Melihat gonjang-ganjing politik
negara hari ini perlulah kiranya kita melisik kebelakang menelaah filsuf Yunani
Kuno, Plato, mengenai Negara, Hukum, dan Kekuasaan. Kedua pemikir ini merupakan
pemikir yang lahir pada masa Yunani kuno (klasik). Pada konteks pemikiran
politik, pemikiran Plato dan Aristoteles menjadi induk dari pemikiran-pemikiran
selanjutnya, seperti Thomas Hobbes, Thomas Aquinas, Agustinus, John Locke, J.J
Rousseau, Montesqueu dan lain-lain. Pemikiran keduanya masih menjadi referensi
yang masih dipegang dalam melihat persoalan-persoalan masa kini. Pandangan
Plato dan Aristoteles dalam melihat kekuasaan dan keadilan serta dalam melihat
negara kota memberikan acuan dasar bagi pemikiran politik untuk memetakan
persoalan politik.
Kita tahu plato tidak lahir dengan
pemikiran kritis yang datang dengan sendirinya. Plato merupakan murid dari
filsuf yang bernama Socrates. Peradaban manusia yang telah lama ada menjadi
bukti eksistensi negara sebagai tempat manusia berkumpul dan saling
berinteraksi. Dalam sejarah kita mengenal kota-kota kuno seperti Jerussalem,
Kairo, Babilonia, Memphis, Alexandria dan beberapa kota lainnya di kawasan
Mediterania, termasuk Yunani. Pemikiran politik yang lahir saat itu tidak hanya
muncul tiba-tiba. Masyarakat Yunani kuno hidup dengan melihat hal-hal yang
saling mempengaruhi dikehidupannya. Masyarakat Yunani kuno saat itu telah
melepaskan diri dari cara berpikir yang menaruh kecenderungan untuk menerima
saja apa yang tiba; yang meletakkan segala sesuatu pada nasib dan ketentuan
yang datang dari alam ghaib, dan mendasarkan kejadian di dalam alam ini pada
kepercayaan dan keyakinan
Pandangannya yang Kritis untuk melihat
segala sesuatu dengan akal nalar mendorong masyarakat Yunani kuno untuk dapat
mendorong kehidupan ke arah tata kelola yang lebih baik. Selain itu, kondisi
kehidupan Yunani kuno yang hidup dalam ruang lingkup yang cenderung tidak terlalu
luas dan terbatas, mempermudah mereka untuk mengelola kehidupan politiknya.
Jika kita melihat sebagai ilustrasi kehidupan masyarakat yang hidup dalam
sebuah pulau kecil akan berpeluang saling mengenal satu sama lain dibandingkan
dengan masyarakat yang hidup pada kelompok sosial yang lebih plural dan besar.
Dalam melihat latar belakang kondisi sosial
Yunani kuno ini Noer memberikan sebabnya pada tiga poin, pertama, negara yang
disebut polis sering mengalami sifat pemerintahan. Kedua, yang menimbulkan
perangsang bagi menjawab permasalahan politik, adalah karena bicara dan bukan
kekerasan senjata, yang lebih diutamakan. Ketiga, apa yang disebut negara
mereka samakan dengan masyarakat, dan sebaliknya masyarakat identik dengan
negara
Pemikiran awal dari Socrates
mengawali terbukanya gerbang diskursus pada masa Yunani kuno. Socrates sebagai
seorang filsuf memiliki metode yang sangat baik dalam membedah pemikiran lawan
bicaranya. Melalui karya monumental Plato yaitu Republik (Politeia) dapat
terlihat bagaimana Plato menggambarkan sosok gurunya dalam menggunakan metodenya.
Sikap metode ini sering terkenal dengan istilah ironi Socrates. Dia mengaku
sebagai sebuah gelas kosong yang secara terus menerus memberikan pertanyaan
kepada lawan bicaranya. Setiap jawaban yang diberikan akan langsung disusul
oleh pertanyaan selanjutnya yang akan melahirkan kebuntuan sang lawan bicara.
Pada akhirnya hanya akan membuka pemahaman lawan bicara yang sebenarnya.
Dalam melihat persoalan ini Plato sebagai
murid Socrates dalam melihat fenomena yang ada saat itu. Melalui makalah ini penulis
akan membedah dan membandingkan pemikiran politik dari Plato dan Aristoteles
tentang negara, kekuasaan dan hukum. Keduanya memiliki pandangan yang tidak
jauh berbeda, namun ada beberapa hal pandangan berbeda dari Aristoteles
terhadap gurunya, Plato.
Pemikiran Plato Tentang Negara
Plato lahir pada tahun 429 Sebelum
Masehi (SM) dan meninggal dunia pada tahun 347 SM. Seperti yang sudah
disampaikan sebelumnya, Plato adalah murid dari Socrates yang sangat
dipengaruhi oleh pemikirannya. Dalam Republik (Politeia) Plato sangat
menjelaskan secara mendetail bagaimana pemikiran dari Socrates. Plato memandang
hal yang paling penting dalam kehidupan manusia adalah keadilan. Politeia
memberikan gambaran kepada kita bagaimana seharusnya negara bertindak.
Menurut Ernest Baker, Politeia
membicarakan empat hal besar: pertama, mengenai metafisika, yang mencari dan
membicarakan apa sebenarnya hakekat segala yang ada ini; kedua, mengenai etika,
yaitu tentang sikap yang benar dan baik, dan sebaliknya; ketiga, mengenai pendidikan
yang harus dijalani seseorang dalam hidup ini, dan akhirnya mengenai
pemerintahan yang seharusnya, yang ideal.
Keempat hal tersebut menunjukkan
keterkaitan pemikiran Plato dalam melihat negara. Terutama poin keempat yang
memastikan bagaimana negara yang seharusnya. Menurut Plato, keadilan merupakan
sesuatu yang harus ada dalam negara. Segala sesuatu yang dilakukan oleh negara
harus bertujuan untuk mencapai kebajikan. Kebajikan hanya akan terwujud hanya
ketika manusia berpengetahuan. Pengetahuan adalah suatu kebajikan. Pengetahuan
akan membawa kebajikan kepada manusia. Melalui pengetahuan seseorang dapat
mengetahui hal yang baik maupun buruk. Dengan demikian orang tersebut dapat
melihat kebajikan melalui pengetahuan yang dimilikinya.
Plato menganggap pendidikan akan
menciptakan manusia yang berpengetahuan. Pendidikan tidak hanya sebagai tempat
mempelajari sesuatu, tetapi melalui pendidikan akan melahirkan manusia yang
dapat berpikir. Plato menghendaki seorang pemimpin yang baik adalah seorang The
Philosopher King (Seorang Raja Filsuf). Seorang Raja Filsuf memiliki
pengetahuan yang tidak dimiliki oleh rakyatnya. Raja Filsuf dapat memutuskan
apa yang baik bagi rakyatnya. Hanya melalui Raja Filsuf kebajikan akan
diperoleh. Plato menganalogikan seorang Raja filsuf sebagai seorang dokter.
Raja filsuf harus memahami berbagai gejala penyakit masyarakat, mendeteksinya
sejak dini, mampu melakukan diagnosa, dan mencari cara bagaimana menyembuhkan
penyakit itu.
Kekuasaan dalam pandangan Plato
Kondisi suasana perebutan kekuasaan
yang terjadi pada saat zaman Yunani Kuno sangat mempengaruhi pandangan Plato
dalam melihat bentuk kekuasaan yang ideal. Dari pandangannya mengenai
pentingnya seorang raja filsuf dalam suatu negara menunjukkan keberpihakan
Plato pada sistem politik yang bersifat monarki dibawah kuasa satu orang. Raja
filsuf dianggap sebagai seseorang yang dapat menjaga agar suatu negara dapat
bertahan.
Pada sejarahnya, Plato mempelajari
bentuk kekuasaan yang ideal pada saat terjadi perebutan kepemimpinan di Yunani
kuno antara dua negara utama, Sparta dan Athena. Hal ini terjadi pada Perang
Peloponnesos (431-404) yang pada akhirnya memenangkan Sparta. Plato melihat
kekalahan Athena tidak hanya disebabkan oleh faktor eksternal yang disebabkan
ketangguhan pasukan Sparta, namun disebabkan faktor internal lemahnya pasukan
Athena. Bentuk kekuasaan Aristokratis Militeristis yang diterapkan Sparta
menjadikannya lebih unggul dalam mempersatukan negara dibandingkan dengan
kekuasaan demokratis Athena.
“Demokrasi karena bertanggung jawab
atas kelemahan keadaan kota Athena dan oleh karena itu ia menyerangnya,
berpikir bahwa suatu bentuk pemerintahan yang otoriter akan bisa menjamin
stabilitas”
Menurut Plato demokrasi hanya akan
menimbulkan kekacauan sosial. Hal ini diperoleh sebagai hasil dari kebebasan
yang diperoleh setiap orang. Kebebasan untuk mengkritik siapapun termasuk
penguasa. Kondisi seperti ini akan sulit dikontrol ketika orang saling
mengabaikan hak orang lainnya yg juga memiliki hak yang sama untuk mengkritik.
Jika melihat lebih dalam, hal ini bukannya akan memperkuat negara tersebut,
tapi menghasilkan perdebatan yang tidak terelakkan dari internal negara
tersebut. Hal ini yang terjadi pada Athena ketika terjadi perebutan kekuasaan
Yunani kuno.
Dalam istilah Plato, demokrasi itu,
“penuh sesak dengan kemerdekaan dan kebebasan berbicara dan setiap orang dapat
berbuat sekehendak hatinya.” Hal ini menunjukkan secara jelas ketidakberpihakan
Plato pada demokrasi. Demokrasi menurutnya pada akhirnya hanya akan melahirkan
pemerintahan tirani. Sehingga dalam hal kekuasaan Plato menganggap yang terbaik
adalah sistem monarki.
Hukum Dalam Persepktif Plato
Pada konteks hukum, Plato memandang
setiap orang memiliki hak yang sama di depan hukum. Hal ini dijelaskan Plato
pada bukunya yang berjudul Nomoi. Jika pada Politeia dia membagi kelas-kelas
kepada Penguasa, Pembantu Penguasa dan Pekerja, yang memiliki hak yang berbeda.
Namun pada Nomoi Plato menempatkan pengusaha (pembantu penguasa) tidak diatas
hukum, melainkan sebagai penjaga hukum. Pandangan Plato terkait tidak adanya
hak atas milik menjadi berbeda pada Nomoi.
Menurut Plato, hukum adalah
sesuatu yang mengatur segala sendi
kehidupan manusia termasuk moral. Plato tetap melihat kebajikan sebagai tujuan
dari negara. Moral menduduki posisi tertinggi dalam hukum. Dengan kata lain,
pemberlakuan hukum harus berdasarkan moral yang menjadi pegangan kehidupan manusia
agar memperoleh keadilan.
Untuk membangun negara yang ideal tentunya butuh Pembelajaran kenegraan yang sangat begitu panjang negitupun dengan negara kita ini harus selalu bejar untuk lebih baik. sekian tulusannya mengenai palto semoga bisa membantu bagi yang lagi belajr politik
(Penulis Adi)
0 komentar