TEOLOGI HASAN
HANAFI
OLEH: M.ADI
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga yogyakarta
Fakultas Usuluddin Aqidah dan Filsaf
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga yogyakarta
Fakultas Usuluddin Aqidah dan Filsaf
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Teologi islam secara teoritis,
menurut Hasan Hanafi, tidak bisa dibuktikan secara “ilmiah” maupun filosofis.
Teologi yang bersifat dialektik lebih diarahkan untuk mempertahankan doktrin
dan memelihara kemurniannya, bukan dialektika konsep tentang watak sosial dan
sejarah, di samping bahwa ilmu kalam juga sering disusun sebagai persembahan
kepada para penguasa, yang dianggap sebagai wakil Tuhan di bumi. Sedemikian, hingga
pemikiran teologi lepas dari sejarah dan pembicaraan tentang manusia di samping
cenderung sebagai legitimasi bagi status quo dari pada sebagian pembebas dan
penggerak manusia ke arah kemandirian dan kesadaran.
Selain itu, secara praktis, teologi
tidak bisa menjadi “pandangan yang benar-benar hidup” yang memberi motivasi
tindakan dalam kehidupan konkret manusia. Sebab, penyusunan teologi tidak
didasarkan atas kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan manusia, sehingga
muncul keterpecahan (split) antara keimanan teoritik dan keimanan
praktik dalam umat, yang pada gilirannya melahirkan sikap-sikap moral ganda
atau “singkritisme kepribadian”. Fenomena sinkritis ini tampak jelas, menurut
Hanafi, dengan adanya “faham” keagamaan dan sekularisme (dalam kebudayaan),
tradisioanal dan modern (dalam peradaban), timur dan barat (dalam politik),
konservatisme dan progresivisme (dalam soial) dan kapitalisme dan sosialisme
(dalam ekonomi).
B.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas ada beberapa rumusan
masalah yang akan dibahas dalam maklah ini, diantaranya :
1.
Siapa Hasan Hanafi itu?
2.
Bagaimana metode berfikir Hasan Hanafi?
3.
Bagaimana pemikiran Hasan Hanafi mengenai
teologi?
C. Tujuan
Penulisan
Dari rumusan masalah diatas ada beberapa tujuan
penulisan dari makalah ini, diantaranya :
1.
Mengetahui biografi Hasan Hanafi
2.
Mengetahui metode berfikir Hasan Hanafi
3.
Mengetahui pemikiran teologi Hasan Hanafi
Bab II
Pembahasan
A.
Biografi Hasan Hanafi
Hasan Hanafi lahir di Kairo, 13
Februari 1935, dari keluarga musisi. Pendidikannya diawali di pendidikan dasar,
tamat tahun 1948, kemudian di Madrasah Tsanawiyah ini, Hanafi sudah aktif
mengikuti diskusi kelompok Ikhwanul Muslimin, sehingga tahu pemikiran yang
dikembangkan dan aktifitas sosila yang dilakukan. Selain itu, ia juga memepelajari
pemikiran Sayyid Quthub tentang keadilan sosial dan keislaman.
Tahun 1952 itu juga, setamat
Tsanawiyah, Hanafi melanjutkan studi di Departemen Filsafat Universitas Kairo,
selesai tahun 1956 dengan menyandang gelar sarjana muda, kemudian ke
Universitas Sorbone Prancis. Pada tahun 1966, ia berhasil menyelesaikan program
Master dan Doktornya sekaligus dengan tesis ‘Les Methodes d’Exgeses: Essei
sur La Science des Fondament de La Conprehension Ilmu Ushul fiqh’ dan desertasi
‘L’Exegese de La Phenomenologie, L’etat actuel de La Methode Phenomenologie et
son Application au phenomene Religiux’.
Karier akademiknya dimulai tahun
1967 ketika diangkat sebagai Lektor, kemudian Lektor Kepala (1973), Prof.
Filsafat 1980 pada jurusan Filsafat Universitas Kairo, dan diserahi jabatan
sebagai Ketua Jurusan Filsafat pada Universitas yang sama. Selain itu, Hanafi
juga aktif memberi kuliah di beberapa negara, seperti Perancis (1969), Belgia
(1970), Temple University Philadelpia AS (1971-1975), Universitas Kuwait (1979)
dan Universitas Fez Maroko (1982-1984). Selanjutnya, diangkat sebagai guru
besar tamu pada Universitas Tokyo (1984-1985), di Persatuan Emirat Arab (1985),
dan menjadi penasehat program pada Universita PBB di Jepang (1985-1987).
Disamping dunia akademik, Hanafi
juga aktif dalam organisasi ilmiah dam kemsyarakatan. Aktif sebagai sekretaris
umum Persatuan Masyarakat Filsafat
Mesir, anggota Ikatan Penulis Asia-Afrika, anggota Gerakan Solidaritas
Asia-Afrika dan menjadi wakil presiden Persatuan Masyarakat Filsafat Arab.
Pemikirannya tersebar di dunia Arab dan Eropa. Tahun 1981 memprakarsai dan
sekaligus sebagai pimpinan redaksi penerbitan jurnal ilmiah Al-Yasar al-Islami.
Pemikirtannya yang terkenal dalam jurnal ini sempat mendapat reaksi keras dari
penguasa Mesir saat itu, Anwar Sadat, sehingga menyeretnya dalam penjara.
A.
Kondisi Sosial
Hanafi lahir dan dibesarkan dalam
kondisi masyarakat Mesir yang penuh pergolakan dan pertentangan. Dari sisi
sosial politik, saat itu terdapat dua kelompok ekstrem yang saling berebut pengaruh.
Pada sayap kiri ada partai komunis yang semakin kuat atas pengaruh Sovyet di
seluruh dunia. Kemenangan Sovyet selama perang dan dikukuhkannya perwakilan
Sovyet di Kairo (1942) merangsang minat kalangan mahasiswa dan kaum muda untuk
belajar komunisme. Sementara disayap kanan, ada Ikhwanul Muslimin, didirakan
Khasan Al-Banna tahun 1929 di Ismailia yang pro-islam dan anti barat kelompok
ini memiliki sejumlah besar pengikut, termasuk Hanafi sendiri pada awalnya.
Pengaruhnya yang kuat tidak hanya di Mesir tetapi sampai juga diluar Mesir
termasuk di Indonesia akhir-akhir ini.
Pemerintah Mesir sendiri ambil
bagian dalam pergolakan tersebut, dengan melakukan pembersihan terhadap kaum
komunis (1946), kemudian melakukan pembunuhan terhadap al-Banna (1949) setelah
setahun sebelumnya melarang aktivitas kelompok ini. Pergolakan ini terus
berlanjut setelah tahun 1952 meletus revolusi yang dimotori oleh Ahmad Husain,
tokoh partai sosial. Beberapa bulan kemudian, pada tahun yang sama, sekelompok
perwira muda yang dikenal dengan Free Officers yang dikomandoi Muhammad
Najib mengambil kesempatan dengan melakukan kudeta terhadap raja Faruq, saat
situasi tidak dapat dikendalikan.
Saat pengambilalihan kekuasaan
ini, Najib sebenarnya menggandeng Ikhwan al-Muslimin yang mempunyai basis kuat
dikalangan masyarakat bawah. Akan tetapi, setelah ia menjadi presiden dengan
Gamal Abdul Naser sebagai Perdana Menteri, Najib menendang Ikhwal Muslimin
karena menganggap bahwa kelompok ini sangat berbahaya terhadap kelangsunagn
kekuasaannya.
Dari sisi pemikiran, ada
tiga kelompok pemikiran yang berbeda dan bersaing saat itu. Pertama, kelompok
yang cenderung pada islam (the islamic trend) yang diwakili oleh
al-Banna dengan Ikhwanul Muslimin-nya. Kedua, kelompok yang cenderung pada
pemikiran bebas dan rasional (the rasional scientific and liberal trend)
yang diwakili oleh, antara lain, Lhutfi al-Sayyid dan para emigran Syiria yang
lari ke Mesir. Dasar pemikiran kelompok ini bukan Islam tetapi perdaban Barat
dengan prestasi-prestasinya. Ketiga, kelompok yang berusaha memadukan Islam dan
Barat (the syntetic trend) yang diwakili oleh ‘Ali ‘Abdul Raziq (1966).
Dalam menghadapi tantangan
modernitas dan liberalisme politik, kelompok
pertama dan kebanyakan ulama konservatif menganggap bahwa polotik Barat
tidak bisa diterapkan di Mesir, bid’ah. Pengadopsian sistem politik Barat oleh
pemerintah Mesir berarti pengingkaran terhadap nilai-nilai Islam. Sebaliknya,
kelompok kedua yang kebanyakan para sarjana didikan Barat menganggap bahwa jika
Mesir ingin maju, ia harus menerapkan sistem Barat. Mereka menganggap bahwa
ulama adalah kendala modernisasi, bahkan penyebab keterbelakangan Mesir dalam
sosial-politik dan ekonomi. Pemikiran dan gerakan kelompok kedua ini banyak
mendapat dukungan dari pemerintah, sehingga dalam hal tertentu mereka berhasil
mencanangkan program-programnya. Dukungan ini dikarenakan adanya keinginan
pemerintah untuk memperluas perannya
dalam berbagai sektor kehidupan, disamping semakin dominannya pengaruh
Barat pada Mesir.
Hanafi sendiri tidak begitu setuju
dengan gagasan-gagasan kelompok pemikiran diatas, meski pada awal karier
intelektualnya pernah berpihak kepada kelompok pertama. Tetapi, pemikirannya
mengalami proses dengan banyank dipengaruhi oleh kelompok dua dan ketiga,
terutama setelah belajar di Perancis. Walhasil, bangunan pemikirannya terbangun
lewat situasi gerak pemikiran di Mesir dan di Perancis.
B.
Metode Berfikir Hasan Hanafi
Karena menganggap bahwa teologi
islam tidak “ilmiah” dan tidak “membumi”, Hanafi mengajukan konsep baru tentang
teologi islam. Tujuannya untuk menjadikan teologi tidak sekedar sebagai dogma
keagamaan yang kosong melainkan menjelma sebagai ilmu tentang perjuangan
sosial, menjadikan keimanan berfungsi secara aktual sebagai landasan etik dan
motivasi tindakan manusia. Karena itu, gagasan-gagasan Hanafi yang berkaitan
dengan teologi, berusaha untuk mentransformasika teologi tradisional yang
bersifat teosentris menuju antroposentris, dari Tuhan kepada manusia (bumi),
dari tekstual kepada kontekstual, dari teori kepada tindakan, dan dari takdir
menuju kehendak bebas. Pemikiran ini minimal, didasarkan pada dua alasan;
pertama, kebutuhan akan adanya sebuah ideologi (teologi) yang jelas ditengah
pertarungan global antara berbagai ideologi. Kedua, pentingnya teologi baru
yang bukan hanya bersifat teoritik tetapi sekaligus juga praktis yang bisa
mewujudkan sebuah gerakan dalam sejarah.
Untuk mengatasi kekurangan teologi
klasik yang dianggap tidak berkaitan dengan relitas sosial, Hanafi menawarkan
dua teori. Pertama, analisis bahasa. Bahasa dan istilah-istilah dalam
teologi klasik adalah warisan nenek moyang dalam bidang teologi yang khas yang
seolah-olah sudah menjadi doktrin yang tidak bisa diganggu gugat. Menurut
Hanafi, istilah-istilah dalam teologi sebenarnya tidak hanya mengarah pada yang
transenden dan ghaib, tetapi juga mengungkap tentang sifat-sifat dan metode
keilmuan; yang empirik-rasional seperti iman, amal dan imamah, yang hostoris
seperti nubuwah dan ada pula yang metafisik, seperti Tuhan dan akhirat. Kedua,
analisis relitas. Menurut Hanafi, analisis ini dilakukan untuk mengetahui
latar belakang historis-sosiologis munculnya teologi di masa lalu dan bagaimana
pengaruhnya bagi kehidupan masyarakatt atau para penganutnya. Selanjutnya,
analisis relitas berguna untuk menentukan stressing bagi arah dan
orientasi teologi kontemporer.Untuk melandingakan dua usulannya tersebut,
Hanafi paling tidak mengguanakan tiga metode berfikir; Dialektika, Fenomenologi
dan Hermeneutik.
Dialektika adalah metode pemikiran
yang didasarkan atas asumsi bahwa perkembangan proses sejarah terjadi lewat
konfrontasi dialektis dimana tesis melahirkan anti tesis yang dari situ
kemudian melahirkan syntesys. Hanafi menggunakan metode ini ketika, sebelumnya,
menjelaskan tentang sejarah perkembangan pemikiran islam. Juga ketika Hanafi
berusaha untuk membumikan kalam yang dianggap melangit. Apa yang dilakukan
Hanafi terhadap kalam klasik ini sama sebagaimana yang dilakukan Marx terhadap
pemikiran Hegel. Menurut Marx, pemikiran Hegel berjalan di kepalanya, maka agar
bisa berjalan normal ia harus dijalankan diatas kakinya. Artinya, kalam klasik
yang terlalu theosentris harus dipindah menjadi persolan ‘material’ agar bisa
berjalan normal. Namun demikian, bukan berarti Hanafi terpengaruh atau mengikuti
metode dialektika Hegel atau Marx. Hanafi menyangkal jika dikatakan bahwa ia
terpengaruh atau menggunakan dialektika Hegel atau Marx. Menurutnya, apa yang
dilakukan semata didasarkan dan diambil dari khazanah keilmuan dan relitas
sosial muslim sendiri; persoalan kaya miskin, atas bawahan dan seterusnya yang
kebetulan sama dengan konsep Hegel atau Marx. Hanafi sendiri juga mengkritik
secara tajam metode dialektika Marx yang dinilai gagal memberi arahan kepada
kemanusiaan, karena akhirnya yang terjadi justru totalitarianisme. Disini
mungkin ia terilhami oleh inspirator revolusi sosial iran; Ali Syariati, ketika
dengan metode dealektikanya Syariati menyatakan bahwa manusia adalah syntesa
antara roh Tuhan (tesa) dan setan (anti-tesa).
Fenomenologi adalah sebuah metode
berfikir yang berusaha untuk mencari hakekat sebuah fenomena atau relitas.
Untuk sampai pada tingkat tersebut, menurut Husserl (1859-1938) sang penggahas
metode ini, peneliti harus melalui minimal dua tahapan penyaringan (reduksi);
reduksi fenomenologi dan reduksi eidetis. Pada tahap pertama, atau yang disebut
pula dengan metode apoche, peneliti menyaring atau memberi kurung
terhadap fenomena-fenomena yang dihadapi tidak merupakan hakekat dari objek
yang dikaji. Tahap kedua, reduksi adetis, peneliti masuk lebih dalam lagi.
Tidak hanya menyaring yang fenomenal tetapi menyaring intisarinya.
Hanafi menggunakan metode ini
untuk menganalisa, memahami dan memetakan realitas-realitas sosial, politik
ekonomi, realitas khazanah Islam dan realitas tantangan barat, yang di sana
kemudian dibangun sebuah revolusi. ‘sebagai bagian dari gerakan iIslam di
mesir, saya tidak punya pilihan lain kecuali menggunakan metode fenomenologi
untuk menganalisa Islam di Mesir’, katanya. Dengan metode ini, hanafi ingin
agar realitas islam berbicara bagi dirinya sendiri; bahwa Islam adalah Islam
yang harus dilihhat dari kacamata Islam sendiri, bukan dari barat. Jika barat
dilihat dari kacamata barat dan Islam juga dilihat dari barat, akan terjadi
‘sungsang’, tidak tepat.
Hermeneutik adalah sebuah cara
penafsiran teks atau simbol. Metode ini mensyaratkan adanya kemampuan untuk
menafsirkan masalampau yang tidak dialami, kemudian dibawa kemasa sekarang,
yang aktifitas penafsirannya itu sendiri merupakan proses triadik; mempunyai tiga
segi yang saling berhubungan, yaknin teks, penafsir atau perantara dan
penyampaian kepada audiens. Orang yang melakukan penafsiran harus mengenal
pesan atau kecondongan sebuah teks dan meresapi isinya, sehingga dari yang pada
mulanya ‘yang lain’ menjadi ‘aku’ penafsiran sendiri.hanafi menggunakan metode
hermeneotik untuk melandinggkan gagasannya berupa antroposentrisme-teologis;
dari wahyu kepada kenyataan, dari logos sampai praktis, dari pikiran tuhan
sampai manusia. Sebab apa yang dimaksud dengan hermeneotik, bagi Hanafi, bukan
sekedar ilmu interpretasi tetapi juga ilmu yang menjelaskan tentang pikiran
Tuhan kepada tingkat dunia, dari yang sakral menjadi realitas sosial.
Menurut AH. RIDWAN hermeneutik Hanafi
dipengaruhi oleh metode hermeneutik Bultmann. Akan tetepi, penulis tidak
melihat signifikansi yang jelas antara Bultmann dengan hermeneutik Hanafi.
Kelihatannya Hanafi menggunakan aturan hermeneutik secara umum yang bersifat
triadik kemudian mengisinya dengan nuansa Islam sehingga menjadi khas Hanafian.
BAB III
Teologi Tauhid Hasan
Hanafi
Menurut Hanafi, konsep atau nash
tentang dzat dan sifat-sifat Tuhan tidak menunjuk pada ke-maha-an dan kesucian
Tuhan sebagai mana yang ditafsirkan oleh para teolog Tuhan tidak butuh
pensucian manusia, karena tanpa yang lainpun Tuhan tetap Tuhan Yang Maha Suci
dengan segala sifat kesempurnaan-Nya. Semua deskripsi Tuhan dan
sifat-sifat-Nya, sebagai mana yang ada dalam Al-Qur’an maupun sunah, sebenarnya
lebih mengarah pada pembentukan manusia yang baik, manusia ideal, insan kamil.
Deskripsi Tuhan tentang dzat-Nya
sendiri memberi pelajaran kepada manusia tentang kesadaran akan dirinya sendiri
(cogito), yang secara rasional dapat diketahui melalui perasaan diri (self
filing). Penyebutan tuhan akan dzat-Nya sendiri sama persis dengan kesadaran
akan kebradaan-Nya, sama sebagaimana cogito yang ada dalam manusia berarti
penunjukan akan keberadaannya. Itulah sebabnya, menurut Hanafi, mangapa
deskripsi pertama tentang Tuhan adalah wujud (keberadaan). Adapun deskripsi-Nya
tentang sifat-sifat-Nya berarti ajaran tentang kesadaran akan lingkungan dan
dunia, sebagai kesadaran yang lebih menggunakan desain, sebuah kesadaran akan
berbagai persepsi dan ekspresi teori-teori lain. Jelasnya, jika dzat yang
mengacu pada cogito, maka sifat-sifat mengacu pada cogitotum. Keduanya adalah
pelajaran dan ‘harapan’ Tuhan pada manusia agar mereka sadar akan dirinya
sendiri dan sadar akan lingkungannya.
Di sini terlihat Hanafi berusaha
mengubah terem-terem keagamaan dari yang sepiritual dan sakral menjadi sekedar
material, dari yang teologis menjadi antropologis. Hanafi melakukan ini dalam
rangka untuk mengalihkan perhatian dan pandangan umat Islam yang cenderung
metafisik menuju sikap yang lebih berorientasi pada realitas empirik. Lebih
jelas tentang penafsiran Hanafi mengenai sifat-sifat Tuhan yang enam; wujud,
qidam, baq’a, muhalafah li al-hawadits, qiam binafsih dan wahdaniah, adalah
sebagai berikut.
Pertama, wujud. Menurut Hanafi
Wuijud disini tidak menjelaskan wujud Tuhan, karena sekali lagi Tuhan tidak
Memerlukan pengakuan. Tanpa manusia Tuhan tetap wujud. Wujud di sini berarti
tajribah wujudiah pada manusia, tuntutan pada umat manusia untuk mampu
menunjukan eksistensi dirinya. Inilah yang dimaksud dalam sebuah sair, kematian
bukanlah ketiadaan nyawa. Kematian adalah ketidakmampuan untuk menunjukan
eksistensi diri.
Kedua qidam (dahulu) berarti
pengalaman kesejarahan yang mengacu pada akar-akar keberadaan manusia dalam
sejarah. Qidam adalah modal pengalaman dan pengetahuan kesejarahan untuk
digunakan dalam melihat realitas dan masa depan, sehingga tidak akan lagi
terjatuh dalam kesesatan, taqlid dan kesalahan.
Ketiga, baqa berarti kekal,
pengalaman kemanusiaan yang muncul dari lawan sifat fana berartituntutan pada
manusia untuk membuat dirinya tidak cepat rusak atau fana, yang itu bisa
dilakukan dengan cara memperbanyak melakukan hal-al yang konstruktif dalam
perbuatan maupun pemikiran, dan menjauhi tindakan-tindakan yang bisa
mempercepat kerusakan di bumi. Jelasnya, baqa adalah ajaran pada manusia untuk
menjaga senantiasa kelestarian lingkungan dan alam, juga ajaran agar manusia
mampu meninggalkan karya-karya besar yang bersifat monumental.
Keempat, mukhalafah li al-hawadits
(berbeda dengan yang lain) dan qiyam binafsih (berdiri sendiri), keduanya tunmtunan
agar umat manuisa mampu menunjukan eksistensinya secara mandiri dan berani
tampil beda, tidak mengekor atau taqlid pada pemikiran dan budaya orang lain.
Qiyam binafsih adalah deskripsi tentang titik pijak dan gerakan yang dilakukan
secara terencana dan dengan penuh kesadaran untuk mencapai sebuah tujuan akhir,
sesuai dengan segala potensi dan kemampuan diri.
Kelima, wahdaniyah (keesaan),
bukan merujuk pada keesaan Tuhan, pensucian Tuhan dari kegandaan (syirk) yang
diarahkan pada faham trinitis maupun politheisme, tetapi lebih mengarah pada
eksperimentasi kemanusiaan. Wahdaniyah adalah pengalaman umum kemanusiaan
tentang kesatuan; kesatuan tujuan, kesatuan kelas, kesatuan nasib, kesatuan
tanah air, kesatuan kebudayaan dan kesatuan kemanusiaan.
Dengan penafsiran-penafsiran term
kalam yang serba materi dan mendunia ini, maka apa yang dimaksud dengan istilah
tauhid, dalam pandangan Hanafi bukan konsep yang menegaskan tentang keesaan
Tuhan yang diarahkan pada faham trinitis maupun politheisme, tetapi lebih
merupakan kesatuan pribadi manusia yang jauh dari perilaku dualistik seperti
hipokrit, kemunafikan ataupun perilaku oportunistik.
Menurut Hanafi, apa yang dimaksud
tauhud bukan merupakan sifat dari sebuah dzat (Tuhan), deskripsi ataupun
sekedar konsep kosong yang hanya ada dalam angan belaka, tetapi lebih mengarah
untuk sebuah tindakan konkret (fi’il); baik dari sisi penafsiran maupun
penetapan (itsbat). Sebab, apa yang dikehendaki dari konsep tauhid tersebut
tidak akan bisa dimengerti dan tidak bisa diapahami kecuali dengan ditampakkan.
Jelasnya, konsep tauhid tidak akan punya makna tanpa direalisasikan dalam
kehidupan konkret. Perealisasian nafi (pengingkaran) adalah dengan
menghilangkan tuhan-tuhan modern, seperti ideologi, gagasan, budaya dan ilmu
pengetahuan yang membuat manusia sangat tergantung kepadanya dan menjadi
terkotak-kotak sesuai dengan ideologi dan ilmu pengetahuan yang dimiliki dan
dipujanya. Relisasi dari itsbat (penetapan) adalah dengan penetapan satu
ideologi yang menyatukan dan membebaskan manusia dari belenggu-belenggu
tuhan-tuhan modern tersebut.
Dengan demikian, dalam konteks
kamanusiaan yang lebih konkret, tauhid adalah upaya pada kesatuan sosial
masayarakat tanpa kelas, kaya atau miskin. Distingsi kelas bertentangan dengan
kesatuan dan persamaan eksisitensial manusia. Tauhid berarti kesatuan kemanusiaan
tanpa diskriminasi ras, tanpa perbedaan ekonomi, tanpa perbedaan masyarakat
maju dan berkembang, Barat dan bukan Barat, dan seterusnya.
Bab IV
Kesimpulan
Dari makalah dan hasil diskusi
mengenai ketaudidan Hasan Hanafi dapat
diambil kesimpulan bahwa: ketauhidan itu diartikan sebagai kesatuan Manusia
dengan tuhan tanpa diskriminasi , tanpa perbedaan Ekonome, tanpa adanya
perbedaan adnya msyarakat yang maju dan
berkembang, tanpa adanya perbedan antara Barat dan Timur.
Menurut dia mengenai ketauhidan
harus bisa memanusiakan manusia, juga mampu menempatkan manusia untuk
kemaslahatan ummah. Dia sanagata menkritis kaum ortodoks yang selalu meng ingikan islam Shalihun Li-Kulli Zaman Wa-Makan tanpa
mereka setuju dengan adanya pembaharan dalam islam.
Menurut dia islam itu harus selalu
terbuka untuk menerima sebuah pembaharuan. Ummat islam tidak cukup mehemi teks
al-quran, tapi al-quar harus di pahami seca konteks agar bisa menjawab semua
tantanngan zaman.
BAB V
Kepustakaan
Hanafi hasan, Min Al-Aqidah Ila Al-Saurah,1. Kairo,
maktabah matbuli 1991
Hanafi hasan. Al-Din
Wa Al-Saurah Fimisrah,VII mesir, maktabah madbuli, 1981
Hanafi hasan, Dialoq Agama Dan Revolusi. Jakarta,
pustaka Firdaus, 1991
Sumaryono, Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat, yogya,
kanisius, 1993
2 komentar