Translate

Wednesday, July 19, 2017

Berpolitik Seperti Plato

Melihat gonjang-ganjing politik negara hari ini perlulah kiranya kita melisik kebelakang menelaah filsuf Yunani Kuno, Plato, mengenai Negara, Hukum, dan Kekuasaan. Kedua pemikir ini merupakan pemikir yang lahir pada masa Yunani kuno (klasik). Pada konteks pemikiran politik, pemikiran Plato dan Aristoteles menjadi induk dari pemikiran-pemikiran selanjutnya, seperti Thomas Hobbes, Thomas Aquinas, Agustinus, John Locke, J.J Rousseau, Montesqueu dan lain-lain. Pemikiran keduanya masih menjadi referensi yang masih dipegang dalam melihat persoalan-persoalan masa kini. Pandangan Plato dan Aristoteles dalam melihat kekuasaan dan keadilan serta dalam melihat negara kota memberikan acuan dasar bagi pemikiran politik untuk memetakan persoalan politik.

Kita tahu plato tidak lahir dengan pemikiran kritis yang datang dengan sendirinya. Plato merupakan murid dari filsuf yang bernama Socrates. Peradaban manusia yang telah lama ada menjadi bukti eksistensi negara sebagai tempat manusia berkumpul dan saling berinteraksi. Dalam sejarah kita mengenal kota-kota kuno seperti Jerussalem, Kairo, Babilonia, Memphis, Alexandria dan beberapa kota lainnya di kawasan Mediterania, termasuk Yunani. Pemikiran politik yang lahir saat itu tidak hanya muncul tiba-tiba. Masyarakat Yunani kuno hidup dengan melihat hal-hal yang saling mempengaruhi dikehidupannya. Masyarakat Yunani kuno saat itu telah melepaskan diri dari cara berpikir yang menaruh kecenderungan untuk menerima saja apa yang tiba; yang meletakkan segala sesuatu pada nasib dan ketentuan yang datang dari alam ghaib, dan mendasarkan kejadian di dalam alam ini pada kepercayaan dan keyakinan

Pandangannya yang Kritis untuk melihat segala sesuatu dengan akal nalar mendorong masyarakat Yunani kuno untuk dapat mendorong kehidupan ke arah tata kelola yang lebih baik. Selain itu, kondisi kehidupan Yunani kuno yang hidup dalam ruang lingkup yang cenderung tidak terlalu luas dan terbatas, mempermudah mereka untuk mengelola kehidupan politiknya. Jika kita melihat sebagai ilustrasi kehidupan masyarakat yang hidup dalam sebuah pulau kecil akan berpeluang saling mengenal satu sama lain dibandingkan dengan masyarakat yang hidup pada kelompok sosial yang lebih plural dan besar.

 Dalam melihat latar belakang kondisi sosial Yunani kuno ini Noer memberikan sebabnya pada tiga poin, pertama, negara yang disebut polis sering mengalami sifat pemerintahan. Kedua, yang menimbulkan perangsang bagi menjawab permasalahan politik, adalah karena bicara dan bukan kekerasan senjata, yang lebih diutamakan. Ketiga, apa yang disebut negara mereka samakan dengan masyarakat, dan sebaliknya masyarakat identik dengan negara

Pemikiran awal dari Socrates mengawali terbukanya gerbang diskursus pada masa Yunani kuno. Socrates sebagai seorang filsuf memiliki metode yang sangat baik dalam membedah pemikiran lawan bicaranya. Melalui karya monumental Plato yaitu Republik (Politeia) dapat terlihat bagaimana Plato menggambarkan sosok gurunya dalam menggunakan metodenya. Sikap metode ini sering terkenal dengan istilah ironi Socrates. Dia mengaku sebagai sebuah gelas kosong yang secara terus menerus memberikan pertanyaan kepada lawan bicaranya. Setiap jawaban yang diberikan akan langsung disusul oleh pertanyaan selanjutnya yang akan melahirkan kebuntuan sang lawan bicara. Pada akhirnya hanya akan membuka pemahaman lawan bicara yang sebenarnya.

 Dalam melihat persoalan ini Plato sebagai murid Socrates dalam melihat fenomena yang ada saat itu. Melalui makalah ini penulis akan membedah dan membandingkan pemikiran politik dari Plato dan Aristoteles tentang negara, kekuasaan dan hukum. Keduanya memiliki pandangan yang tidak jauh berbeda, namun ada beberapa hal pandangan berbeda dari Aristoteles terhadap gurunya, Plato.

Pemikiran Plato Tentang Negara

Plato lahir pada tahun 429 Sebelum Masehi (SM) dan meninggal dunia pada tahun 347 SM. Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, Plato adalah murid dari Socrates yang sangat dipengaruhi oleh pemikirannya. Dalam Republik (Politeia) Plato sangat menjelaskan secara mendetail bagaimana pemikiran dari Socrates. Plato memandang hal yang paling penting dalam kehidupan manusia adalah keadilan. Politeia memberikan gambaran kepada kita bagaimana seharusnya negara bertindak.

Menurut Ernest Baker, Politeia membicarakan empat hal besar: pertama, mengenai metafisika, yang mencari dan membicarakan apa sebenarnya hakekat segala yang ada ini; kedua, mengenai etika, yaitu tentang sikap yang benar dan baik, dan sebaliknya; ketiga, mengenai pendidikan yang harus dijalani seseorang dalam hidup ini, dan akhirnya mengenai pemerintahan yang seharusnya, yang ideal.

Keempat hal tersebut menunjukkan keterkaitan pemikiran Plato dalam melihat negara. Terutama poin keempat yang memastikan bagaimana negara yang seharusnya. Menurut Plato, keadilan merupakan sesuatu yang harus ada dalam negara. Segala sesuatu yang dilakukan oleh negara harus bertujuan untuk mencapai kebajikan. Kebajikan hanya akan terwujud hanya ketika manusia berpengetahuan. Pengetahuan adalah suatu kebajikan. Pengetahuan akan membawa kebajikan kepada manusia. Melalui pengetahuan seseorang dapat mengetahui hal yang baik maupun buruk. Dengan demikian orang tersebut dapat melihat kebajikan melalui pengetahuan yang dimilikinya.

Plato menganggap pendidikan akan menciptakan manusia yang berpengetahuan. Pendidikan tidak hanya sebagai tempat mempelajari sesuatu, tetapi melalui pendidikan akan melahirkan manusia yang dapat berpikir. Plato menghendaki seorang pemimpin yang baik adalah seorang The Philosopher King (Seorang Raja Filsuf). Seorang Raja Filsuf memiliki pengetahuan yang tidak dimiliki oleh rakyatnya. Raja Filsuf dapat memutuskan apa yang baik bagi rakyatnya. Hanya melalui Raja Filsuf kebajikan akan diperoleh. Plato menganalogikan seorang Raja filsuf sebagai seorang dokter. Raja filsuf harus memahami berbagai gejala penyakit masyarakat, mendeteksinya sejak dini, mampu melakukan diagnosa, dan mencari cara bagaimana menyembuhkan penyakit itu.

Kekuasaan dalam pandangan Plato

Kondisi suasana perebutan kekuasaan yang terjadi pada saat zaman Yunani Kuno sangat mempengaruhi pandangan Plato dalam melihat bentuk kekuasaan yang ideal. Dari pandangannya mengenai pentingnya seorang raja filsuf dalam suatu negara menunjukkan keberpihakan Plato pada sistem politik yang bersifat monarki dibawah kuasa satu orang. Raja filsuf dianggap sebagai seseorang yang dapat menjaga agar suatu negara dapat bertahan.

Pada sejarahnya, Plato mempelajari bentuk kekuasaan yang ideal pada saat terjadi perebutan kepemimpinan di Yunani kuno antara dua negara utama, Sparta dan Athena. Hal ini terjadi pada Perang Peloponnesos (431-404) yang pada akhirnya memenangkan Sparta. Plato melihat kekalahan Athena tidak hanya disebabkan oleh faktor eksternal yang disebabkan ketangguhan pasukan Sparta, namun disebabkan faktor internal lemahnya pasukan Athena. Bentuk kekuasaan Aristokratis Militeristis yang diterapkan Sparta menjadikannya lebih unggul dalam mempersatukan negara dibandingkan dengan kekuasaan demokratis Athena.

“Demokrasi karena bertanggung jawab atas kelemahan keadaan kota Athena dan oleh karena itu ia menyerangnya, berpikir bahwa suatu bentuk pemerintahan yang otoriter akan bisa menjamin stabilitas”

Menurut Plato demokrasi hanya akan menimbulkan kekacauan sosial. Hal ini diperoleh sebagai hasil dari kebebasan yang diperoleh setiap orang. Kebebasan untuk mengkritik siapapun termasuk penguasa. Kondisi seperti ini akan sulit dikontrol ketika orang saling mengabaikan hak orang lainnya yg juga memiliki hak yang sama untuk mengkritik. Jika melihat lebih dalam, hal ini bukannya akan memperkuat negara tersebut, tapi menghasilkan perdebatan yang tidak terelakkan dari internal negara tersebut. Hal ini yang terjadi pada Athena ketika terjadi perebutan kekuasaan Yunani kuno.

Dalam istilah Plato, demokrasi itu, “penuh sesak dengan kemerdekaan dan kebebasan berbicara dan setiap orang dapat berbuat sekehendak hatinya.” Hal ini menunjukkan secara jelas ketidakberpihakan Plato pada demokrasi. Demokrasi menurutnya pada akhirnya hanya akan melahirkan pemerintahan tirani. Sehingga dalam hal kekuasaan Plato menganggap yang terbaik adalah sistem monarki.

 Hukum Dalam Persepktif Plato

Pada konteks hukum, Plato memandang setiap orang memiliki hak yang sama di depan hukum. Hal ini dijelaskan Plato pada bukunya yang berjudul Nomoi. Jika pada Politeia dia membagi kelas-kelas kepada Penguasa, Pembantu Penguasa dan Pekerja, yang memiliki hak yang berbeda. Namun pada Nomoi Plato menempatkan pengusaha (pembantu penguasa) tidak diatas hukum, melainkan sebagai penjaga hukum. Pandangan Plato terkait tidak adanya hak atas milik menjadi berbeda pada Nomoi. 

Menurut Plato, hukum adalah sesuatu  yang mengatur segala sendi kehidupan manusia termasuk moral. Plato tetap melihat kebajikan sebagai tujuan dari negara. Moral menduduki posisi tertinggi dalam hukum. Dengan kata lain, pemberlakuan hukum harus berdasarkan moral yang menjadi pegangan kehidupan manusia agar memperoleh keadilan.

Untuk membangun negara yang ideal tentunya butuh Pembelajaran kenegraan yang sangat begitu panjang negitupun dengan negara kita ini harus selalu bejar untuk lebih baik. sekian tulusannya mengenai palto semoga bisa membantu bagi yang lagi belajr politik 

(Penulis Adi)
Load disqus comments

0 komentar