Translate

Wednesday, March 19, 2014

TAHAP BERMETAFISIKA PERSEFEKTIF PLOTINUS


OLEH: M.ADI
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga yogyakarta
Fakultas Usuluddin Aqidah dan Filsafat

TAHAP BERMETAFISIKA MENURUT PLOTINUS
Metafisika yang ingin dikenalkan oleh Plotinus sebenarnya tidak jauh dari pemikiran ideal Plato, namun yang perlu kita pahami bersama bahwa ajaran ini sebenarnya tidak hanya bermadhab pada Plato semata, karena tidak bisa kita pungkiri bersama bahwa pemikiran ini juga terpengaruh oleh Aristotiles, Stoa, dan Phytagoras, penegetahuan Plotinus ini justru juga banyak menimba ilmu pada aliran tersebut.
Dalam pandangan Plotinus, dia melihat bahwa realitas tertinggi disebut ide tertinggi. Ide tertinggi berhadapan dengan tingkat benda pertama atau hule (madah). Kekuasaan dan kesempurnaan ada pada ide tertinggi itu, sedangkan kelemahan dan ketidak sempurnaan ada pada hule. Oleh karena itu realitas sebenarnya adalah ide tertinggi sedanagkan realitas pada tingkat hule itu tidak lebih hanya penampakan saja dari ide tertingi tersebut. Ide tertinggi itu hanya satu yaitu kebaikan semata. Paham Plotinus ini sangat terpesona oleh ide yang satu ini sehingga dia mendasarkan bahwa segala yang ada itu berasal darinya.
Dalam pemikiran Aristoteles, plotinus juga tertarik pada sebuah pandangan Aristoteles mengenai akil-makul,  forma murni yaitu zat yang ada dengan sendirinya adalah sebagai zat yang memikirkan dirinya sendiri. Dengan kata lain bahwa tuhan itu hanya memikirkan objek fikiran yang lebih utama sedangkan yang utama dari pada dzatnya tidak ada, fikiran dan obyek fikiran adalah keadaan yang utama. Oleh kerna itu tuhan tidak memngatur hal-hal yang lebih kecil, kerana hal itu lebih rendah untuk diketahuinya. Dalam hal ini Plotinus tidak setuju dengan pandangan di atas , kerena hal itu mengubah pandangan Aristoteles dari tuhan sebagai forma murni menjadi tuhan tidak berforma.
Sedangkan paham yang di ambil oleh Plotinus mengenai paham stoa yaitu mengenai konsep logos, dan dari Phytagoras adalah bahwa yang satu itu mengatasi segala wujud. Dari beberapa paham sebelumnya seorang Plotinus dapat mengambil satu pandangan bahwa realitas tertinggi itu hanyalah ide, dia  juga bisa dikatakan sebagai bapak penyatu pandangan dualisme kedalam kesatuan.
Dari seluruh konsep Metafisika Plotinus dapat dikatakan bahwa dia berkisar pada konsep kesatuan. Konsp kesatua itu bermula pada hypotesis yaitu yang esa(the higest Being, the first atau wujud al-awwal) yang esa ini kadang-kadang di sebut dengan tuhan atau kebaikan. Kemudian Nous (spirit), nous ini juga disebut sebagai kesadaran yang abadi (internal Consciousness), Nous ini tidak smpurna lagi, minimal sudah mengandung dualitas tetapi obyeknya di batasi pada bentuk-bentuk murni, adapun yang terahir adalah Soul (first soul, the world soul, nafsu al-kulliyah) yang terahir ini mengandung duna fisik.
Menurut plotinu bahwa segala wujud itu berasal dari esa. Oleh karea itu dalam realitas seluruhnya terdapat dua arah gerakan. Yaitu gerak mendaki dan menurun. Gerak menurun utuk menjelaskan ang tertinggi dengan demikian Plotinus dikenal degan teorinya “yang Esa” bahwa semua wujud adalah mata rantai yang kuat yang terkenal dengan “Kesatuan wujud”. Menurut dia bahaw wujud yang tertingi itu adalah satu yang tidak hanya melebihi alam melinkan juga melebihi pikiran. Tiap penamaan yang berasal dari gejala-gejala duniawi tidak berlaku bagi wujud tertinggi dalm arti sebenarnya.
Dari penamaan gejala-gejala duniawi kerena bahasa adalah gejala-gejala duniawi. Setidaknya ada tiga jalan untuk menarik kesimpulan tentang wujud tertinggi dengan mendasarkan atas dunia kejadian sebagai kesimpulan analogi. Jalan pertama yaitu” Equifositas” atau “ketidak samaan” , penamaan yang sama digunakan tentang keduniawian dan tentang tuhan tanpa arti sama.  Dalam hal ini harus kita pahami bersama bahwa penamaan yang sama tidak berarti wujudnya juga sama.
Namun dengan cara “ketidakjelasan” bahwa hakikat tuhan itu bukan hakikat keduniwian, melainkan suatu sifat yang lain sama sekali dengan hakikat duniawi. Dari konsep Equivositas ini dapat ditarik kesimpulan untuk menentukan sifat tuhan dengan dua jalan lain scara logika. Jalan kedua dan ketiga ini dapat digunakan untuk menentukan perbedaan antara hakikat keduniawian dan hakikat ketuhanan. Sedangkan jalan kedua dalah “via negation” (penyangkalan) dan “via emanetia” (keunggulan). Dengan via negation kita menyangkal antara kesamaan sifat tuhan an keduniawian. Dengan demikian tuhan itu ada tidak hanya ada. Melinkan lebih dari ada, kerena bersifat sumber dari segala eksistensi. Dan merupankan sumber eksistensi yang transinden dari duniawi.
Wujud tertinggi itu dinamakan dengan “yang esa” atau “yang tunggal”. Dengan pengertia bahwa “yang ganjil” dapat di hargai lebih sempurna dari pada yang genap. Hakikat tuhan yang ternsinden diartikan oleh Plotinus sebagi sesuatu yang tidak berforma. Pendanpat ini bertentangan dengan Aristoteles yang mengartikan bahwa tuhan itu sebagai forma murni. Plotinus berpendapat bahwa tuhan itu tidak dapat dianggap sebagai yang terbatas dalam pengertian angka ganjil. Dari sini perbedaan antara Plato dan Plotinus menjadi sangat jelas. Ide-ide Plato sebagai wujud tertinggi (termasuk didalmnya ide keindahan) adalah bentuk yang di cita-citkan sebagai prinsip yang paling sendiri dan terbatas.
Lain halnya dengan Plotinus cita-cita estetika Plato diganti dengan cita-cita mistik. Sifat keduniawian tidak di konsentrasikan seperti ide Plato. Batasnya juga tidak di tentukan seperti dalam Plato. Meneurut penafsiran Plotinus dalam keduniwian terdapat forma-forma yang setabil bersifat ketentuan hakikat. Mengenai tuhan tidak berforma itu Plotinus memaparkan konsep Dimiurgos, (Nuos) dan jiwa alam(soul). Yang Esa yang non forma itu dan prototipe keidean terjadi tirai dan menjadi persona hypostasis. Wujud atau hakekat tertinggi itu adalah hypostasis yang kedua, adalah nous adalah bersifat kerohanian dan menjadi sifat fikiran, dan nuos itu sediri menagndung ide-ide Plato.
Menurut pandangan Plato materi menambah sesuatu kepada kenyataan, sedangkan menurut Plotinus materi mengurangi sifat keidean. Dalam proses ini bukan beraarti ingin menggambarkan bahwa pendapat Plotinus itu mirip dengan pemikiran aristoteles yang mengatakan bahwa martabat wujud itu permulaanya manakala bagian formanya (suroh) semakin besar sdangkan hulenya (madah) semakin kecil. Dengan kata lain hule mengurangi bobot kemuliaan forma untuk sampai pada forma murni. Disinilah plotius menampakkan ambivalensi bahwa alam duniawi yang tidak sempurna dalam sebagian bersar sifat-sifatnya dapat ada di samping eksistensi surga yang dalam keideaan dan keyataannya tersusun rapi dalam suasana nous. Dan soul atau jiwa dunia selaku martabat yang paling rendah  dalam seluruh martabat wujud  atau hirarki wujud adalah hypostasis yang paling kurang kesempurnaannya dan sumber kejahatan sebab ia sudah jauh dari titik  referensi.   
Dapat diambil sebuah kesimpulan oleh penulis bahwa, cara pandang Plotinus dalam realitas mengenai gejala-gejala mengenai kesatuan “yang Esa” mengenai dunia itu menggunakan tiga cara seperti yang telah di sebut di atas yaitu: pertam Equifositas” atau “ketidak samaan, kedua dalah “via negation” (penyangkalan) dan “via emanetia” (keunggulan). Bahwa mengenai Dari seluruh konsep Metafisika Plotinus dapat dikatakan bahwa dia berkisar pada konsep kesatuan. Konsep kesatua itu bermula pada hypotesis yaitu yang esa (the highest Being, the first atau wujud al-awwal) yang esa ini kadang-kadang di sebut dengan tuhan atau kebaikan. Kemudian Nous (spirit), nous ini juga disebut sebagai kesadaran yang abadi (internal Consciousness).

Load disqus comments

0 komentar