Translate

Tuesday, June 25, 2013

Anomali

Anomali
Oleh M. Adi
Bantul Yogyakarat 26 juni 2013
Keitidak nyamanan dalam berakulturasi dengan suabuah lingkungan, sudah menjadi sebuah kenyataan dalam hidup. Tapi terkadang hidup itu selalu memaksa kita untuk bisa menyesuaikan diri. Walaupun sebenarnya hati kita menulak kita akan selau dipaksa untuk bisa beradabtasi. Ketidaksesuaian dengan suatu kenyamanan di sekitar tersebut adalah sejenis penyakit denga tingkat virus yang sulit diukur menggunakan skala apa pun. Tingkat kesamaan bukan hanya sebagai ukuran; identitas terluar di tengah kerumunan banyak hal: waktu, tempat, dan bermacam aktivitas. Lebih dari itu, bentuk yang utama adalah pertahanan aktualisasi diri: siapakah diri kita?
Keadaan yang sedang kita alami kadang tidak melulu ditentukan dari yang kita harapkan. Dalam keadaan terjepit, ada waktunya sejenak menemukan alternatif baru. Tujuannya sederhana, semoga di sana ada keberuntungan dari Tuhan: mencari kenyamanan lain. Antara kepasrahan dan keputusasaan nyaris tidak ada beda.
Akan ada banyak godaan untuk mengurangi kekuatan diri dalam keteguhan. Bersama lalunya waktu, tanpa sadar kita begitu mudah larut di dalamnya. Butuh orang kuat menahan cobaan “musuh” yang begitu lembut menyusup ke alam bawah sadar. Bentuknya pun sangat beragam. Perlahan tapi pasti, ia menarik kita menjauh dari “jati-diri”.
Perubahan memang penting dilakukan agar hidup tidak selalu menoton dan membosankan. Ingat, tidak selamanya sesuatu yang baru menjadi awal yang baik. Perkiraan yang sejak awal kita bangun, adakalanya, harus runtuh seketika. Kita yang terlalu tergesa-gesa untuk membuat kesimpulan pada akhirnya akan jatuh pada penyesalan.
Atau, keadaan itu berupa persaingan diantara beberapa orang untuk menjadi yang terbaik. Model dan cara untuk mewujudkannya tidak ada batasan, tapi tetap dalam satu tujuan: aktualisasi diri. Pembuktian itu butuh waktu yang tidak sebentar. Pun demikian harus ada korban. Apa pun yang dikorbankan, ia sejatinya bagian terkecil, dan yang pasti, bagian terlemah ketika menghadapi kekuatan yang besar.
Pergumulan yang terjadi, antara “korban” dan yang memiliki kekuatan, sejatinya adalah kompetisi alamiah. Hal demikian juga berkaitan antara “penguasa” dan “yang dikuasai”.  Dan, ini kita alami berulang kali tanpa kita sadari. Apakah kita pernah merenungi bahwa dalam diri terlalu kompleks untuk dibicarakan secara terbuka?
Kekekuasaan tersebut kita butuh pendefinisian yang cukup luas. Ini bukan hanya tentang orang menjadi penguasa, bertindak memerintah dan menguasai, tapi lebih pada suatu ranah yang memiliki kekuatan, tidak teraba oleh indera, atas objek yang dikuasai. Utamanya, yang paling rumit untuk mengurainya ketika bersentuhan dengan hal yang paling substansial dalam diri kita.
Karena sulit untuk diketahui, abstrak, ia memiliki dunianya sendiri. Tidak ada yang tahu. Kita seketika bisa merasakan, atau tidak sama sekali. Ini juga bukan melulu tentag analisis kejiwaan. Meskipun di beberapa kesempatan, ia dapat pula merembet ke dalam unsur psikologis. Yang jelas, ia ada.
Sangat jauh untuk kita sentuh. Tapi, bukan berarti kita harus bersikap acuh. Tentang bagaimana kita ketika ada di sana, kita akan semakin membuat banyak pemahaman yang berakhir pada kebingungan. Bagi orang yang tak mau tahu, tidak akan ada langkah nyata untuk mengetahui sesuatu yang ada di balik realitas yang kita hadapi. Sedangkan orang yang sok tahu, akan “bergerak” dengan kebodohan naifnya ke arah yang lebih berbahaya.
Membutuhkan kejelian dalam memetakan ketidaktahuan pada “pengetahuan” kita yang ala kadarnya. Jelas, di sana ada kegaduhan: tidak sepi. Ramai sekali. Terbukti, kita sering melihat itu terjadi. Banyak orang dengan mudah dibodohi oleh sesuatu yang nisbi. Kita lebih baik mulai ragu untuk tahu.  Sayang, kita sudah biasa meyakini dulu dan membuang jauh “kata” ragu. Tidakkah ini terbalik?
Ada yang berkelindan. Sama seperti kegelapan, kejahatan, dan kekejaman untuk mengubah keadaan: menjauhkan kita dari kenyataan dan kebenaran. 




.
Load disqus comments

0 komentar