Anomali
Oleh M. Adi
Bantul Yogyakarat 26 juni 2013
Keitidak nyamanan dalam
berakulturasi dengan suabuah lingkungan, sudah menjadi sebuah kenyataan dalam
hidup. Tapi terkadang hidup itu selalu memaksa kita untuk bisa menyesuaikan
diri. Walaupun sebenarnya hati kita menulak kita akan selau dipaksa untuk bisa
beradabtasi. Ketidaksesuaian dengan suatu kenyamanan di sekitar tersebut adalah
sejenis penyakit denga tingkat virus yang sulit diukur menggunakan skala apa
pun. Tingkat kesamaan bukan hanya sebagai ukuran; identitas terluar di tengah
kerumunan banyak hal: waktu, tempat, dan bermacam aktivitas. Lebih dari itu,
bentuk yang utama adalah pertahanan aktualisasi diri: siapakah diri kita?
Keadaan yang sedang kita alami
kadang tidak melulu ditentukan dari yang kita harapkan. Dalam keadaan terjepit,
ada waktunya sejenak menemukan alternatif baru. Tujuannya sederhana, semoga di
sana ada keberuntungan dari Tuhan: mencari kenyamanan lain. Antara kepasrahan
dan keputusasaan nyaris tidak ada beda.
Akan ada banyak godaan untuk
mengurangi kekuatan diri dalam keteguhan. Bersama lalunya waktu, tanpa sadar
kita begitu mudah larut di dalamnya. Butuh orang kuat menahan cobaan “musuh”
yang begitu lembut menyusup ke alam bawah sadar. Bentuknya pun sangat beragam.
Perlahan tapi pasti, ia menarik kita menjauh dari “jati-diri”.
Perubahan memang penting
dilakukan agar hidup tidak selalu menoton dan membosankan. Ingat, tidak
selamanya sesuatu yang baru menjadi awal yang baik. Perkiraan yang sejak awal
kita bangun, adakalanya, harus runtuh seketika. Kita yang terlalu tergesa-gesa
untuk membuat kesimpulan pada akhirnya akan jatuh pada penyesalan.
Atau, keadaan itu berupa
persaingan diantara beberapa orang untuk menjadi yang terbaik. Model dan cara
untuk mewujudkannya tidak ada batasan, tapi tetap dalam satu tujuan:
aktualisasi diri. Pembuktian itu butuh waktu yang tidak sebentar. Pun demikian
harus ada korban. Apa pun yang dikorbankan, ia sejatinya bagian terkecil, dan
yang pasti, bagian terlemah ketika menghadapi kekuatan yang besar.
Pergumulan yang terjadi, antara
“korban” dan yang memiliki kekuatan, sejatinya adalah kompetisi alamiah. Hal
demikian juga berkaitan antara “penguasa” dan “yang dikuasai”. Dan, ini kita alami berulang kali tanpa kita
sadari. Apakah kita pernah merenungi bahwa dalam diri terlalu kompleks untuk
dibicarakan secara terbuka?
Kekekuasaan tersebut kita butuh
pendefinisian yang cukup luas. Ini bukan hanya tentang orang menjadi penguasa,
bertindak memerintah dan menguasai, tapi lebih pada suatu ranah yang memiliki
kekuatan, tidak teraba oleh indera, atas objek yang dikuasai. Utamanya, yang
paling rumit untuk mengurainya ketika bersentuhan dengan hal yang paling
substansial dalam diri kita.
Karena sulit untuk diketahui,
abstrak, ia memiliki dunianya sendiri. Tidak ada yang tahu. Kita seketika bisa
merasakan, atau tidak sama sekali. Ini juga bukan melulu tentag analisis
kejiwaan. Meskipun di beberapa kesempatan, ia dapat pula merembet ke dalam
unsur psikologis. Yang jelas, ia ada.
Sangat jauh untuk kita sentuh.
Tapi, bukan berarti kita harus bersikap acuh. Tentang bagaimana kita ketika ada
di sana, kita akan semakin membuat banyak pemahaman yang berakhir pada
kebingungan. Bagi orang yang tak mau tahu, tidak akan ada langkah nyata untuk
mengetahui sesuatu yang ada di balik realitas yang kita hadapi. Sedangkan orang
yang sok tahu, akan “bergerak” dengan kebodohan naifnya ke arah yang lebih
berbahaya.
Membutuhkan kejelian dalam
memetakan ketidaktahuan pada “pengetahuan” kita yang ala kadarnya. Jelas, di
sana ada kegaduhan: tidak sepi. Ramai sekali. Terbukti, kita sering melihat itu
terjadi. Banyak orang dengan mudah dibodohi oleh sesuatu yang nisbi. Kita lebih
baik mulai ragu untuk tahu. Sayang, kita
sudah biasa meyakini dulu dan membuang jauh “kata” ragu. Tidakkah ini terbalik?
Ada yang berkelindan. Sama
seperti kegelapan, kejahatan, dan kekejaman untuk mengubah keadaan: menjauhkan
kita dari kenyataan dan kebenaran.
.
0 komentar