Islam) ataupun tidak, asalkan dapat bermanfaat bagi perjuangannya kelak Hal itu terlihat ketika Kiai Halim belajar bahasa Belanda dan huruf latin kepada Van Hoeven, seorang pendeta dan misionaris di Cideres, Majalengka.

Kiai Halim menikah dengan Siti Murbiyah puteri Kiai Ilyas (Penghulu Landraad Majalengka) saat beliau berumur 21 tahun. Pernikahan mereka dikaruniai tujuh orang anak. Ketika menginjak usia dewasa, Kiai Halim mulai belajar di berbagai Pondok Pesantren di wilayah Jawa Barat. Di antara pesantren yang pernah menjadi tempat belajar Kiai Halim.

Salah satu pesantren yang pernah ngaji adalah Pesantren Lontang jaya, Penjalinan, Leuimunding, Majalengka, dalam asuhan Kiai Abdullah Pesantren Bobos, Kecamatan Sumber, Cirebon, asuhan Kiai Sujak. Pesantren Ciwedus, Timbang, Kecamatan Cilimus, Kabupaten Kuningan, asuhan Kiai Ahmad Shobari. Dan yang terakhir Abdul Halim berguru kepada K.H. Agus ,Kedungwangi, Kenayangan, Pekalongan, sebelum akhirnya kembali memperdalam ilmunya di Pesantren Ciwedus.
Walaupun beliau sibuk belajar, Kiai Halim masih menyempatkan dirinya untuk berdagang.Ia berjualan minyak wangi, batik, dan kitab-kitab pelajaran agama. Setelah banyak belajar di beberapa pesantren di Indonesia, Kiai Halim memutuskan untuk pergi ke Mekah untuk melanjutkan mendalami ilmu-ilmu keislaman.Di Mekah, Kiai Halim berguru kepada ulama-ulama besar di antaranya Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama asal Indonesia yang menetap di Mekah dan menjadi ulama besar sekaligus menjadi Imam di Masjidil Haram.

Waktu beliau menuntut ilmu di Mekah, Kiai Halim banyak bergaul dengan K.H. Mas Mansur yang kelak menjadi Ketua Umum Muhammadiyah dan K.H. Abdul Wahab Hasbullah yang merupakan salah seorang pendiri Nahdlatul Ulama dan Rais Am Syuriyah (Ketua Umum Dewan Syuro) Pengurus Besar organisasi tersebut setelah Kiai Hasyim Asy’ari meninggal pada tahun 1947. Kedekatan Kiai Halim terhadap kedua orang sahabatnya yang berbeda latar belakang antara pembaharu dan tradisional inilah yang membuatnya terkenal sebagai ulama yang amat toleran.

Setelah tiga tahun belajar di Mekah, Kiai Halim kembali ke Indonesia untuk mengajar. Pada tahun 1911, ia mendirikan lembaga pendidikan Majlis Ilmi di Majalengka untuk mendidik santri-santri di daerah tersebut. Setahun kemudian setelah lembaga pendidikan tersebut telah berkembang, Kiai Halim mendirikan sebuah organisasi yang bernama Hayatul Qulub, yang kemudian Majlis Ilmi menjadi bagian di dalamnya.

Dia mendirikan Hayatul Qulub (Hayat al-Qulub) tahun 1912. Yang beliau ajarkan di sana tidak hanya bergerak di bidang pendidikan saja, melainkan juga masuk ke bidang perekonomian Hal ini disebabkan Kiai Halim ingin memajukan lapangan pendidikan sekaligus perdagangan. Maka anggota organisasinya bukan saja dari kalangan santri, guru, dan kiai, tetapi juga para petani dan pedagang. Namun organisasi yang bergerak di bidang dagang tersebut tentu akan mempunyai saingan dagang, khususnya dengan pedagang Cina yang pada masa itu cenderung lebih berhasil di bidang perdagangan. Karena pemerintah Hindia Belanda lebih banyak membela kepentingan pedagang-pedagang Cina yang diberi status hukum lebih kuat dibanding kelompok pribumi.

Persaingan tersebut memuncak ketika pemerintah Hindia Belanda menuduh organisasi Hayatul Qulub sebagai biang kerusuhan dalam peristiwa penyerangan toko-toko milik orang Cina yang terjadi di Majalengka pada tahun 1915. Akibatnya pemerintah Hindia Belanda membubarkan Hayatul Qulub dan melarang meneruskan segala kegiatannya. Setelah dibubarkannya organisasi tersebut, Kiai Halim memutuskan untuk kembali ke Majlis Ilmi untuk tetap menjaga kepentingan perjuangan Islam, terutama dalam bidang pendidikan.

Tepat pada tanggal 16 Mei 1916, Kiai Halim secara resmi mendirikan lembaga pendidikan baru yang ia beri nama Jam’iyah al-I’anat al-Muta’alimin.Lembaga pendidikan ini lebih baik dari sebelumnya, karena Kiai Halim menerapkan sistem klasikal dengan lama kursus lima tahun dan sistem koedukasi. Dan bagi yang sudah mencapai kelas tinggi akan menerima pelajaran bahasa Arab. Setahun kemudian, HOS Cokroaminotomemberi dukungan terhadap lembaga pendidikan tersebut, yang akhirnya dikembangkan dan diubah namanya menjadi Perserikatan Ulama yang lebih dikenal dengan PUI (Perserikatan Ulama Indonesia).Perserikatan tersebut meemiliki panti asuhan, percetakan, dan sebuah pertenunan.

 itulah informasi singkat menganai KH abdul halim majalengka semoga bisa menmbah wawasan kita mengenai refrensi tokoh ulama Nusantara
Selanjutnya

Wednesday, July 19, 2017

Berpolitik Seperti Plato

Melihat gonjang-ganjing politik negara hari ini perlulah kiranya kita melisik kebelakang menelaah filsuf Yunani Kuno, Plato, mengenai Negara, Hukum, dan Kekuasaan. Kedua pemikir ini merupakan pemikir yang lahir pada masa Yunani kuno (klasik). Pada konteks pemikiran politik, pemikiran Plato dan Aristoteles menjadi induk dari pemikiran-pemikiran selanjutnya, seperti Thomas Hobbes, Thomas Aquinas, Agustinus, John Locke, J.J Rousseau, Montesqueu dan lain-lain. Pemikiran keduanya masih menjadi referensi yang masih dipegang dalam melihat persoalan-persoalan masa kini. Pandangan Plato dan Aristoteles dalam melihat kekuasaan dan keadilan serta dalam melihat negara kota memberikan acuan dasar bagi pemikiran politik untuk memetakan persoalan politik.

Kita tahu plato tidak lahir dengan pemikiran kritis yang datang dengan sendirinya. Plato merupakan murid dari filsuf yang bernama Socrates. Peradaban manusia yang telah lama ada menjadi bukti eksistensi negara sebagai tempat manusia berkumpul dan saling berinteraksi. Dalam sejarah kita mengenal kota-kota kuno seperti Jerussalem, Kairo, Babilonia, Memphis, Alexandria dan beberapa kota lainnya di kawasan Mediterania, termasuk Yunani. Pemikiran politik yang lahir saat itu tidak hanya muncul tiba-tiba. Masyarakat Yunani kuno hidup dengan melihat hal-hal yang saling mempengaruhi dikehidupannya. Masyarakat Yunani kuno saat itu telah melepaskan diri dari cara berpikir yang menaruh kecenderungan untuk menerima saja apa yang tiba; yang meletakkan segala sesuatu pada nasib dan ketentuan yang datang dari alam ghaib, dan mendasarkan kejadian di dalam alam ini pada kepercayaan dan keyakinan

Pandangannya yang Kritis untuk melihat segala sesuatu dengan akal nalar mendorong masyarakat Yunani kuno untuk dapat mendorong kehidupan ke arah tata kelola yang lebih baik. Selain itu, kondisi kehidupan Yunani kuno yang hidup dalam ruang lingkup yang cenderung tidak terlalu luas dan terbatas, mempermudah mereka untuk mengelola kehidupan politiknya. Jika kita melihat sebagai ilustrasi kehidupan masyarakat yang hidup dalam sebuah pulau kecil akan berpeluang saling mengenal satu sama lain dibandingkan dengan masyarakat yang hidup pada kelompok sosial yang lebih plural dan besar.

 Dalam melihat latar belakang kondisi sosial Yunani kuno ini Noer memberikan sebabnya pada tiga poin, pertama, negara yang disebut polis sering mengalami sifat pemerintahan. Kedua, yang menimbulkan perangsang bagi menjawab permasalahan politik, adalah karena bicara dan bukan kekerasan senjata, yang lebih diutamakan. Ketiga, apa yang disebut negara mereka samakan dengan masyarakat, dan sebaliknya masyarakat identik dengan negara

Pemikiran awal dari Socrates mengawali terbukanya gerbang diskursus pada masa Yunani kuno. Socrates sebagai seorang filsuf memiliki metode yang sangat baik dalam membedah pemikiran lawan bicaranya. Melalui karya monumental Plato yaitu Republik (Politeia) dapat terlihat bagaimana Plato menggambarkan sosok gurunya dalam menggunakan metodenya. Sikap metode ini sering terkenal dengan istilah ironi Socrates. Dia mengaku sebagai sebuah gelas kosong yang secara terus menerus memberikan pertanyaan kepada lawan bicaranya. Setiap jawaban yang diberikan akan langsung disusul oleh pertanyaan selanjutnya yang akan melahirkan kebuntuan sang lawan bicara. Pada akhirnya hanya akan membuka pemahaman lawan bicara yang sebenarnya.

 Dalam melihat persoalan ini Plato sebagai murid Socrates dalam melihat fenomena yang ada saat itu. Melalui makalah ini penulis akan membedah dan membandingkan pemikiran politik dari Plato dan Aristoteles tentang negara, kekuasaan dan hukum. Keduanya memiliki pandangan yang tidak jauh berbeda, namun ada beberapa hal pandangan berbeda dari Aristoteles terhadap gurunya, Plato.

Pemikiran Plato Tentang Negara

Plato lahir pada tahun 429 Sebelum Masehi (SM) dan meninggal dunia pada tahun 347 SM. Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, Plato adalah murid dari Socrates yang sangat dipengaruhi oleh pemikirannya. Dalam Republik (Politeia) Plato sangat menjelaskan secara mendetail bagaimana pemikiran dari Socrates. Plato memandang hal yang paling penting dalam kehidupan manusia adalah keadilan. Politeia memberikan gambaran kepada kita bagaimana seharusnya negara bertindak.

Menurut Ernest Baker, Politeia membicarakan empat hal besar: pertama, mengenai metafisika, yang mencari dan membicarakan apa sebenarnya hakekat segala yang ada ini; kedua, mengenai etika, yaitu tentang sikap yang benar dan baik, dan sebaliknya; ketiga, mengenai pendidikan yang harus dijalani seseorang dalam hidup ini, dan akhirnya mengenai pemerintahan yang seharusnya, yang ideal.

Keempat hal tersebut menunjukkan keterkaitan pemikiran Plato dalam melihat negara. Terutama poin keempat yang memastikan bagaimana negara yang seharusnya. Menurut Plato, keadilan merupakan sesuatu yang harus ada dalam negara. Segala sesuatu yang dilakukan oleh negara harus bertujuan untuk mencapai kebajikan. Kebajikan hanya akan terwujud hanya ketika manusia berpengetahuan. Pengetahuan adalah suatu kebajikan. Pengetahuan akan membawa kebajikan kepada manusia. Melalui pengetahuan seseorang dapat mengetahui hal yang baik maupun buruk. Dengan demikian orang tersebut dapat melihat kebajikan melalui pengetahuan yang dimilikinya.

Plato menganggap pendidikan akan menciptakan manusia yang berpengetahuan. Pendidikan tidak hanya sebagai tempat mempelajari sesuatu, tetapi melalui pendidikan akan melahirkan manusia yang dapat berpikir. Plato menghendaki seorang pemimpin yang baik adalah seorang The Philosopher King (Seorang Raja Filsuf). Seorang Raja Filsuf memiliki pengetahuan yang tidak dimiliki oleh rakyatnya. Raja Filsuf dapat memutuskan apa yang baik bagi rakyatnya. Hanya melalui Raja Filsuf kebajikan akan diperoleh. Plato menganalogikan seorang Raja filsuf sebagai seorang dokter. Raja filsuf harus memahami berbagai gejala penyakit masyarakat, mendeteksinya sejak dini, mampu melakukan diagnosa, dan mencari cara bagaimana menyembuhkan penyakit itu.

Kekuasaan dalam pandangan Plato

Kondisi suasana perebutan kekuasaan yang terjadi pada saat zaman Yunani Kuno sangat mempengaruhi pandangan Plato dalam melihat bentuk kekuasaan yang ideal. Dari pandangannya mengenai pentingnya seorang raja filsuf dalam suatu negara menunjukkan keberpihakan Plato pada sistem politik yang bersifat monarki dibawah kuasa satu orang. Raja filsuf dianggap sebagai seseorang yang dapat menjaga agar suatu negara dapat bertahan.

Pada sejarahnya, Plato mempelajari bentuk kekuasaan yang ideal pada saat terjadi perebutan kepemimpinan di Yunani kuno antara dua negara utama, Sparta dan Athena. Hal ini terjadi pada Perang Peloponnesos (431-404) yang pada akhirnya memenangkan Sparta. Plato melihat kekalahan Athena tidak hanya disebabkan oleh faktor eksternal yang disebabkan ketangguhan pasukan Sparta, namun disebabkan faktor internal lemahnya pasukan Athena. Bentuk kekuasaan Aristokratis Militeristis yang diterapkan Sparta menjadikannya lebih unggul dalam mempersatukan negara dibandingkan dengan kekuasaan demokratis Athena.

“Demokrasi karena bertanggung jawab atas kelemahan keadaan kota Athena dan oleh karena itu ia menyerangnya, berpikir bahwa suatu bentuk pemerintahan yang otoriter akan bisa menjamin stabilitas”

Menurut Plato demokrasi hanya akan menimbulkan kekacauan sosial. Hal ini diperoleh sebagai hasil dari kebebasan yang diperoleh setiap orang. Kebebasan untuk mengkritik siapapun termasuk penguasa. Kondisi seperti ini akan sulit dikontrol ketika orang saling mengabaikan hak orang lainnya yg juga memiliki hak yang sama untuk mengkritik. Jika melihat lebih dalam, hal ini bukannya akan memperkuat negara tersebut, tapi menghasilkan perdebatan yang tidak terelakkan dari internal negara tersebut. Hal ini yang terjadi pada Athena ketika terjadi perebutan kekuasaan Yunani kuno.

Dalam istilah Plato, demokrasi itu, “penuh sesak dengan kemerdekaan dan kebebasan berbicara dan setiap orang dapat berbuat sekehendak hatinya.” Hal ini menunjukkan secara jelas ketidakberpihakan Plato pada demokrasi. Demokrasi menurutnya pada akhirnya hanya akan melahirkan pemerintahan tirani. Sehingga dalam hal kekuasaan Plato menganggap yang terbaik adalah sistem monarki.

 Hukum Dalam Persepktif Plato

Pada konteks hukum, Plato memandang setiap orang memiliki hak yang sama di depan hukum. Hal ini dijelaskan Plato pada bukunya yang berjudul Nomoi. Jika pada Politeia dia membagi kelas-kelas kepada Penguasa, Pembantu Penguasa dan Pekerja, yang memiliki hak yang berbeda. Namun pada Nomoi Plato menempatkan pengusaha (pembantu penguasa) tidak diatas hukum, melainkan sebagai penjaga hukum. Pandangan Plato terkait tidak adanya hak atas milik menjadi berbeda pada Nomoi. 

Menurut Plato, hukum adalah sesuatu  yang mengatur segala sendi kehidupan manusia termasuk moral. Plato tetap melihat kebajikan sebagai tujuan dari negara. Moral menduduki posisi tertinggi dalam hukum. Dengan kata lain, pemberlakuan hukum harus berdasarkan moral yang menjadi pegangan kehidupan manusia agar memperoleh keadilan.

Untuk membangun negara yang ideal tentunya butuh Pembelajaran kenegraan yang sangat begitu panjang negitupun dengan negara kita ini harus selalu bejar untuk lebih baik. sekian tulusannya mengenai palto semoga bisa membantu bagi yang lagi belajr politik 

(Penulis Adi)
Selanjutnya