Translate

Tuesday, November 26, 2013

Refleksi kebangkitan Islam Indonesia


Refleksi kebangkitan Islam Indonesia
OLEH: M.ADI
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga yogyakarta
Fakultas Usuluddin Agidah dan Filsaf


Tulisan ini berkar dari tema diskusi dan kegelishan kawan-kawan di KomunItas mata pena,diskusi ini adalah meRupakan diskusi rutin yang kami lakukan di Kmonitas mata pena, Perum Dukuh Asri Bantul Yogya Karta tanggal 09 November 2013.
Seperti biasa semua peserta  Dalam permasalahan tersebut di wajibkan menulis hasil diskusi. Kegiatan diskusi tersebut  berlangung  sekitar jam 19.30-13.40 WIB.
Tulisan ini adalah merupakan tulisan yang sempat kami kirim kemedia tapi belum dapat respon dan dipublikasikan oleh media.
Katika kami mulai meneilik sejrah ternyata Sudah lebih dari seperempat abad kebangkitan Islam, namun tema ini tetap tidak jadi tema yang usang untuk dibicarakan. Islam sebagi Agama rohmatan lil-alamin sangat menarik perhatian para Analisis dan Aktivis dari pelbagai disiplin ilmu untuk mereka diskusikan dan perdebatkan.
Dari pelbagai refrensi dan perdebatan mengenai seberapa jauh sumbangsih ruh yang menjadi sumber gairah kemerdekaa dalam dunia islam, kemudian peserta dan teman-teman yang sempat berdiskusi dengan kami memunculkan beberapa kegelisahan mengenai kiprah islam sebagi ruh pergerkan dan pembebasan dalam dunia islam terutama di indonesia.
Kerena meneurut Noer Cholis Majid saat kemerdekaan penduduk yang berperan sebagai lokomutif kemerdekaan bangsa indonesia warga indonesia 99% mereka memeluk agama islam.
Apakah sebernya yang melatar belakangi kebangkitan Islam,maknanya dan kemungkinanya untuk memproyeksikan dalam kehidupan masyarakat saat ini dan masa depan. Ini selalu mennuai pertayan yang tidak kunjung padam dalam setiap tubuh ksmi dan lini kehidupan dan generasi Islam tnunya akn berpikir demikian juga.
Diskursus kebangkitan Islam menyebar pesat di Nusantara dalam guliran sejarah yang tercatat dan kita yakini saat ini yaitu sekitar pergantian abad ke 14 munuju abad ke15 Hijriyah,akhir tahun 1970-an. Di indonesia antusiasme umat islam terhadap kebangkitan itu sangat tinggi. Bahkan Menteri Luar dalam Negeri  dan Mentri Agama mengeluarkan instruksi bersama no. 38 Tahun 1979 dan No. 9 tahun 1979  tertanggal 20 Oktober peringatan Meyongsong abad XV Hijriayah.
Sacara terserirat ada dua faktor yang sangat mempengaruhi diskursus kebangkitan Islam. Pertama, revolusi Islama Iran tahun 1979 yang berahasil menumbangkan rezim Syah Reza Pahlevi dukungan Amirika Serikat  dan tampilnya Zia ul-haq sebagi peminpin Pakistan. Revolusi Islam Iran telah meningkatkan percaya diri umat Islam dalam perjuangan untuk membeskan diri dari segala bentuk dominasi dan hegemoni Barat.
Kedua, berahirnya Perang Dunia II menjadi awal bangkitnya masyarakat Islam sebagai Negara merdeka , bebas dari penjajahan Barat atas kawasan Islam yang membentang dari Maroko di Afrika Barat sampai Indonesia di Asia tenggara, peradaban Islam berbeda dengan abad kegelapan. Kemerdekaan yang diraih oleh beberapa Negara Islam membuka harapan baru terhadap dunia yang lebih baik. Dengan demikian, kebangkitan Islam sejak awal identik dengan proses diskursus.
Spirit kebangkitan yang muncul secara massif pada akhir 1970-an merupakan gejala yang sebenarnya tidak sulit untuk dejelaskan. Selama kurun waktu kurang lebih 25 tahun sejak meraih kemerdekaan di negra-negara islam telah tumbuh satau generasi baru dengan munculnya sarjana-sarjana muslim yang siap jadi pemikir dan penggerak gerakan-gerakan islam. Di tambah denagn sepirit revolusi Iran para sarjana dan aktivis Islam samapai pada titik kesadaran baru bahwa legasi Islam bisa menjadi modal untuk membebaskan diri dari segala bentuk penjajahan, sehingga peradaban Islam sejajar dengan peradaban lain.
Kebangkitan Islam, dengan demikian bukan hanya mencakup diskursus kawasan Islam dari cengkraman fisik negara-negara Barat, tetapi juga dari kungkungan rezim pengetahuan mereka.
Samapai saat ini, diskursus itu tidak bisa dilepaskan dari visi gerakan Isalam dipelbagai Negara. Bahakan ada kecendrungan yang semakin kuat untuk tidak sekedar menjadikan peradaban Islam sejajar denag perdaban barat. Tapi menulak nilai-nilai barat dan menjadikan Islam sebagi alternatif. Ideologi liberalisme dianggap telah gagal mewujudkan tata dunia dan sisitem sosial yang manusiawi dan berkeadilan.
Kecendrungan demikian di satu sisi membuat pelabagai manifestasi gerakan Islam menjadi semakin solid. Musuh bersama berhasil dicipta, sehingga perbedaan-perbedaan di internal gerakan bisa dilupakan walaupun terkadang hanya untuk sementara. Perjuanagan melawan dominasi Barat memnuntut adanya persatuan dikalangan gerakan Islam, 
Namun, didsisi lain, kecendrunagn tersebut membuat gerakan Islam terjebak dalam prokialisme yang di tandai denagan sikap menutup diri secara berlebihan sehingga maraknya gerakan Islam bisa menjadi ancaman bagi eksistensi dan integrasi bangsa yang pluralistik ini. Islam sebagi komponen mayoritas seharusnya bisa jadi unsur yang menyatukan dan menjembatani pelabagi aspirasi dari seluruh komponen bangsa,  bukan malah menjadi faktor sebaliknya.
Proyeksi masadepan seperti Prokialisme tersebut sebenarnya bukan hanya menjadi anacaman bagi eksistensi bangsa, tetapi juga bisa kontraproduktif terhadap gerakan Islam itu sendiri. Karena prokialisme akan memutus kontak gerakan Islam dengan realitas dan menjauhkan diri dengan aspirasi dasar umat Islam.
Karena itu, tantangan yang dihadapi gerakan Islam saat ini adalah mentranformasikan soliditas itu untuk kepentingan yang lebih  besar dan memproyeksikannya untuk kepentingan kekinian dan masa depan. Pemurnian ajaran Islam dan ideologisasi terhadapnya tidak harus membuat ummat Islam memutus komunikasi, ideologi dan kerja sama dengan kelompok lain.
Kemurnian dan kesmpurnaan perlu dipahami sebagai proses yang dinamis, bukan dengan keadaan statis. Karena kemurnian dan kesempurnaan ajaran hanya bisa di capai jika ada upaya-upaya berkelanjutan untuk menjadikan agama sebagi tata nilai yang inklusif, dengan kesadaran take and give (saling memberi dan menerima) dengan tata nilai yang berbeda. Kemurnian dan kesempurnaan  akan semakin kokoh dan bermakna justru ketika agama ditempatkan sebagi faktor komplementer dalam kehidupan, sehingga pelabagai manefestasi  kultural dan wawasan keilmuan yang datang dari peradaban lain bisa diserap secara proporsional dan kontekstual.
Menurut Gusdur (1989) perinsip-perinsip fundemintal islam  sendiri tidak pernah mempersoalkan mana yang lebih unggul antara”masukan Islam” dan masukan nilai lain yang datang darai manapun. Karena dalam konteks ini, islam tidak berfungsi hipotesis operatif, tetapi sebagai sumber ispiratif bagi kehidupan Bangsa dan Negara.
Proses diskursus bukan berarti membebaskan diri secara total dari pengaruh luar. Dalam kehidupan masakini, tidak mungkin bangsa menutup diri dan menulak semua yang datang dari luar. Diskursus ulang sebagi upaya membangun kemandirian dan identitas nasional dalam rangka menjadi dirinya sendiri,  serta mendaya gunakan seluruh potensi yang ada sehingga bangsa ini bisa eksis.
Kalau sikap yang demikian itu bisa dikembangkan dengan baik dan percaya diri, maka kebagkitan islam akan berjalan lebih cepat dan membawa makna yang sangat dalam bagi umat Islam sendiri dan bagi kebangkitan bangsa yang sedang terpuruk ini.
Oleh: M. Adi
Penulis adalah peserta Aktif di komunitas Mata Pena Yogya karta. Sedang menempuh pendidikan S1 di UIN Sunan Kalijaga Yogya Karta,  Fakultas Aqidah dan Filsafat.                            
Load disqus comments

0 komentar