Pada zaman Ibn Rusyd pengkafiran Bidah itu sudah lazim di ucapkan oleh beberapa golongan Ortodoksi berasal dari kata Yunani “orthodoxos” yang terdiri dari kata “orthos” (lurus atau lempang), dan “doxa” (pendapat atau dogma). Ortodoksi ini ada dan hidup pada setiap agama, terutama setelah meninggalnya pembawa agama (Rasul). Ia dianggap sebagai model ajaran yang (paling) standar dan (paling) pakem, serta dianggap mewakili kebenaran mutlak dalam beragama.
Filosof Muslim seringkali menjadi sasaran utama dalam rangka “pengkafiran” karena dianggap (paling) menyeleweng dari kebenaran ortodoksi—dalam hal ini oleh para ahli fiqh (fuqaha’). Al-Kindi, kemudian puncaknya terhadap al-Farabi dan Ibnu Sina, adalah para filosof Muslim yang berusaha memadukan syari’ah dan filsafat, atau setidaknya menyatakan bahwa filsafat tidak bertentangan dengan agama, maka menjadi pihak yang dituduh menyimpang.
Di saat bersamaan, beberapa kelompok aliran teologi seperti As’ariyah, Muktazilah, Hasywiyah, dan Bathiniyah, saling menyudutkan dengan argumen ke”ortodoksi”an mereka. Puncak ketegangan antarpemikiran Islam ini terjadi setelah “keberhasilan” al-Ghazali (1058-1111) dalam menyumbat pemikiran filosof dalam kehidupan keagamaan Islam pada kurun ke 12 M. Al-Ghazali bahkan disambut pendukungnya sebagai Hujjat al-Islam dan Nashir al-Syari’ah. Zaman pada saat itu mengantarkan Ibnu Rusyd (1126-1198) dalam plataran pemikiran Islam saat itu. Dengan mengusung konsep “takwil” dan “akal merdeka” ia berusaha melakukan restorasi (penataan ulang) pemikiran Islam dengan mengakrabkan filsafat (akal) dengan agama (wahyu). Mengenai riwayat Ibnu Rusyd dia adalah Abu al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Rusyd dilahirkan di Cordova, Andalus, pada tahun 510 H/ 1126 M, sekitar 15 tahun setelah wafatnya Abu Hamid al-Ghazali (1058-1111). Ia lebih populer dengan sebutan Ibnu Rusyd, yang sebenarnya adalah panggilan kakeknya yang berasal dari Jazirah Arabia kemudian menetap di Andalus.
Biografi
Dalam periodisasi sejarah Islam, Ibnu Rusyd hidup pada masa periode Klasik. Sebagaimana pembabakan sejarah yang dilakukan Harun Nasution, sejarah Islam dibagi ke dalam tiga periode, yaitu Klasik, Pertengahan, dan Modern. Periode Klasik dimulai pada 650 M sampai 1250 M. Periode ini bisa dibagi menjadi dua; masa kemajuan Islam I (650-1000 M), dan masa disintegrasi (1000-1250 M). Periode Pertengahan dimulai pada 1250 M sampai 1800 M. Periode ini juga dibagi menjadi dua, masa kemunduran pertama (1250-1500 M) dan masa tiga dinasti besar (1500-1800). Sedangkan Periode Modern dimulai pada 1800 sampai sekarang. Sementara menurut periodisasi sejarah Barat, Ibnu Rusyd hidup pada masa periode Pertengahan. Hal ini berdasar pada pembabakan sejarah Barat yang menengarai era Klasik sejak 500 SM sampai jatuhnya Imperium Romawi tahun 600 M.
Setelah itu, Zaman Pertengahan dari tahun 600 M sampai 1550 M, yang kemudian periode ini dibagi menjadi dua; masa kegelapan (the dark age) (600-1300 M), dan masa renaissance (1300-1550 M). Dan periode Modern dari 1550 M sampai sekarang. Dalam sejarah filsafat Barat juga dikenal era kontemporer, yaitu mulai abad XIX sampai abad XX. Orang Barat menyebut Ibnu Rusyd dengan sebutan Averrois. Sebutan ini muncul akibat dari terjadinya metamorfose bahasa Yahudi-Spanyol-Latin. Oleh orang Yahudi, kata Arab Ibnu diucapkan dalam kata Ibrani (bahasa Yahudi) dengan Aben.
Sedangkan dalam standar Latin, Rusyd menjadi Rochd. Dengan demikian, kata Ibnu Rusyd menjadi Aben Rochd. Akan tetapi, dalam bahasa Spanyol, huruf konsonan “b” diubah menjadi “v”, maka Aben menjadi Aven Rochd. Melalui asimilasi huruf-huruf konsonan dalam bahasa Arab (disebut idgham) kemudian berubah menjadi Averrochd. Karena dalam bahasa Latin tidak terdapat huruf “sy”, maka “ch” diganti “s” menjadi Averrosd. Kemudian rentetan “s” dan “d” dihilangkan sehingga menjadi Averross. Agar tidak terjadi kekacauan antara huruf “s” dengan “s”, maka antara “o” dan “s” diberi sisipan “e” sehingga menjadi Averoes, dan “e” sering mendapat tekanan sehingga menjadi Averrois. Ibnu Rusyd berasal dari keluarga terhormat yang terkenal sebagai tokoh keilmuan. Kakek dan ayahnya adalah mantan hakim di Andalus. Faktor keluarga yang memiliki ghirrah yang tinggi terhadap keilmuan, memengaruhinya untuk menjadi ilmuwan besar, di samping faktor kecerdasan dan kegeniusannya. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika ia menjadi pewaris ilmu keluarganya dan berhasil menjadi seorang sarjana yang menguasai berbagai disiplin ilmu; seperti hukum, filsafat, kedokteran, astronomi, sastra Arab, dan lainnya.
Ibnu Rusyd lahir pada suasana politik yang memanas meskipun dalam suasana ilmiah tidak demikian karena Daulah Murabithun mendekati ambang keruntuhan. Pada masa Murabithun, pemegang kendali pemikiran adalah para ulama fiqh yang bersikap antipati terhadap ilmu-ilmu akali, khususnya filsafat. Pada masa itu, gelombang pengafiran terhadap filosof begitu besar, terutama akibat pengaruh al-Ghazali (1058-1111) di Timur, yang kemudian dibawa ke Barat oleh Ibnu Tumart (1078-1130) dengan mendirikan Dinasti Muwahhidun. Dominasi ulama fiqh yang begitu besar ini mengakibatkan pengaruh filsafat yang sebelumnya pernah ada (terutama filsafat al-Farabi dan Ibnu Sina di wilayah Timur) meredup, meskipun saat itu sedang hidup filosof Ibnu Bajah (w. 1138) dan Ibnu Thufail (1110-1185) di wilayah Barat. Dalam keadaan seperti inilah, pada tahun 1153, Ibnu Rusyd pindah ke Maroko, memenuhi permintaan khalifah Dinasti Muwahhidun, Abu Ya’qub ibn Abd al-Mu’min. Khalifah ini banyak membangun sekolah dan lembaga ilmu pengetahuan, dan meminta Ibnu Rusyd membantunya dalam mengelola lembaga tersebut.
Dikisahkan, akibat tekanan terhadap dunia filsafat, ketika Khalifah ini meminta Ibnu Rusyd menjelaskan beberapa hal mengenai filsafat, ia tidak menjawab langsung akan tetapi menunggu sambil menyelami situasi sebelum akhirnya ia mengatakan tentang keterlibatannya dalam filsafat. Namun demikian, kiprah Ibnu Rusyd dalam dunia filsafat ini justru mendapat dukungan dari Khalifah serta ditugaskan untuk menafsirkan karya Aristoteles. Dan karena keberhasilannya dalam melaksanakan tugas penafsiran ini, ia menjadi orang dekat Khalifah dan mendapat jabatan-jabatan tinggi. Pada tahun 1169 Ibnu Rusyd diberi jabatan qadli (hakim) di Isabella dan tahun 1171 dinaikkan jabatannya menjadi qadli al-qudlat (hakim kepala) di Cordova. Ketika Ibnu Thufail usianya telah senja sebagai dokter pribadi Khalifah, Ibnu Rusyd ditunjuk untuk menggantikannya pada tahun 1182. Khalifah Abu Ya’qub dan jajaran Dinasti Muwahhidun sangat kagum atas keluasan pandangan Ibnu Rusyd ketika berhasil membuat komentar terhadap filsafat Aristoteles; pendek (talkhis), sedang (tausith), dan panjang (tafsir). Karena demikian bagus dan mengesankannya tentang filsafat Aristoteles, maka seolah orang tidak perlu membaca naskah aslinya. Padahal, ia tidak menguasai bahasa Yunani yang digunakan Aristoteles dalam karyanya
Untuk keahliannya ini, ia diberi gelar kehormatan The Famous Comentator of Aristotle oleh Dante Alagieri (1265-1321), penulis buku Divine Comedy. Suatu hal yang sangat mengagumkan ialah hampir seluruh hidupnya ia pergunakan untuk belajar, membaca, dan menulis. Menurut Ibnu Abrar,—walaupun rasanya terlalu fantastis—Ibnu Rusyd tidak pernah meninggalkan membaca dan menulis, kecuali pada malam ayahnya meninggal dan malam perkawinannya Barangkali inilah, di samping faktor dukungan dari penguasa, ia mampu melahirkan banyak karya-karya ilmiah dalam berbagai bidang ilmu.
Selain produktifitas karya ilmiahnya yang tinggi, kelebihan lain dari Ibnu Rusyd dalam karyanya adalah gaya penuturannya yang mencakup komentar, koreksi, dan opini sehingga karyanya lebih hidup dan tidak sekadar deskripsi belaka. Karya-karya Ibnu Rusyd meliputi berbagai ilmu; filsafat, fiqh, ushul fiqh, bahasa, kedokteran, astronomi, politik, dan akhlaq. Buku-bukunya adakalanya merupakan genuine karyanya sendiri, ada pula ulasan dan ringkasan terhadap karya orang lain. Karena penghargaannya yang sangat tinggi terhadap Aristoteles, maka tidak mengherankan jika ia memberikan perhatian yang besar untuk mengulas dan meringkas filsafat Aristoleles. Buku-buku lain yang telah diulasnya adalah buku-buku karangan Plato, Iskandar Aphrodisias, Plotinus, Galinus, al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Bajah, dan al-Ghazali. Ibnu Rusyd menulis sejak usia 34 tahun hingga akhir usianya, 72 tahun. Selama hampir 40 tahun ini, ia menghasilkan sepuluh ribu lembar yang terdiri dari berbagai buku, baik yang besar dan berjilid-jilid maupun yang kecil berupa risalah. Sebagaimana disitir Suparman Syukur, Ernest Renan mencatat karya Ibnu Rusyd sebanyak 78 buah buku yang perinciannya terdiri dari 28 buah dalam bidang filsafat, 20 buah dalam bidang kedokteran, 8 buah dalam bidang fiqh, 5 buah dalam bidang teologi, 4 buah dalam bidang astronomi, 2 buah dalam bidang sastra Arab, dan 11 buah dalam bidang disiplin lainnya.
Setelah Abu Ya’qub meninggal, anaknya yang bernama Abu Yusuf al-Mansur menggantikannya sebagai khalifah. Ia sangat mengagumi dan menghormati Ibnu Rusyd melebihi dari yang dilakukan khalifah-khalifah sebelumnya. Pengaruh Ibnu Rusyd semakin meluas, sehingga pikiran dan pendapatnya selalu menjadi bahan kajian yang hampir tidak pernah putus. Akan tetapi pada 1195, keadaan berubah sama sekali. Sekelompok fuqaha dan ulama lain menuduhnya sebagai seorang zindiq dan kafir. Khalifah akhirnya juga “terpengaruh” oleh keadaan ini dan memecatnya dari jabatan hakim dan mengasingkannya di perkampungan Yahudi, Elisana (Lucena), yang terletak sekitar 50 kilometer sebelah tenggara Cordova. Buku-bukunya dibakar, terutama buku-buku filsafat, kecuali buku-buku kedokteran, astronomi dan matematika. Menurut Nurcholish Madjid, terjadinya tindakan Khalifah yang tragis ini pada dasarnya atas pertimbangan politis belaka.
Hal ini karena Khalifah mendapat desakan dari para ulama fiqh yang memiliki banyak massa. Sementara bagi Khalifah sendiri, tindakan itu diambil untuk keperluan mobilisasi massa (yang kebanyakan di bawah pengaruh ulama fiqh) untuk menghadapi pemberontakan Kristen Spanyol. Suasana mencekam ini dimanfaatkan oleh para ulama fiqh beserta pendukungnya yang menolak pemikiran Ibnu Rusyd untuk melenyapkan karya-karyanya di bawah legitimasi Khalifah, sekaligus untuk mencapai posisi strategis dalam politik yang pernah hilang. Ibnu Rusyd akhirnya menjalani hukuman pengasingan di Lucena, tempat perkampungan Yahudi tersebut. Namun demikian, Ibnu Rusyd justru lebih leluasa dalam mengembangkan pemikirannya di pengasingan ini karena ia memiliki banyak pengikut yang mengaguminya dari kalangan Yahudi dan bangsa Latin.
Keahlian Ibnu Rusyd dalam mengulas pemikiran Aristoteles menjadi daya tarik dan kekaguman tersendiri bagi bangsa Eropa, meskipun di pihak pemikiran Islam saat itu mendapat respon sebaliknya. Pada masa menjalani hidup di pengasingan ini, Ibnu Rusyd mendapat banyak pengikut yang sekaligus menyelamatkan pemikiran dan karya-karyanya melalui penerjemahan ke dalam bahasa Ibrani dan Latin. Seiring jalannya waktu, atas jasa baik para pemuka kota Sevilla yang menghadap Khalifah dan membujuknya untuk membebaskan Ibnu Rusyd, akhirnya ia dibebaskan. Ibnu Rusyd kemudian pergi ke Maroko, di mana kemudian ia meninggal di Marakesh dalam usia 72 tahun pada 9 Shafar 595 H/ 10 Desember 1198 M. Setelah tiga bulan berlalu, jenazahnya dipindahkan ke Cordova untuk dikebumikan di makam keluarga.
Di antara karya-karya besar Ibnu Rusyd yang terselamatkan dan masih banyak digunakan adalah
1. Tahafut al-Tahafut, berisikan pemikiran filsafat Ibnu Rusyd dan kritiknya terhadap karya al-Ghazali yang berjudul Tahafut al-Falasifah
2. Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, berisikan pandangan dan uraian-uraian Ibnu Rusyd dalam bidang fiqh;
3. Fashl al-Maqal fi Ma baina al-Hikmah wa al-Syari’at min al-Ittishal, berisikan kajian tentang korelasi antara filsafat dan agama, serta upaya memadukannya;
4. Al-Kasyf ‘an Manahij al-Adillat fi ‘Aqa’id al-Millah, berisikan kritik terhadap metodologi para ahli kalam dan para sufi
5. Syarh Kitab al-Sama’ wa al-Ardl li Aristo, berisikan komentar dan tafsiran filsafat Ibnu Rusyd terhadap filsafat Aristoteles tentang persoalan langit dan bumi;
6. Syarh Kitab Ma Wara’a al-Tabi’ah li Aristo, berisikan kajian metafisika menurut Aristoteles;
7. Al-Masa’il fi al-Falsafah, berisikan pembahasan dan pendapat Ibnu Rusyd seputar persoalan filsafat; 8. Risalah fi Ta’alluq ‘Ilm Allah ‘an ‘Adam Ta’alluqihi bi al-Juz’iyyat, berisikan pembahasan tentang korelasi ilmu Allah dengan persoalan-persoalan kecil
; 9. Naqd Nadzariyat Ibn Sina ‘an al-Mumkin li Dzatihi wa al-Mumkin li Ghairihi, berisikan kritik Ibnu Rusyd terhadap pandangan Ibnu Sina;
10. Risalah fi al-Wujud al-‘azali wa al-Wujud al-Mu’aqqat, berisikan tentang keazalian dan keabadian alam; dan,
11. Risalah fi al-‘Aql wa al-Ma’qul, berisikan pembahasan tentang batas-batas kemampuan akal.
Untuk membhas menagai ibnu rusy kita akan bahas lebih lanjut dalam tulisan saya berikutnya Trimakasih
Filosof Muslim seringkali menjadi sasaran utama dalam rangka “pengkafiran” karena dianggap (paling) menyeleweng dari kebenaran ortodoksi—dalam hal ini oleh para ahli fiqh (fuqaha’). Al-Kindi, kemudian puncaknya terhadap al-Farabi dan Ibnu Sina, adalah para filosof Muslim yang berusaha memadukan syari’ah dan filsafat, atau setidaknya menyatakan bahwa filsafat tidak bertentangan dengan agama, maka menjadi pihak yang dituduh menyimpang.
Di saat bersamaan, beberapa kelompok aliran teologi seperti As’ariyah, Muktazilah, Hasywiyah, dan Bathiniyah, saling menyudutkan dengan argumen ke”ortodoksi”an mereka. Puncak ketegangan antarpemikiran Islam ini terjadi setelah “keberhasilan” al-Ghazali (1058-1111) dalam menyumbat pemikiran filosof dalam kehidupan keagamaan Islam pada kurun ke 12 M. Al-Ghazali bahkan disambut pendukungnya sebagai Hujjat al-Islam dan Nashir al-Syari’ah. Zaman pada saat itu mengantarkan Ibnu Rusyd (1126-1198) dalam plataran pemikiran Islam saat itu. Dengan mengusung konsep “takwil” dan “akal merdeka” ia berusaha melakukan restorasi (penataan ulang) pemikiran Islam dengan mengakrabkan filsafat (akal) dengan agama (wahyu). Mengenai riwayat Ibnu Rusyd dia adalah Abu al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Rusyd dilahirkan di Cordova, Andalus, pada tahun 510 H/ 1126 M, sekitar 15 tahun setelah wafatnya Abu Hamid al-Ghazali (1058-1111). Ia lebih populer dengan sebutan Ibnu Rusyd, yang sebenarnya adalah panggilan kakeknya yang berasal dari Jazirah Arabia kemudian menetap di Andalus.
Biografi
Dalam periodisasi sejarah Islam, Ibnu Rusyd hidup pada masa periode Klasik. Sebagaimana pembabakan sejarah yang dilakukan Harun Nasution, sejarah Islam dibagi ke dalam tiga periode, yaitu Klasik, Pertengahan, dan Modern. Periode Klasik dimulai pada 650 M sampai 1250 M. Periode ini bisa dibagi menjadi dua; masa kemajuan Islam I (650-1000 M), dan masa disintegrasi (1000-1250 M). Periode Pertengahan dimulai pada 1250 M sampai 1800 M. Periode ini juga dibagi menjadi dua, masa kemunduran pertama (1250-1500 M) dan masa tiga dinasti besar (1500-1800). Sedangkan Periode Modern dimulai pada 1800 sampai sekarang. Sementara menurut periodisasi sejarah Barat, Ibnu Rusyd hidup pada masa periode Pertengahan. Hal ini berdasar pada pembabakan sejarah Barat yang menengarai era Klasik sejak 500 SM sampai jatuhnya Imperium Romawi tahun 600 M.
Setelah itu, Zaman Pertengahan dari tahun 600 M sampai 1550 M, yang kemudian periode ini dibagi menjadi dua; masa kegelapan (the dark age) (600-1300 M), dan masa renaissance (1300-1550 M). Dan periode Modern dari 1550 M sampai sekarang. Dalam sejarah filsafat Barat juga dikenal era kontemporer, yaitu mulai abad XIX sampai abad XX. Orang Barat menyebut Ibnu Rusyd dengan sebutan Averrois. Sebutan ini muncul akibat dari terjadinya metamorfose bahasa Yahudi-Spanyol-Latin. Oleh orang Yahudi, kata Arab Ibnu diucapkan dalam kata Ibrani (bahasa Yahudi) dengan Aben.
Sedangkan dalam standar Latin, Rusyd menjadi Rochd. Dengan demikian, kata Ibnu Rusyd menjadi Aben Rochd. Akan tetapi, dalam bahasa Spanyol, huruf konsonan “b” diubah menjadi “v”, maka Aben menjadi Aven Rochd. Melalui asimilasi huruf-huruf konsonan dalam bahasa Arab (disebut idgham) kemudian berubah menjadi Averrochd. Karena dalam bahasa Latin tidak terdapat huruf “sy”, maka “ch” diganti “s” menjadi Averrosd. Kemudian rentetan “s” dan “d” dihilangkan sehingga menjadi Averross. Agar tidak terjadi kekacauan antara huruf “s” dengan “s”, maka antara “o” dan “s” diberi sisipan “e” sehingga menjadi Averoes, dan “e” sering mendapat tekanan sehingga menjadi Averrois. Ibnu Rusyd berasal dari keluarga terhormat yang terkenal sebagai tokoh keilmuan. Kakek dan ayahnya adalah mantan hakim di Andalus. Faktor keluarga yang memiliki ghirrah yang tinggi terhadap keilmuan, memengaruhinya untuk menjadi ilmuwan besar, di samping faktor kecerdasan dan kegeniusannya. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika ia menjadi pewaris ilmu keluarganya dan berhasil menjadi seorang sarjana yang menguasai berbagai disiplin ilmu; seperti hukum, filsafat, kedokteran, astronomi, sastra Arab, dan lainnya.
Ibnu Rusyd lahir pada suasana politik yang memanas meskipun dalam suasana ilmiah tidak demikian karena Daulah Murabithun mendekati ambang keruntuhan. Pada masa Murabithun, pemegang kendali pemikiran adalah para ulama fiqh yang bersikap antipati terhadap ilmu-ilmu akali, khususnya filsafat. Pada masa itu, gelombang pengafiran terhadap filosof begitu besar, terutama akibat pengaruh al-Ghazali (1058-1111) di Timur, yang kemudian dibawa ke Barat oleh Ibnu Tumart (1078-1130) dengan mendirikan Dinasti Muwahhidun. Dominasi ulama fiqh yang begitu besar ini mengakibatkan pengaruh filsafat yang sebelumnya pernah ada (terutama filsafat al-Farabi dan Ibnu Sina di wilayah Timur) meredup, meskipun saat itu sedang hidup filosof Ibnu Bajah (w. 1138) dan Ibnu Thufail (1110-1185) di wilayah Barat. Dalam keadaan seperti inilah, pada tahun 1153, Ibnu Rusyd pindah ke Maroko, memenuhi permintaan khalifah Dinasti Muwahhidun, Abu Ya’qub ibn Abd al-Mu’min. Khalifah ini banyak membangun sekolah dan lembaga ilmu pengetahuan, dan meminta Ibnu Rusyd membantunya dalam mengelola lembaga tersebut.
Dikisahkan, akibat tekanan terhadap dunia filsafat, ketika Khalifah ini meminta Ibnu Rusyd menjelaskan beberapa hal mengenai filsafat, ia tidak menjawab langsung akan tetapi menunggu sambil menyelami situasi sebelum akhirnya ia mengatakan tentang keterlibatannya dalam filsafat. Namun demikian, kiprah Ibnu Rusyd dalam dunia filsafat ini justru mendapat dukungan dari Khalifah serta ditugaskan untuk menafsirkan karya Aristoteles. Dan karena keberhasilannya dalam melaksanakan tugas penafsiran ini, ia menjadi orang dekat Khalifah dan mendapat jabatan-jabatan tinggi. Pada tahun 1169 Ibnu Rusyd diberi jabatan qadli (hakim) di Isabella dan tahun 1171 dinaikkan jabatannya menjadi qadli al-qudlat (hakim kepala) di Cordova. Ketika Ibnu Thufail usianya telah senja sebagai dokter pribadi Khalifah, Ibnu Rusyd ditunjuk untuk menggantikannya pada tahun 1182. Khalifah Abu Ya’qub dan jajaran Dinasti Muwahhidun sangat kagum atas keluasan pandangan Ibnu Rusyd ketika berhasil membuat komentar terhadap filsafat Aristoteles; pendek (talkhis), sedang (tausith), dan panjang (tafsir). Karena demikian bagus dan mengesankannya tentang filsafat Aristoteles, maka seolah orang tidak perlu membaca naskah aslinya. Padahal, ia tidak menguasai bahasa Yunani yang digunakan Aristoteles dalam karyanya
Untuk keahliannya ini, ia diberi gelar kehormatan The Famous Comentator of Aristotle oleh Dante Alagieri (1265-1321), penulis buku Divine Comedy. Suatu hal yang sangat mengagumkan ialah hampir seluruh hidupnya ia pergunakan untuk belajar, membaca, dan menulis. Menurut Ibnu Abrar,—walaupun rasanya terlalu fantastis—Ibnu Rusyd tidak pernah meninggalkan membaca dan menulis, kecuali pada malam ayahnya meninggal dan malam perkawinannya Barangkali inilah, di samping faktor dukungan dari penguasa, ia mampu melahirkan banyak karya-karya ilmiah dalam berbagai bidang ilmu.
Selain produktifitas karya ilmiahnya yang tinggi, kelebihan lain dari Ibnu Rusyd dalam karyanya adalah gaya penuturannya yang mencakup komentar, koreksi, dan opini sehingga karyanya lebih hidup dan tidak sekadar deskripsi belaka. Karya-karya Ibnu Rusyd meliputi berbagai ilmu; filsafat, fiqh, ushul fiqh, bahasa, kedokteran, astronomi, politik, dan akhlaq. Buku-bukunya adakalanya merupakan genuine karyanya sendiri, ada pula ulasan dan ringkasan terhadap karya orang lain. Karena penghargaannya yang sangat tinggi terhadap Aristoteles, maka tidak mengherankan jika ia memberikan perhatian yang besar untuk mengulas dan meringkas filsafat Aristoleles. Buku-buku lain yang telah diulasnya adalah buku-buku karangan Plato, Iskandar Aphrodisias, Plotinus, Galinus, al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Bajah, dan al-Ghazali. Ibnu Rusyd menulis sejak usia 34 tahun hingga akhir usianya, 72 tahun. Selama hampir 40 tahun ini, ia menghasilkan sepuluh ribu lembar yang terdiri dari berbagai buku, baik yang besar dan berjilid-jilid maupun yang kecil berupa risalah. Sebagaimana disitir Suparman Syukur, Ernest Renan mencatat karya Ibnu Rusyd sebanyak 78 buah buku yang perinciannya terdiri dari 28 buah dalam bidang filsafat, 20 buah dalam bidang kedokteran, 8 buah dalam bidang fiqh, 5 buah dalam bidang teologi, 4 buah dalam bidang astronomi, 2 buah dalam bidang sastra Arab, dan 11 buah dalam bidang disiplin lainnya.
Setelah Abu Ya’qub meninggal, anaknya yang bernama Abu Yusuf al-Mansur menggantikannya sebagai khalifah. Ia sangat mengagumi dan menghormati Ibnu Rusyd melebihi dari yang dilakukan khalifah-khalifah sebelumnya. Pengaruh Ibnu Rusyd semakin meluas, sehingga pikiran dan pendapatnya selalu menjadi bahan kajian yang hampir tidak pernah putus. Akan tetapi pada 1195, keadaan berubah sama sekali. Sekelompok fuqaha dan ulama lain menuduhnya sebagai seorang zindiq dan kafir. Khalifah akhirnya juga “terpengaruh” oleh keadaan ini dan memecatnya dari jabatan hakim dan mengasingkannya di perkampungan Yahudi, Elisana (Lucena), yang terletak sekitar 50 kilometer sebelah tenggara Cordova. Buku-bukunya dibakar, terutama buku-buku filsafat, kecuali buku-buku kedokteran, astronomi dan matematika. Menurut Nurcholish Madjid, terjadinya tindakan Khalifah yang tragis ini pada dasarnya atas pertimbangan politis belaka.
Hal ini karena Khalifah mendapat desakan dari para ulama fiqh yang memiliki banyak massa. Sementara bagi Khalifah sendiri, tindakan itu diambil untuk keperluan mobilisasi massa (yang kebanyakan di bawah pengaruh ulama fiqh) untuk menghadapi pemberontakan Kristen Spanyol. Suasana mencekam ini dimanfaatkan oleh para ulama fiqh beserta pendukungnya yang menolak pemikiran Ibnu Rusyd untuk melenyapkan karya-karyanya di bawah legitimasi Khalifah, sekaligus untuk mencapai posisi strategis dalam politik yang pernah hilang. Ibnu Rusyd akhirnya menjalani hukuman pengasingan di Lucena, tempat perkampungan Yahudi tersebut. Namun demikian, Ibnu Rusyd justru lebih leluasa dalam mengembangkan pemikirannya di pengasingan ini karena ia memiliki banyak pengikut yang mengaguminya dari kalangan Yahudi dan bangsa Latin.
Keahlian Ibnu Rusyd dalam mengulas pemikiran Aristoteles menjadi daya tarik dan kekaguman tersendiri bagi bangsa Eropa, meskipun di pihak pemikiran Islam saat itu mendapat respon sebaliknya. Pada masa menjalani hidup di pengasingan ini, Ibnu Rusyd mendapat banyak pengikut yang sekaligus menyelamatkan pemikiran dan karya-karyanya melalui penerjemahan ke dalam bahasa Ibrani dan Latin. Seiring jalannya waktu, atas jasa baik para pemuka kota Sevilla yang menghadap Khalifah dan membujuknya untuk membebaskan Ibnu Rusyd, akhirnya ia dibebaskan. Ibnu Rusyd kemudian pergi ke Maroko, di mana kemudian ia meninggal di Marakesh dalam usia 72 tahun pada 9 Shafar 595 H/ 10 Desember 1198 M. Setelah tiga bulan berlalu, jenazahnya dipindahkan ke Cordova untuk dikebumikan di makam keluarga.
Di antara karya-karya besar Ibnu Rusyd yang terselamatkan dan masih banyak digunakan adalah
1. Tahafut al-Tahafut, berisikan pemikiran filsafat Ibnu Rusyd dan kritiknya terhadap karya al-Ghazali yang berjudul Tahafut al-Falasifah
2. Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, berisikan pandangan dan uraian-uraian Ibnu Rusyd dalam bidang fiqh;
3. Fashl al-Maqal fi Ma baina al-Hikmah wa al-Syari’at min al-Ittishal, berisikan kajian tentang korelasi antara filsafat dan agama, serta upaya memadukannya;
4. Al-Kasyf ‘an Manahij al-Adillat fi ‘Aqa’id al-Millah, berisikan kritik terhadap metodologi para ahli kalam dan para sufi
5. Syarh Kitab al-Sama’ wa al-Ardl li Aristo, berisikan komentar dan tafsiran filsafat Ibnu Rusyd terhadap filsafat Aristoteles tentang persoalan langit dan bumi;
6. Syarh Kitab Ma Wara’a al-Tabi’ah li Aristo, berisikan kajian metafisika menurut Aristoteles;
7. Al-Masa’il fi al-Falsafah, berisikan pembahasan dan pendapat Ibnu Rusyd seputar persoalan filsafat; 8. Risalah fi Ta’alluq ‘Ilm Allah ‘an ‘Adam Ta’alluqihi bi al-Juz’iyyat, berisikan pembahasan tentang korelasi ilmu Allah dengan persoalan-persoalan kecil
; 9. Naqd Nadzariyat Ibn Sina ‘an al-Mumkin li Dzatihi wa al-Mumkin li Ghairihi, berisikan kritik Ibnu Rusyd terhadap pandangan Ibnu Sina;
10. Risalah fi al-Wujud al-‘azali wa al-Wujud al-Mu’aqqat, berisikan tentang keazalian dan keabadian alam; dan,
11. Risalah fi al-‘Aql wa al-Ma’qul, berisikan pembahasan tentang batas-batas kemampuan akal.
Untuk membhas menagai ibnu rusy kita akan bahas lebih lanjut dalam tulisan saya berikutnya Trimakasih
0 komentar