Translate

Tuesday, December 10, 2013

TEOLOGI HASAN HANAFI

TEOLOGI HASAN HANAFI
OLEH: M.ADI
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga yogyakarta
Fakultas Usuluddin Aqidah dan Filsaf



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Teologi islam secara teoritis, menurut Hasan Hanafi, tidak bisa dibuktikan secara “ilmiah” maupun filosofis. Teologi yang bersifat dialektik lebih diarahkan untuk mempertahankan doktrin dan memelihara kemurniannya, bukan dialektika konsep tentang watak sosial dan sejarah, di samping bahwa ilmu kalam juga sering disusun sebagai persembahan kepada para penguasa, yang dianggap sebagai wakil Tuhan di bumi. Sedemikian, hingga pemikiran teologi lepas dari sejarah dan pembicaraan tentang manusia di samping cenderung sebagai legitimasi bagi status quo dari pada sebagian pembebas dan penggerak manusia ke arah kemandirian dan kesadaran.
Selain itu, secara praktis, teologi tidak bisa menjadi “pandangan yang benar-benar hidup” yang memberi motivasi tindakan dalam kehidupan konkret manusia. Sebab, penyusunan teologi tidak didasarkan atas kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan manusia, sehingga muncul keterpecahan (split) antara keimanan teoritik dan keimanan praktik dalam umat, yang pada gilirannya melahirkan sikap-sikap moral ganda atau “singkritisme kepribadian”. Fenomena sinkritis ini tampak jelas, menurut Hanafi, dengan adanya “faham” keagamaan dan sekularisme (dalam kebudayaan), tradisioanal dan modern (dalam peradaban), timur dan barat (dalam politik), konservatisme dan progresivisme (dalam soial) dan kapitalisme dan sosialisme (dalam ekonomi).
B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas ada beberapa rumusan masalah yang akan dibahas dalam maklah ini, diantaranya :
1.      Siapa Hasan Hanafi itu?
2.      Bagaimana metode berfikir Hasan Hanafi?
3.      Bagaimana pemikiran Hasan Hanafi mengenai teologi?

C.     Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah diatas ada beberapa tujuan penulisan dari makalah ini, diantaranya :
1.      Mengetahui biografi Hasan Hanafi
2.      Mengetahui metode berfikir Hasan Hanafi
3.      Mengetahui pemikiran teologi Hasan Hanafi


Bab II
Pembahasan

A.    Biografi Hasan Hanafi
Hasan Hanafi lahir di Kairo, 13 Februari 1935, dari keluarga musisi. Pendidikannya diawali di pendidikan dasar, tamat tahun 1948, kemudian di Madrasah Tsanawiyah ini, Hanafi sudah aktif mengikuti diskusi kelompok Ikhwanul Muslimin, sehingga tahu pemikiran yang dikembangkan dan aktifitas sosila yang dilakukan. Selain itu, ia juga memepelajari pemikiran Sayyid Quthub tentang keadilan sosial dan keislaman.
Tahun 1952 itu juga, setamat Tsanawiyah, Hanafi melanjutkan studi di Departemen Filsafat Universitas Kairo, selesai tahun 1956 dengan menyandang gelar sarjana muda, kemudian ke Universitas Sorbone Prancis. Pada tahun 1966, ia berhasil menyelesaikan program Master dan Doktornya sekaligus dengan tesis ‘Les Methodes d’Exgeses: Essei sur La Science des Fondament de La Conprehension Ilmu Ushul fiqh’ dan desertasi ‘L’Exegese de La Phenomenologie, L’etat actuel de La Methode Phenomenologie et son Application au phenomene Religiux’.
Karier akademiknya dimulai tahun 1967 ketika diangkat sebagai Lektor, kemudian Lektor Kepala (1973), Prof. Filsafat 1980 pada jurusan Filsafat Universitas Kairo, dan diserahi jabatan sebagai Ketua Jurusan Filsafat pada Universitas yang sama. Selain itu, Hanafi juga aktif memberi kuliah di beberapa negara, seperti Perancis (1969), Belgia (1970), Temple University Philadelpia AS (1971-1975), Universitas Kuwait (1979) dan Universitas Fez Maroko (1982-1984). Selanjutnya, diangkat sebagai guru besar tamu pada Universitas Tokyo (1984-1985), di Persatuan Emirat Arab (1985), dan menjadi penasehat program pada Universita PBB di Jepang (1985-1987).
Disamping dunia akademik, Hanafi juga aktif dalam organisasi ilmiah dam kemsyarakatan. Aktif sebagai sekretaris umum  Persatuan Masyarakat Filsafat Mesir, anggota Ikatan Penulis Asia-Afrika, anggota Gerakan Solidaritas Asia-Afrika dan menjadi wakil presiden Persatuan Masyarakat Filsafat Arab. Pemikirannya tersebar di dunia Arab dan Eropa. Tahun 1981 memprakarsai dan sekaligus sebagai pimpinan redaksi penerbitan jurnal ilmiah Al-Yasar al-Islami. Pemikirtannya yang terkenal dalam jurnal ini sempat mendapat reaksi keras dari penguasa Mesir saat itu, Anwar Sadat, sehingga menyeretnya dalam penjara.

A.    Kondisi Sosial
Hanafi lahir dan dibesarkan dalam kondisi masyarakat Mesir yang penuh pergolakan dan pertentangan. Dari sisi sosial politik, saat itu terdapat dua kelompok ekstrem yang saling berebut pengaruh. Pada sayap kiri ada partai komunis yang semakin kuat atas pengaruh Sovyet di seluruh dunia. Kemenangan Sovyet selama perang dan dikukuhkannya perwakilan Sovyet di Kairo (1942) merangsang minat kalangan mahasiswa dan kaum muda untuk belajar komunisme. Sementara disayap kanan, ada Ikhwanul Muslimin, didirakan Khasan Al-Banna tahun 1929 di Ismailia yang pro-islam dan anti barat kelompok ini memiliki sejumlah besar pengikut, termasuk Hanafi sendiri pada awalnya. Pengaruhnya yang kuat tidak hanya di Mesir tetapi sampai juga diluar Mesir termasuk di Indonesia akhir-akhir ini.
Pemerintah Mesir sendiri ambil bagian dalam pergolakan tersebut, dengan melakukan pembersihan terhadap kaum komunis (1946), kemudian melakukan pembunuhan terhadap al-Banna (1949) setelah setahun sebelumnya melarang aktivitas kelompok ini. Pergolakan ini terus berlanjut setelah tahun 1952 meletus revolusi yang dimotori oleh Ahmad Husain, tokoh partai sosial. Beberapa bulan kemudian, pada tahun yang sama, sekelompok perwira muda yang dikenal dengan Free Officers yang dikomandoi Muhammad Najib mengambil kesempatan dengan melakukan kudeta terhadap raja Faruq, saat situasi tidak dapat dikendalikan.
Saat pengambilalihan kekuasaan ini, Najib sebenarnya menggandeng Ikhwan al-Muslimin yang mempunyai basis kuat dikalangan masyarakat bawah. Akan tetapi, setelah ia menjadi presiden dengan Gamal Abdul Naser sebagai Perdana Menteri, Najib menendang Ikhwal Muslimin karena menganggap bahwa kelompok ini sangat berbahaya terhadap kelangsunagn kekuasaannya.
Dari sisi pemikiran, ada tiga kelompok pemikiran yang berbeda dan bersaing saat itu. Pertama, kelompok yang cenderung pada islam (the islamic trend) yang diwakili oleh al-Banna dengan Ikhwanul Muslimin-nya. Kedua, kelompok yang cenderung pada pemikiran bebas dan rasional (the rasional scientific and liberal trend) yang diwakili oleh, antara lain, Lhutfi al-Sayyid dan para emigran Syiria yang lari ke Mesir. Dasar pemikiran kelompok ini bukan Islam tetapi perdaban Barat dengan prestasi-prestasinya. Ketiga, kelompok yang berusaha memadukan Islam dan Barat (the syntetic trend) yang diwakili oleh ‘Ali ‘Abdul Raziq (1966).
Dalam menghadapi tantangan modernitas dan liberalisme politik, kelompok  pertama dan kebanyakan ulama konservatif menganggap bahwa polotik Barat tidak bisa diterapkan di Mesir, bid’ah. Pengadopsian sistem politik Barat oleh pemerintah Mesir berarti pengingkaran terhadap nilai-nilai Islam. Sebaliknya, kelompok kedua yang kebanyakan para sarjana didikan Barat menganggap bahwa jika Mesir ingin maju, ia harus menerapkan sistem Barat. Mereka menganggap bahwa ulama adalah kendala modernisasi, bahkan penyebab keterbelakangan Mesir dalam sosial-politik dan ekonomi. Pemikiran dan gerakan kelompok kedua ini banyak mendapat dukungan dari pemerintah, sehingga dalam hal tertentu mereka berhasil mencanangkan program-programnya. Dukungan ini dikarenakan adanya keinginan pemerintah untuk memperluas perannya  dalam berbagai sektor kehidupan, disamping semakin dominannya pengaruh Barat pada Mesir.
Hanafi sendiri tidak begitu setuju dengan gagasan-gagasan kelompok pemikiran diatas, meski pada awal karier intelektualnya pernah berpihak kepada kelompok pertama. Tetapi, pemikirannya mengalami proses dengan banyank dipengaruhi oleh kelompok dua dan ketiga, terutama setelah belajar di Perancis. Walhasil, bangunan pemikirannya terbangun lewat situasi gerak pemikiran di Mesir dan di Perancis.

B.     Metode Berfikir Hasan Hanafi
Karena menganggap bahwa teologi islam tidak “ilmiah” dan tidak “membumi”, Hanafi mengajukan konsep baru tentang teologi islam. Tujuannya untuk menjadikan teologi tidak sekedar sebagai dogma keagamaan yang kosong melainkan menjelma sebagai ilmu tentang perjuangan sosial, menjadikan keimanan berfungsi secara aktual sebagai landasan etik dan motivasi tindakan manusia. Karena itu, gagasan-gagasan Hanafi yang berkaitan dengan teologi, berusaha untuk mentransformasika teologi tradisional yang bersifat teosentris menuju antroposentris, dari Tuhan kepada manusia (bumi), dari tekstual kepada kontekstual, dari teori kepada tindakan, dan dari takdir menuju kehendak bebas. Pemikiran ini minimal, didasarkan pada dua alasan; pertama, kebutuhan akan adanya sebuah ideologi (teologi) yang jelas ditengah pertarungan global antara berbagai ideologi. Kedua, pentingnya teologi baru yang bukan hanya bersifat teoritik tetapi sekaligus juga praktis yang bisa mewujudkan sebuah gerakan dalam sejarah.
Untuk mengatasi kekurangan teologi klasik yang dianggap tidak berkaitan dengan relitas sosial, Hanafi menawarkan dua teori. Pertama, analisis bahasa. Bahasa dan istilah-istilah dalam teologi klasik adalah warisan nenek moyang dalam bidang teologi yang khas yang seolah-olah sudah menjadi doktrin yang tidak bisa diganggu gugat. Menurut Hanafi, istilah-istilah dalam teologi sebenarnya tidak hanya mengarah pada yang transenden dan ghaib, tetapi juga mengungkap tentang sifat-sifat dan metode keilmuan; yang empirik-rasional seperti iman, amal dan imamah, yang hostoris seperti nubuwah dan ada pula yang metafisik, seperti Tuhan dan akhirat. Kedua, analisis relitas. Menurut Hanafi, analisis ini dilakukan untuk mengetahui latar belakang historis-sosiologis munculnya teologi di masa lalu dan bagaimana pengaruhnya bagi kehidupan masyarakatt atau para penganutnya. Selanjutnya, analisis relitas berguna untuk menentukan stressing bagi arah dan orientasi teologi kontemporer.Untuk melandingakan dua usulannya tersebut, Hanafi paling tidak mengguanakan tiga metode berfikir; Dialektika, Fenomenologi dan Hermeneutik.
Dialektika adalah metode pemikiran yang didasarkan atas asumsi bahwa perkembangan proses sejarah terjadi lewat konfrontasi dialektis dimana tesis melahirkan anti tesis yang dari situ kemudian melahirkan syntesys. Hanafi menggunakan metode ini ketika, sebelumnya, menjelaskan tentang sejarah perkembangan pemikiran islam. Juga ketika Hanafi berusaha untuk membumikan kalam yang dianggap melangit. Apa yang dilakukan Hanafi terhadap kalam klasik ini sama sebagaimana yang dilakukan Marx terhadap pemikiran Hegel. Menurut Marx, pemikiran Hegel berjalan di kepalanya, maka agar bisa berjalan normal ia harus dijalankan diatas kakinya. Artinya, kalam klasik yang terlalu theosentris harus dipindah menjadi persolan ‘material’ agar bisa berjalan normal. Namun demikian, bukan berarti Hanafi terpengaruh atau mengikuti metode dialektika Hegel atau Marx. Hanafi menyangkal jika dikatakan bahwa ia terpengaruh atau menggunakan dialektika Hegel atau Marx. Menurutnya, apa yang dilakukan semata didasarkan dan diambil dari khazanah keilmuan dan relitas sosial muslim sendiri; persoalan kaya miskin, atas bawahan dan seterusnya yang kebetulan sama dengan konsep Hegel atau Marx. Hanafi sendiri juga mengkritik secara tajam metode dialektika Marx yang dinilai gagal memberi arahan kepada kemanusiaan, karena akhirnya yang terjadi justru totalitarianisme. Disini mungkin ia terilhami oleh inspirator revolusi sosial iran; Ali Syariati, ketika dengan metode dealektikanya Syariati menyatakan bahwa manusia adalah syntesa antara roh Tuhan (tesa) dan setan (anti-tesa).
Fenomenologi adalah sebuah metode berfikir yang berusaha untuk mencari hakekat sebuah fenomena atau relitas. Untuk sampai pada tingkat tersebut, menurut Husserl (1859-1938) sang penggahas metode ini, peneliti harus melalui minimal dua tahapan penyaringan (reduksi); reduksi fenomenologi dan reduksi eidetis. Pada tahap pertama, atau yang disebut pula dengan metode apoche, peneliti menyaring atau memberi kurung terhadap fenomena-fenomena yang dihadapi tidak merupakan hakekat dari objek yang dikaji. Tahap kedua, reduksi adetis, peneliti masuk lebih dalam lagi. Tidak hanya menyaring yang fenomenal tetapi menyaring intisarinya.
Hanafi menggunakan metode ini untuk menganalisa, memahami dan memetakan realitas-realitas sosial, politik ekonomi, realitas khazanah Islam dan realitas tantangan barat, yang di sana kemudian dibangun sebuah revolusi. ‘sebagai bagian dari gerakan iIslam di mesir, saya tidak punya pilihan lain kecuali menggunakan metode fenomenologi untuk menganalisa Islam di Mesir’, katanya. Dengan metode ini, hanafi ingin agar realitas islam berbicara bagi dirinya sendiri; bahwa Islam adalah Islam yang harus dilihhat dari kacamata Islam sendiri, bukan dari barat. Jika barat dilihat dari kacamata barat dan Islam juga dilihat dari barat, akan terjadi ‘sungsang’, tidak tepat.
Hermeneutik adalah sebuah cara penafsiran teks atau simbol. Metode ini mensyaratkan adanya kemampuan untuk menafsirkan masalampau yang tidak dialami, kemudian dibawa kemasa sekarang, yang aktifitas penafsirannya itu sendiri merupakan proses triadik; mempunyai tiga segi yang saling berhubungan, yaknin teks, penafsir atau perantara dan penyampaian kepada audiens. Orang yang melakukan penafsiran harus mengenal pesan atau kecondongan sebuah teks dan meresapi isinya, sehingga dari yang pada mulanya ‘yang lain’ menjadi ‘aku’ penafsiran sendiri.hanafi menggunakan metode hermeneotik untuk melandinggkan gagasannya berupa antroposentrisme-teologis; dari wahyu kepada kenyataan, dari logos sampai praktis, dari pikiran tuhan sampai manusia. Sebab apa yang dimaksud dengan hermeneotik, bagi Hanafi, bukan sekedar ilmu interpretasi tetapi juga ilmu yang menjelaskan tentang pikiran Tuhan kepada tingkat dunia, dari yang sakral menjadi realitas sosial.
Menurut AH. RIDWAN hermeneutik Hanafi dipengaruhi oleh metode hermeneutik Bultmann. Akan tetepi, penulis tidak melihat signifikansi yang jelas antara Bultmann dengan hermeneutik Hanafi. Kelihatannya Hanafi menggunakan aturan hermeneutik secara umum yang bersifat triadik kemudian mengisinya dengan nuansa Islam sehingga menjadi khas Hanafian.
BAB III
Teologi Tauhid Hasan Hanafi
Menurut Hanafi, konsep atau nash tentang dzat dan sifat-sifat Tuhan tidak menunjuk pada ke-maha-an dan kesucian Tuhan sebagai mana yang ditafsirkan oleh para teolog Tuhan tidak butuh pensucian manusia, karena tanpa yang lainpun Tuhan tetap Tuhan Yang Maha Suci dengan segala sifat kesempurnaan-Nya. Semua deskripsi Tuhan dan sifat-sifat-Nya, sebagai mana yang ada dalam Al-Qur’an maupun sunah, sebenarnya lebih mengarah pada pembentukan manusia yang baik, manusia ideal, insan kamil.
Deskripsi Tuhan tentang dzat-Nya sendiri memberi pelajaran kepada manusia tentang kesadaran akan dirinya sendiri (cogito), yang secara rasional dapat diketahui melalui perasaan diri (self filing). Penyebutan tuhan akan dzat-Nya sendiri sama persis dengan kesadaran akan kebradaan-Nya, sama sebagaimana cogito yang ada dalam manusia berarti penunjukan akan keberadaannya. Itulah sebabnya, menurut Hanafi, mangapa deskripsi pertama tentang Tuhan adalah wujud (keberadaan). Adapun deskripsi-Nya tentang sifat-sifat-Nya berarti ajaran tentang kesadaran akan lingkungan dan dunia, sebagai kesadaran yang lebih menggunakan desain, sebuah kesadaran akan berbagai persepsi dan ekspresi teori-teori lain. Jelasnya, jika dzat yang mengacu pada cogito, maka sifat-sifat mengacu pada cogitotum. Keduanya adalah pelajaran dan ‘harapan’ Tuhan pada manusia agar mereka sadar akan dirinya sendiri dan sadar akan lingkungannya.
Di sini terlihat Hanafi berusaha mengubah terem-terem keagamaan dari yang sepiritual dan sakral menjadi sekedar material, dari yang teologis menjadi antropologis. Hanafi melakukan ini dalam rangka untuk mengalihkan perhatian dan pandangan umat Islam yang cenderung metafisik menuju sikap yang lebih berorientasi pada realitas empirik. Lebih jelas tentang penafsiran Hanafi mengenai sifat-sifat Tuhan yang enam; wujud, qidam, baq’a, muhalafah li al-hawadits, qiam binafsih dan wahdaniah, adalah sebagai berikut.
Pertama, wujud. Menurut Hanafi Wuijud disini tidak menjelaskan wujud Tuhan, karena sekali lagi Tuhan tidak Memerlukan pengakuan. Tanpa manusia Tuhan tetap wujud. Wujud di sini berarti tajribah wujudiah pada manusia, tuntutan pada umat manusia untuk mampu menunjukan eksistensi dirinya. Inilah yang dimaksud dalam sebuah sair, kematian bukanlah ketiadaan nyawa. Kematian adalah ketidakmampuan untuk menunjukan eksistensi diri.
Kedua qidam (dahulu) berarti pengalaman kesejarahan yang mengacu pada akar-akar keberadaan manusia dalam sejarah. Qidam adalah modal pengalaman dan pengetahuan kesejarahan untuk digunakan dalam melihat realitas dan masa depan, sehingga tidak akan lagi terjatuh dalam kesesatan, taqlid dan kesalahan.
Ketiga, baqa berarti kekal, pengalaman kemanusiaan yang muncul dari lawan sifat fana berartituntutan pada manusia untuk membuat dirinya tidak cepat rusak atau fana, yang itu bisa dilakukan dengan cara memperbanyak melakukan hal-al yang konstruktif dalam perbuatan maupun pemikiran, dan menjauhi tindakan-tindakan yang bisa mempercepat kerusakan di bumi. Jelasnya, baqa adalah ajaran pada manusia untuk menjaga senantiasa kelestarian lingkungan dan alam, juga ajaran agar manusia mampu meninggalkan karya-karya besar yang bersifat monumental.
Keempat, mukhalafah li al-hawadits (berbeda dengan yang lain) dan qiyam binafsih (berdiri sendiri), keduanya tunmtunan agar umat manuisa mampu menunjukan eksistensinya secara mandiri dan berani tampil beda, tidak mengekor atau taqlid pada pemikiran dan budaya orang lain. Qiyam binafsih adalah deskripsi tentang titik pijak dan gerakan yang dilakukan secara terencana dan dengan penuh kesadaran untuk mencapai sebuah tujuan akhir, sesuai dengan segala potensi dan kemampuan diri.
Kelima, wahdaniyah (keesaan), bukan merujuk pada keesaan Tuhan, pensucian Tuhan dari kegandaan (syirk) yang diarahkan pada faham trinitis maupun politheisme, tetapi lebih mengarah pada eksperimentasi kemanusiaan. Wahdaniyah adalah pengalaman umum kemanusiaan tentang kesatuan; kesatuan tujuan, kesatuan kelas, kesatuan nasib, kesatuan tanah air, kesatuan kebudayaan dan kesatuan kemanusiaan.
Dengan penafsiran-penafsiran term kalam yang serba materi dan mendunia ini, maka apa yang dimaksud dengan istilah tauhid, dalam pandangan Hanafi bukan konsep yang menegaskan tentang keesaan Tuhan yang diarahkan pada faham trinitis maupun politheisme, tetapi lebih merupakan kesatuan pribadi manusia yang jauh dari perilaku dualistik seperti hipokrit, kemunafikan ataupun perilaku oportunistik.
Menurut Hanafi, apa yang dimaksud tauhud bukan merupakan sifat dari sebuah dzat (Tuhan), deskripsi ataupun sekedar konsep kosong yang hanya ada dalam angan belaka, tetapi lebih mengarah untuk sebuah tindakan konkret (fi’il); baik dari sisi penafsiran maupun penetapan (itsbat). Sebab, apa yang dikehendaki dari konsep tauhid tersebut tidak akan bisa dimengerti dan tidak bisa diapahami kecuali dengan ditampakkan. Jelasnya, konsep tauhid tidak akan punya makna tanpa direalisasikan dalam kehidupan konkret. Perealisasian nafi (pengingkaran) adalah dengan menghilangkan tuhan-tuhan modern, seperti ideologi, gagasan, budaya dan ilmu pengetahuan yang membuat manusia sangat tergantung kepadanya dan menjadi terkotak-kotak sesuai dengan ideologi dan ilmu pengetahuan yang dimiliki dan dipujanya. Relisasi dari itsbat (penetapan) adalah dengan penetapan satu ideologi yang menyatukan dan membebaskan manusia dari belenggu-belenggu tuhan-tuhan modern tersebut.
Dengan demikian, dalam konteks kamanusiaan yang lebih konkret, tauhid adalah upaya pada kesatuan sosial masayarakat tanpa kelas, kaya atau miskin. Distingsi kelas bertentangan dengan kesatuan dan persamaan eksisitensial manusia. Tauhid berarti kesatuan kemanusiaan tanpa diskriminasi ras, tanpa perbedaan ekonomi, tanpa perbedaan masyarakat maju dan berkembang, Barat dan bukan Barat, dan seterusnya.

Bab IV
Kesimpulan
Dari makalah dan hasil diskusi mengenai ketaudidan  Hasan Hanafi dapat diambil kesimpulan bahwa: ketauhidan itu diartikan sebagai kesatuan Manusia dengan tuhan tanpa diskriminasi , tanpa perbedaan Ekonome, tanpa adanya perbedaan  adnya msyarakat yang maju dan berkembang, tanpa adanya perbedan antara Barat dan Timur.
Menurut dia mengenai ketauhidan harus bisa memanusiakan manusia, juga mampu menempatkan manusia untuk kemaslahatan ummah. Dia sanagata menkritis kaum ortodoks  yang selalu meng ingikan islam  Shalihun Li-Kulli Zaman Wa-Makan tanpa mereka setuju dengan adanya pembaharan dalam islam.
Menurut dia islam itu harus selalu terbuka untuk menerima sebuah pembaharuan. Ummat islam tidak cukup mehemi teks al-quran, tapi al-quar harus di pahami seca konteks agar bisa menjawab semua tantanngan zaman.

BAB V
Kepustakaan
Hanafi hasan, Min Al-Aqidah Ila Al-Saurah,1. Kairo, maktabah matbuli 1991
Hanafi hasan. Al-Din Wa Al-Saurah Fimisrah,VII mesir, maktabah madbuli, 1981
Hanafi hasan, Dialoq Agama Dan Revolusi. Jakarta, pustaka Firdaus, 1991
Sumaryono, Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat, yogya, kanisius, 1993


    
Load disqus comments

2 komentar