Refleksi kebangkitan Islam Indonesia
OLEH: M.ADI
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga yogyakarta
Fakultas Usuluddin Agidah dan Filsaf
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga yogyakarta
Fakultas Usuluddin Agidah dan Filsaf
Tulisan ini berkar dari tema diskusi dan kegelishan kawan-kawan di KomunItas
mata pena,diskusi ini adalah meRupakan diskusi rutin yang kami lakukan di
Kmonitas mata pena, Perum Dukuh Asri Bantul Yogya Karta tanggal 09 November
2013.
Seperti biasa semua peserta Dalam
permasalahan tersebut di wajibkan menulis hasil diskusi. Kegiatan diskusi
tersebut berlangung sekitar jam 19.30-13.40 WIB.
Tulisan ini adalah merupakan tulisan yang sempat kami kirim kemedia
tapi belum dapat respon dan dipublikasikan oleh media.
Katika kami mulai meneilik sejrah ternyata Sudah lebih dari
seperempat abad kebangkitan Islam, namun tema ini tetap tidak jadi tema yang
usang untuk dibicarakan. Islam sebagi Agama rohmatan lil-alamin sangat
menarik perhatian para Analisis dan Aktivis dari pelbagai disiplin
ilmu untuk mereka diskusikan dan perdebatkan.
Dari pelbagai refrensi dan perdebatan mengenai seberapa jauh
sumbangsih ruh yang menjadi sumber gairah kemerdekaa dalam dunia islam,
kemudian peserta dan teman-teman yang sempat berdiskusi dengan kami memunculkan
beberapa kegelisahan mengenai kiprah islam sebagi ruh pergerkan dan pembebasan
dalam dunia islam terutama di indonesia.
Kerena meneurut Noer Cholis Majid saat kemerdekaan penduduk yang
berperan sebagai lokomutif kemerdekaan bangsa indonesia warga indonesia 99%
mereka memeluk agama islam.
Apakah sebernya yang melatar belakangi kebangkitan Islam,maknanya
dan kemungkinanya untuk memproyeksikan dalam kehidupan masyarakat saat ini dan
masa depan. Ini selalu mennuai pertayan yang tidak kunjung padam dalam setiap tubuh
ksmi dan lini kehidupan dan generasi Islam tnunya akn berpikir demikian juga.
Diskursus kebangkitan Islam menyebar pesat di Nusantara dalam
guliran sejarah yang tercatat dan kita yakini saat ini yaitu sekitar pergantian
abad ke 14 munuju abad ke15 Hijriyah,akhir tahun 1970-an. Di indonesia
antusiasme umat islam terhadap kebangkitan itu sangat tinggi. Bahkan Menteri
Luar dalam Negeri dan Mentri Agama mengeluarkan
instruksi bersama no. 38 Tahun 1979 dan No. 9 tahun 1979 tertanggal 20 Oktober peringatan Meyongsong
abad XV Hijriayah.
Sacara terserirat ada dua faktor yang sangat mempengaruhi diskursus
kebangkitan Islam. Pertama, revolusi Islama Iran tahun 1979 yang
berahasil menumbangkan rezim Syah Reza Pahlevi dukungan Amirika Serikat dan tampilnya Zia ul-haq sebagi peminpin Pakistan.
Revolusi Islam Iran telah meningkatkan percaya diri umat Islam dalam perjuangan
untuk membeskan diri dari segala bentuk dominasi dan hegemoni Barat.
Kedua, berahirnya
Perang Dunia II menjadi awal bangkitnya masyarakat Islam sebagai Negara merdeka
, bebas dari penjajahan Barat atas kawasan Islam yang membentang dari Maroko di
Afrika Barat sampai Indonesia di Asia tenggara, peradaban Islam berbeda dengan
abad kegelapan. Kemerdekaan yang diraih oleh beberapa Negara Islam membuka
harapan baru terhadap dunia yang lebih baik. Dengan demikian, kebangkitan Islam
sejak awal identik dengan proses diskursus.
Spirit kebangkitan yang muncul secara massif pada akhir 1970-an
merupakan gejala yang sebenarnya tidak sulit untuk dejelaskan. Selama kurun
waktu kurang lebih 25 tahun sejak meraih kemerdekaan di negra-negara islam
telah tumbuh satau generasi baru dengan munculnya sarjana-sarjana muslim yang
siap jadi pemikir dan penggerak gerakan-gerakan islam. Di tambah denagn sepirit
revolusi Iran para sarjana dan aktivis Islam samapai pada titik kesadaran baru
bahwa legasi Islam bisa menjadi modal untuk membebaskan diri dari segala bentuk
penjajahan, sehingga peradaban Islam sejajar dengan peradaban lain.
Kebangkitan Islam, dengan demikian bukan hanya mencakup diskursus
kawasan Islam dari cengkraman fisik negara-negara Barat, tetapi juga dari
kungkungan rezim pengetahuan mereka.
Samapai saat ini, diskursus itu tidak bisa dilepaskan dari visi
gerakan Isalam dipelbagai Negara. Bahakan ada kecendrungan yang semakin kuat
untuk tidak sekedar menjadikan peradaban Islam sejajar denag perdaban barat.
Tapi menulak nilai-nilai barat dan menjadikan Islam sebagi alternatif. Ideologi
liberalisme dianggap telah gagal mewujudkan tata dunia dan sisitem sosial yang
manusiawi dan berkeadilan.
Kecendrungan demikian di satu sisi membuat pelabagai manifestasi gerakan
Islam menjadi semakin solid. Musuh bersama berhasil dicipta, sehingga
perbedaan-perbedaan di internal gerakan bisa dilupakan walaupun terkadang hanya
untuk sementara. Perjuanagan melawan dominasi Barat memnuntut adanya persatuan
dikalangan gerakan Islam,
Namun, didsisi lain, kecendrunagn tersebut membuat gerakan Islam
terjebak dalam prokialisme yang di tandai denagan sikap menutup diri secara
berlebihan sehingga maraknya gerakan Islam bisa menjadi ancaman bagi eksistensi
dan integrasi bangsa yang pluralistik ini. Islam sebagi komponen mayoritas seharusnya
bisa jadi unsur yang menyatukan dan menjembatani pelabagi aspirasi dari seluruh
komponen bangsa, bukan malah menjadi
faktor sebaliknya.
Proyeksi masadepan seperti Prokialisme tersebut sebenarnya bukan
hanya menjadi anacaman bagi eksistensi bangsa, tetapi juga bisa kontraproduktif
terhadap gerakan Islam itu sendiri. Karena prokialisme akan memutus kontak
gerakan Islam dengan realitas dan menjauhkan diri dengan aspirasi dasar umat Islam.
Karena itu, tantangan yang dihadapi gerakan Islam saat ini adalah
mentranformasikan soliditas itu untuk kepentingan yang lebih besar dan memproyeksikannya untuk kepentingan
kekinian dan masa depan. Pemurnian ajaran Islam dan ideologisasi terhadapnya
tidak harus membuat ummat Islam memutus komunikasi, ideologi dan kerja sama
dengan kelompok lain.
Kemurnian dan kesmpurnaan perlu dipahami sebagai proses yang
dinamis, bukan dengan keadaan statis. Karena kemurnian dan kesempurnaan ajaran
hanya bisa di capai jika ada upaya-upaya berkelanjutan untuk menjadikan agama
sebagi tata nilai yang inklusif, dengan kesadaran take and give (saling
memberi dan menerima) dengan tata nilai yang berbeda. Kemurnian dan
kesempurnaan akan semakin kokoh dan
bermakna justru ketika agama ditempatkan sebagi faktor komplementer dalam
kehidupan, sehingga pelabagai manefestasi
kultural dan wawasan keilmuan yang datang dari peradaban lain bisa
diserap secara proporsional dan kontekstual.
Menurut Gusdur (1989) perinsip-perinsip fundemintal islam sendiri tidak pernah mempersoalkan mana yang
lebih unggul antara”masukan Islam” dan masukan nilai lain yang datang darai
manapun. Karena dalam konteks ini, islam tidak berfungsi hipotesis operatif, tetapi
sebagai sumber ispiratif bagi kehidupan Bangsa dan Negara.
Proses diskursus bukan berarti membebaskan diri secara total dari
pengaruh luar. Dalam kehidupan masakini, tidak mungkin bangsa menutup diri dan
menulak semua yang datang dari luar. Diskursus ulang sebagi upaya membangun
kemandirian dan identitas nasional dalam rangka menjadi dirinya sendiri, serta mendaya gunakan seluruh potensi yang
ada sehingga bangsa ini bisa eksis.
Kalau sikap yang demikian itu bisa dikembangkan dengan baik dan
percaya diri, maka kebagkitan islam akan berjalan lebih cepat dan membawa makna
yang sangat dalam bagi umat Islam sendiri dan bagi kebangkitan bangsa yang
sedang terpuruk ini.
Oleh:
M. Adi
Penulis
adalah peserta Aktif di komunitas Mata Pena Yogya karta. Sedang menempuh
pendidikan S1 di UIN Sunan Kalijaga Yogya Karta, Fakultas Aqidah dan Filsafat.
0 komentar