OLEH: M.ADI
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga yogyakarta
Fakultas Usuluddin Aqidah dan Filsafat
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga yogyakarta
Fakultas Usuluddin Aqidah dan Filsafat
TAHAP BERMETAFISIKA MENURUT PLOTINUS
Metafisika yang ingin dikenalkan oleh Plotinus sebenarnya tidak jauh
dari pemikiran ideal Plato, namun yang perlu kita pahami bersama bahwa ajaran
ini sebenarnya tidak hanya bermadhab pada Plato semata, karena tidak bisa kita
pungkiri bersama bahwa pemikiran ini juga terpengaruh oleh Aristotiles, Stoa,
dan Phytagoras, penegetahuan Plotinus ini justru juga banyak menimba ilmu pada
aliran tersebut.
Dalam pandangan Plotinus, dia melihat bahwa realitas tertinggi
disebut ide tertinggi. Ide tertinggi berhadapan dengan tingkat benda pertama
atau hule (madah). Kekuasaan dan kesempurnaan ada pada ide tertinggi itu,
sedangkan kelemahan dan ketidak sempurnaan ada pada hule. Oleh karena itu
realitas sebenarnya adalah ide tertinggi sedanagkan realitas pada tingkat hule
itu tidak lebih hanya penampakan saja dari ide tertingi tersebut. Ide tertinggi
itu hanya satu yaitu kebaikan semata. Paham Plotinus ini sangat terpesona oleh
ide yang satu ini sehingga dia mendasarkan bahwa segala yang ada itu berasal
darinya.
Dalam pemikiran Aristoteles, plotinus juga tertarik pada sebuah
pandangan Aristoteles mengenai akil-makul,
forma murni yaitu zat yang ada dengan sendirinya adalah sebagai zat yang
memikirkan dirinya sendiri. Dengan kata lain bahwa tuhan itu hanya memikirkan objek
fikiran yang lebih utama sedangkan yang utama dari pada dzatnya tidak ada,
fikiran dan obyek fikiran adalah keadaan yang utama. Oleh kerna itu tuhan tidak
memngatur hal-hal yang lebih kecil, kerana hal itu lebih rendah untuk
diketahuinya. Dalam hal ini Plotinus tidak setuju dengan pandangan di atas ,
kerena hal itu mengubah pandangan Aristoteles dari tuhan sebagai forma murni
menjadi tuhan tidak berforma.
Sedangkan paham yang di ambil oleh Plotinus mengenai paham stoa
yaitu mengenai konsep logos, dan dari Phytagoras adalah bahwa yang satu itu mengatasi
segala wujud. Dari beberapa paham sebelumnya seorang Plotinus dapat mengambil
satu pandangan bahwa realitas tertinggi itu hanyalah ide, dia juga bisa dikatakan sebagai bapak penyatu
pandangan dualisme kedalam kesatuan.
Dari seluruh konsep Metafisika Plotinus dapat dikatakan bahwa dia
berkisar pada konsep kesatuan. Konsp kesatua itu bermula pada hypotesis yaitu
yang esa(the higest Being, the first atau wujud al-awwal) yang esa ini
kadang-kadang di sebut dengan tuhan atau kebaikan. Kemudian Nous (spirit), nous
ini juga disebut sebagai kesadaran yang abadi (internal Consciousness), Nous
ini tidak smpurna lagi, minimal sudah mengandung dualitas tetapi obyeknya di
batasi pada bentuk-bentuk murni, adapun yang terahir adalah Soul (first soul,
the world soul, nafsu al-kulliyah) yang terahir ini mengandung duna fisik.
Menurut plotinu bahwa segala wujud itu berasal dari esa. Oleh karea
itu dalam realitas seluruhnya terdapat dua arah gerakan. Yaitu gerak mendaki
dan menurun. Gerak menurun utuk menjelaskan ang tertinggi dengan demikian Plotinus
dikenal degan teorinya “yang Esa” bahwa semua wujud adalah mata rantai yang
kuat yang terkenal dengan “Kesatuan wujud”. Menurut dia bahaw wujud yang
tertingi itu adalah satu yang tidak hanya melebihi alam melinkan juga melebihi
pikiran. Tiap penamaan yang berasal dari gejala-gejala duniawi tidak berlaku bagi
wujud tertinggi dalm arti sebenarnya.
Dari penamaan gejala-gejala duniawi kerena bahasa adalah
gejala-gejala duniawi. Setidaknya ada tiga jalan untuk menarik kesimpulan
tentang wujud tertinggi dengan mendasarkan atas dunia kejadian sebagai
kesimpulan analogi. Jalan pertama yaitu” Equifositas” atau “ketidak samaan” ,
penamaan yang sama digunakan tentang keduniawian dan tentang tuhan tanpa arti
sama. Dalam hal ini harus kita pahami
bersama bahwa penamaan yang sama tidak berarti wujudnya juga sama.
Namun dengan cara “ketidakjelasan” bahwa hakikat tuhan itu bukan
hakikat keduniwian, melainkan suatu sifat yang lain sama sekali dengan hakikat
duniawi. Dari konsep Equivositas ini dapat ditarik kesimpulan untuk menentukan
sifat tuhan dengan dua jalan lain scara logika. Jalan kedua dan ketiga ini
dapat digunakan untuk menentukan perbedaan antara hakikat keduniawian dan
hakikat ketuhanan. Sedangkan jalan kedua dalah “via negation” (penyangkalan)
dan “via emanetia” (keunggulan). Dengan via negation kita menyangkal antara
kesamaan sifat tuhan an keduniawian. Dengan demikian tuhan itu ada tidak hanya
ada. Melinkan lebih dari ada, kerena bersifat sumber dari segala eksistensi.
Dan merupankan sumber eksistensi yang transinden dari duniawi.
Wujud tertinggi itu dinamakan dengan “yang esa” atau “yang
tunggal”. Dengan pengertia bahwa “yang ganjil” dapat di hargai lebih sempurna
dari pada yang genap. Hakikat tuhan yang ternsinden diartikan oleh Plotinus
sebagi sesuatu yang tidak berforma. Pendanpat ini bertentangan dengan Aristoteles
yang mengartikan bahwa tuhan itu sebagai forma murni. Plotinus berpendapat
bahwa tuhan itu tidak dapat dianggap sebagai yang terbatas dalam pengertian
angka ganjil. Dari sini perbedaan antara Plato dan Plotinus menjadi sangat
jelas. Ide-ide Plato sebagai wujud tertinggi (termasuk didalmnya ide keindahan)
adalah bentuk yang di cita-citkan sebagai prinsip yang paling sendiri dan
terbatas.
Lain halnya dengan Plotinus cita-cita estetika Plato diganti dengan
cita-cita mistik. Sifat keduniawian tidak di konsentrasikan seperti ide Plato.
Batasnya juga tidak di tentukan seperti dalam Plato. Meneurut penafsiran Plotinus
dalam keduniwian terdapat forma-forma yang setabil bersifat ketentuan hakikat.
Mengenai tuhan tidak berforma itu Plotinus memaparkan konsep Dimiurgos, (Nuos)
dan jiwa alam(soul). Yang Esa yang non forma itu dan prototipe keidean terjadi
tirai dan menjadi persona hypostasis. Wujud atau hakekat tertinggi itu adalah
hypostasis yang kedua, adalah nous adalah bersifat kerohanian dan menjadi sifat
fikiran, dan nuos itu sediri menagndung ide-ide Plato.
Menurut pandangan Plato materi menambah sesuatu kepada kenyataan,
sedangkan menurut Plotinus materi mengurangi sifat keidean. Dalam proses ini
bukan beraarti ingin menggambarkan bahwa pendapat Plotinus itu mirip dengan
pemikiran aristoteles yang mengatakan bahwa martabat wujud itu permulaanya
manakala bagian formanya (suroh) semakin besar sdangkan hulenya (madah) semakin
kecil. Dengan kata lain hule mengurangi bobot kemuliaan forma untuk sampai pada
forma murni. Disinilah plotius menampakkan ambivalensi bahwa alam duniawi yang
tidak sempurna dalam sebagian bersar sifat-sifatnya dapat ada di samping
eksistensi surga yang dalam keideaan dan keyataannya tersusun rapi dalam
suasana nous. Dan soul atau jiwa dunia selaku martabat yang paling rendah dalam seluruh martabat wujud atau hirarki wujud adalah hypostasis yang
paling kurang kesempurnaannya dan sumber kejahatan sebab ia sudah jauh dari
titik referensi.
Dapat diambil sebuah kesimpulan oleh penulis bahwa, cara pandang Plotinus
dalam realitas mengenai gejala-gejala mengenai kesatuan “yang Esa” mengenai dunia
itu menggunakan tiga cara seperti yang telah di sebut di atas yaitu: pertam
Equifositas” atau “ketidak samaan, kedua dalah “via negation”
(penyangkalan) dan “via emanetia” (keunggulan). Bahwa mengenai Dari seluruh
konsep Metafisika Plotinus dapat dikatakan bahwa dia berkisar pada konsep
kesatuan. Konsep kesatua itu bermula pada hypotesis yaitu yang esa (the highest
Being, the first atau wujud al-awwal) yang esa ini kadang-kadang di sebut
dengan tuhan atau kebaikan. Kemudian Nous (spirit), nous ini juga disebut
sebagai kesadaran yang abadi (internal Consciousness).
0 komentar