Translate

Sunday, July 23, 2017

Politik Aristoteles

Sebagaimana sudah lazim kita ketehui bersama bahwa Aristoteles merupakan murid dari Plato. Aristoteles lahir di Macedonia dan hidup pada masa 384 SM hingga 322 SM. Di awal masa menuju dewasanya dia pergi ke Athena dan belajar bersama Plato. Aristoteles tumbuh sebagai manusia yang tidak memiliki batasan dalam hal minat dan pengetahuan. Pengetahuannya selalu terjewantahkan kedalam bentuk-bentuk tulisan. Jika Plato memiliki buku Politeia sebagai mahakaryanya, Aristoteles memiliki karya yang diberi nama Politik (Politica). Dia memiliki pandangan yang berbeda dengan yang berbeda dengan gurunya (Plato) dalam memahami hakikat negara. Dia berpendapat bahwa manusia adalah makhluk politik (zoon Politikon), makhluk sosial. Zoon politikon diartikan sebagai manusia tidak dapat hidup tanpa bergantung dengan manusia lainnya. Manusia akan saling membutuhkan satu sama lain di dalam sebuah masyarakat.

Dalam konsep inilah Aristoteles menganggap negara sebagai sebuah hasil hubungan dari bagian-bagian yang ada dari yang terkecil yaitu, individu, hingga yang terbesar yaitu kampung. Setiap individu pada hakikatnya menghendaki kawan dalam hidupnya. Selanjutnya dalam melihat ketergantungan yang saling mengikat antara sesama manusia ini yang mendorong terbentuknya suatu negara. Negara lahir atas dasar kebutuhan warga negaranya. Dalam hal yang lebih sederhana bahkan Aristoteles menganalogikan negara sebagai sebuah tubuh manusia yang terdiri atas organ (individu) yang saling bergantung. Gabungan dari berbagai kelompok individu ini yang kemudian menjadi negara. Menurut Aristoteles, negara adalah lembaga politik yang paling berdaulat, meski bukan berarti negara tidak memiliki batasan kekuasaan.

Kekuasaan tertinggi terbentuk karena tujuan yang dimilikinya adalah untuk mensejahterakan seluruh warga negara, bukan individu-individu tertentu (seperti Plato). Tujuan negara ini memberikan gambaran bahwa negara ada untuk memberikan kebahagiaan bagi seluruh warganya. Negara lahir untuk menjamin kebaikan bagi rakyatnya. Dengan kata lain, baagi Aristoteles, dia menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.


Memaknai Kekuasaan
Aristotiles memaknai sebuah kekuasaan, dia mengklasifikasikan dalam hal siapa yang selayaknya memegang kekuasaan dan jenis kekuasaan. Dalam konteks siapa yang layak berkuasa, Aristoteles berbeda dengan Plato yang membatasi hak atas kepemilikan. Sementara Aristoteles membenarkan bahwa setiap manusia berhak atas kepemilikan harta dan barang. Dalam hal ini Aristoteles menganggap hak kepemilikan berkaitan dengan kebahagiaan. Sebagai tujuan negara yang mengedepankan kebahagiaan rakyatnya, maka negara tidak melarang bagi manusia untuk memiliki sumber harta.

Hal yang perlu digarisbawahi adalah Aristoteles tidak pernah membenarkan untuk seseorang menumpuk kekayaannya. Milik baginya adalah alat; alat untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari dan alat supaya ada kesenggangan waktu untuk mencurahkan perhatian kepada masalah masyarakat. Sebagai alat ia dipergunakan, tetapi tidaklah alat yang menjadi tujuan. Dari segi kepemilikan ini, Aristoteles membagikan masyarakat menurut kelompok kekayaannya yang akan berimbas pada konstitusi ideal.

 Menurut Aristoteles, kemiskinan akan mengurangi perhatian seseorang untuk melihat pada persoalan-persoalan masyarakat. Sedangkan kekayaan yang berlebih akan berimbas pada seseorang melupakan persoalan-persoalan sekitarnya. Keduanya akan memiliki keterbatasan waktu untuk mengurusi persoalan yang menyangkut kehidupan bermasyarakat. Namun, terdapat kelompok menengah dalam jumlah besar yang memiliki harta secukupnya namun tidak miskin, kelompok ini yang menurut Aristoteles sebagai kelompok yang tepat memegang kekuasaan.

 Mengenai hal tersebut Aristoteles membagi kekuasaan berdasarkan jumlah orang yang memegang kekuasaan. Bentuk negara yang benar menurutnya yaitu Monarki, Aristokrasi, dan Politea (Negara Konstitusional), sedangkan deviasi negara yang benar yaitu Tirani, Oligarki, dan Demokrasi. Pada pendapatnya yang paling ideal bagi Aristoteles adalah monarki, karena diperintah oleh seorang raja filsuf yang dapat berkuasa untuk kepentingan rakyat. Namun pada kenyataannya monarki dengan raja filsufnya seakan menjadi hal yang tidak pernah ada dalam masyarakat.

Sehingga dia lebih melihat bahwa aristokrasi lebih realistis untuk diterapkan pada suatu negara. Ketiga bentuk kekuasaan yang dijabarkan Aristoteles, baginya yang paling memungkinkan untuk diterapkan dalam realitas adalah politea atau demokrasi. Walaupun demikian, dia mensyaratkan dengan tegas bahwa penerapan demokrasi harus berdasarkan hukum. “Karena dalam demokrasi yang berdasarkan hukum, warga negara mendapat tempat istimewa, dan disana tidak ada demagog. Tetapi dimana hukum tidak berkuasa, disana demagog muncul.”

Memaknai Hukum 

Aristotiles tidak segan-segan dalam memaknai sebuah Hukum mendapatkan tempat yang tertinggi dalam pemikiran Aristoteles. Hanya hukum yang dianggap mampu mengawal semua bentuk kekuasaan yang diterapkan. Pernyataan di atas menggambarkan dengan jelas bagaimana kedudukan hukum pada sebuah sistem politik demokrasi. Menurut Aristoteles, apapun bentuk kekuasaan yang diterapkan apakah itu demokrasi maupun oligarki, ketika hukum dijadikan sebagai panduan dalam pengambilan keputusan yang patuh terhadap hukum, maka kebajikan akan ada dalam negara tersebut.

Tujuan negara menurut Aristoteles adalah ketika kebajikan dapat dirasakan oleh rakyat. Kebajikan hanya akan terpenuhi ketika keadilan diberlakukan dengan benar. Seorang penguasa akan dikatakan adil jika hukum ditegakkan. Keadilan adalah sesuatu yang berkaitan dengan moral. Aristoteles tidak mengartikan keadilan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan persamaan. Dia lebih mengedepankan persamaan hak setiap orang pada ukuran keseimbangan bukan pada persamaan mutlak (jumlah).

Keadilan adalah ketika seseorang merasakan hak yang sama dengan orang lain, dia tidak mengambil sesuatu yang bukan merupakan haknya untuk menjadi miliknya. Yang paling penting adalah dia menganggap hukum harus adil dan seimbang, bahkan pada masanya Aristoteles menganggap kedudukan adalah sesuatu yang bisa dirasakan oleh setiap warga negara yang dapat menjalankannya dengan adil. Disini Aristoteles melihat keadilan dari sudut hak, sedangkan Plato memandangnya dari sudut kewajiban. Itu yang kemudian manjadi pembeda yang sangat jelas ketika keadilan merupakan hak maka dibutuhkan hukum yang tegas agar hak tersebut dapat terjaga dengan baik. Sedangkan ketika keadilan adalah kewajiban memberikan peran yang lebih besar kepada negara untuk mewujudkan keadilan bagi rakyatnya, tanpa melihat ada hak yang dimiliki oleh rakyat.

Itulah cacatan saya mengenai pemikiran Aristotiles dalam memakani politik dan negara semoga bisa membantu bagi mereka yang ingin tahu bagaimana berpoltik yang sebenarnya sekian salam mahasiswa
Load disqus comments

0 komentar