Translate

Thursday, May 23, 2013

EMPIRISME


EMPIRISME
OLEH: M.ADI
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga yogyakarta
Fakultas Usuluddin Agidah dan Filsafa
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Empirisme adalah mrupakan aliran filsafat yang mencoba mengkeritk aliran rasionalisme. Filsafat Yunani klasik merupakan permulaan dari pemikiran filsafat atau pembahasan filsafat secara spekulatif rasional dan irrasional dogmatis. Filsafat Yunani klasik merupakan contoh ilustrasi pemikiran dan pembahasan masalah filsafat secara sistematis dan lengkap dan berlaku sampai sekarang[1].Berbagai pemikiran tentang filsafat mengalami kemajuan pada masa Renaissance. Memasuki abad ke-17 beberapa filosuf mencapai penyempurnaan dan kedewasaan pemikiran. Pengaruhnya sangat besar bagi pemikiran-pemikiran filsafat pada masa berikutnya.
Adapun aliran empirisme berpendapat bahwa empirik atau pengalamanlah yang menjadi sumber pengetahuan baik pengalaman yang batiniyah maupun yang lahiriayah. Akal bukan menjadi sumber pengetahuan, akan tetapi akal mendapatkan tugas untuk mengolah bahan-bahan yang diperoleh dari pengalaman.Semula aliran ini seperti masih menganut semacam realisme yang naif yang menganggap bahwa pengenalan yang diperoleh melalui pengalaman tanpa penyelidikan lebih lanjut telah memiliki nilai yang obyektif. Akan tetapi kemudian nilai pengenalan yang diperoleh memalui pegalaman itu sendiri dijadikan sasaran atau obyek penelitaian. Aliran ini muncul di Inggris pada awalnya dipelopori Francis Bacon (1531-1626). Pada perkebangannya dilanjutkan oleh tokoh-tokoh pasca Descartes seperti Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), Berkeley (1685-1753), dan yang terpenting adalah David Hume (1711-1776).[2]
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, pemakalah mengajukan permaslahan sebagai berikut:
1.      Apa yang dimaksud dengan empirisme?
2.      Menjelaskan siapa tokoh empirisme yang berpengaruh?
2. Bagaimanakah pemikiran  empiriseme tentang ilmu pengetahuan?



BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Empirisme
Empirisme berasal dari kata Yunani empirikos yang berasal dari kata empeiria, artinya pengalaman. Menurut aliran ini manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalamnnya. Bila dikembalikan kepada kata Yunaninya pengalaman yang dimaksud adalah pengalaman inderawi. Manusia tahu es dingin karena ia menyentuhnya, gula manis karena ia mencicipinya.[3]
Empirisme adalah faham filsafat yang mengajarkan bahwa benar adalah yang logis dan ada bukti empiris. Empirisme dalam bahasa Inggris, empiricism; dari Yunani empeiria, empiris (berpengalaman dalam, berkenalan dengan, terampil untuk) latin experienta (pengalaman). Empirisme adalah doktrin bahwa sumber seluruh pengetahuan harus dicari dalam pengalaman. Salah satu teori mengenai asal pengetahuan.
Secara etimologi, istilah empirisme berasal dari kata Yunani empeiria yang berarti pengalaman.[4]
B. Tokoh-Tokoh  Empirisme
Kita ketahui bersama bahwa Pada abad 17-18 masa Ranaissance bermunculan berbagai pandangan filsafat atas ilmu pengetahuan. Empirisme adalah bagian dari filsafat pada masanya dengan memunculkan beberapa tokoh filosof. Berikut penulis sampaikan tiga filosuf sebagai sampel pemikiran empirisme yang cukup berpngaruh, yaitu Thomas Hobbes, John Locke, David Hume. Dan George Berkeley
1. Thomas Hobbes (1588-1679)
Thomas Hobbes adalah merupakan tokoh empirisme, dia anak seorang pedeta, minatnya dari semula terarahkan kepada kesusastraan dan filsafat. Ia seorang filosuf Inggris, memahami manusia secara mekanik semata. Cita-citanya untuk mengembangkan suatu filsafat atau teori negara yang dapat membantu untuk menyusun masyarkat dalam keadaan damai dan adil[5]. Bukanlah yang abstrak dan umum yang sungguh-sungguh ada. Pengertian umum itu hanya nama belaka yang sesungguhnya ada ialah hal sendiri. Adapun hal ini hanya tercapai pengenalannya dengan persentuhan indera. Hanya kalau dapat disentu dengan indera itulah suatu tanda kebenaran dan kesungguhannya. Pengetahuan kita tak mengatasi pengideraan; dengan kata lain pengetahuan yang benar hanyalah pengetahuan indera saja selainnya bukanlah pengetahuan.
Kekuatan materialisme yang dianut Thomas Hobbes mensinyalir bahwa segala sesuatu yang ada bersifat bendawi yakni segala kejadian adalah gerak yang berlangsung karena keharusan dan realitas tidak bergantung pada gagasan kita, terhisap di dalam gerak itu. Sebagai penganut empirisme, ia beranggapan bahwa pengalaman merupakan permulaan segala pengenalan.[6]Ada yang menyebut ia seorang penganunt sensualisme, karena ia amat mengutamakan sensus (indera) dalam pengetahuan, memang tidak salah tetapi dalam hubungan ini tentulah ia dianggap salah satu dari penganut empirisme-yang mengatakan bahwa persentuhan dengan indera (empirik) itulah yang menjadi pangkal dan sumber ilmu pengetahuan.
Pengalaman inderawi sebagai permulaan segala pengenalan. Pengalaman intelektual tidak lain semacam perhitungan (kalkulus) yaitu penggabungan data-data inderawi yang sama dengan cara yang berlainan.[7] Hobbes telah menyusun suatu sistem yang lengkap, berpangkal kepada empirisme secara konsekuen. Sekalipun ia berpangkal pada dasar-dasar empiris, namun ia menerima juga metode yang dipakai dalam ilmu alam yang bersifat matematis. Ia telah mempersatukan empirisme dengan rasionalisme matematis.
Baginya filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan yang bersifat umum, sebab filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan tentang efek-efek atau akibat-akibat atau tentang penampakan-penampakan yang sedemikian seperti yang kita peroleh dengan merasionalisasikan pengetahuan yang semula kita miliki dari sebab-sebab atau asalnya. Sasaran filsafat adalah fakta-fakta yang diamati dengan maksud mencari sebab-sebabnya. Dalam pengamatan disajikan fakta-fakta yang dikenal dalam bentuk pengertian-pengertian yang ada dalam kesadaran kita seperti: ruang, waktu, bilangan dan gerak dari pengamatan pada benda.Tidak semua yang diamati pada benda-benda itu nyata. Yang benar-benar nyata adalah gerak dari bagian-bagian kecil benda-benda itu. Segala gejala pada benda yang ada pada pengamat saja, segala yang ada ditentukan oleh sebab, dunia adalah suatu keseluruhan sebab-akibat.[8]
Pengalaman adalah merupakan keseluruhan atau totalitas segala pengamatan yang disimpan di dalam ingatan dan dibagungkan dengan suatu pengharapan akan masa depan sesuai dengan apa yang telah diamati pada masa yang lampau. Pengamatan inderawi terjadi karena gerak benda-benda di luar kita menyebabkan adanya suatu gerak di dalam indera kita. Gerak ini diteruskan kepada otak kemudian diteruskan ke jantung. Di dalam jantung timbullah suatu reaksi, suatu gerak yang berlawanan. Pengamatan yang sebenarnya terjadi pada awal gerak reaksi tadi.
Sasaran yang diamati adalah sifat-sifat inderawi. Penginderaan disebabkan karena tekanan obyek atau sasaran kualitas dalam obyek-obyek yang sesuai dengan penginderaan kita bergerak menekan indera kita. Warna yang kita lihat, suara yang kita dengar bukan benda di dalam obyek melainkan di dalam subyeknya. Sifat-sifat inderawi tidak memberi gambaran tentang sebab yang menimbulkan penginderaan. Ingatan, rasa senang dan tidak senang dan segala gejala jiwani bersandar semata-mata pada aosiasi gambaran-gambaran yang murni bersifat mekanis.
Thomas Hobbes menjadi besar namanya disebabkan karena teorinya yang lebih modern tentang negara dibanding dengan teori tentang negara yang mendahuluinya. Pemikirannya didasari dengan tabiat alamiah manusia hingga dibutuhkan negara yang absolut bahkan hingga pemikiran atheisnya bahwa Allah yang dapat mati.
Menurut sebagian pemikirannya antara lain:
Menurut dia tabiatnya segala manusia adalah sama, dalam keadaannya yang alamiah tiap manusia ingin mempertahankan kebebasannya dan menguasai orang lain. Pada dasarnya manusia cenderung untuk mempertahankan dirinya sendiri karena waktu itu yang ada hanya hukum alam. Akibanya mereka tertekan sehingga menimbulkan perang total sehingga hidup menjadi buruk, kasar dan singkat. Sebab dalam perang total itu kebijakan pokok ialah kekautan dan kecurangan agar manusia dapat bebas dari pada bahaya kehancuran, pengalaman mengajarkan bahwa akal sehat menuntut supaya tiap orang mau melepaskan haknya untuk berbuat sekehendak sendiri. Oleh karenanya mereka bersatu dan bersama-sama membuat perjanjian bahwa mereka akan tunduk kepada penguasa pusat yang mereka bentuk.
Oleh karena itu warga negara tidak berhak untuk meberontak. Orang banyak yang dipersatukan demikian itu disebut “commonwealth”. Commonwelath ini disebut Leviatan, Allah yang dapat mati. Di dalam commonwealth yang dipentingkan adalah perdamaian yang awet yang tahan lama. Pemerintah harus diberi kuasa mutlak tanpa batas. Sumber segala hak, hukum, moral adalah kuasa yang memerintah. Baik dan jahat bagi perbuatan manusia diukur menurut peraturan dan larangan negara.
2. Jhon Locke (1632-1704)
John Locke adalah filosof Inggris, lahir tahun 1632 di Wrington, Somersetshire. Tahun 1647-1652 ia belajar di Westminster. Tahun 1652 ia memasuki Universitas Oxford mempelajari agama Kristen, namun ia juga mempelajari pengetahuan di luar tugas pokoknya.[9]Lock menyelidiki kemampuan pengetahuan manusia, sampai kemanakah ia dapat mencapai kebenaran dan bagaimanakah mencapainya itu. Ia mempergunakan istilah sensation dan reflection dalam upaya mencari kebenaran atas pengetahuan.Reflection itu pengenalan intuitif serta memberi pengetahuan apakah kepada manusia lebih baik lebih penuh dari pada sensation. Sansation merupakan suatu yang memiliki hubungan dengan dunia luar tetapi tak dapat meraihnya dan tak dapat mengerti sesungguhnya. Tetapi tanpa sensations manusia tak dapat juga suatu pengetahuan. Tiap-tiap pengetahuan itu terjadi dari kerja sama antara sensation dan reflections. Tetapi haruslah ia mulai dengan sensation sebab jiwa manusia itu waktu dilahirkan merupakan yang putih bersih; tabula rasa, tak ada bekal dari siapa pun yang merupakan ide innatae.[10]
Seluruh pengetahuan kita peroleh dengan jalan menggunakan dan membandingkan gagasan-gagasan yang diperoleh dari pengindraan dan refleksi. Akal manusia hanya merupakan tempat penampungan yang secara pasif menerima hasil penginderaan kita. Menurut Locke kita tidak melihat pohon atau orang atau mendengar bunyi sangkakala melainkan kita melihat kesan inderawi pada retina yang disebabkan oleh apa yng kita lihat sebagai pohon. Kita mendengarkan reaksi selaput kuping terhadap getaran-getaran udara yang disebabkan oleh peniupan sangkakala.[11]
Kesimpulan Locke adalah subtance is we know not what. Tentang subtansi kita tidak tahu apa-apa. Ia mengetahui menyatakan bahwa apa yang dianggapnya subtansi ialah pengertian tentang obyek sebagai idea tentang obyek itu dibentuk oleh jiwa berdasarkan masukan dari indera.[27]
3. David Hume (1711-1776)
David Hume seorang Skot, lahir didekat kota Edinburgh Inggris tahun 1711. Ia telah pernah mengajar di Universitas, barangkali juga karena ia dianggap ateis sehingga tidak akan diterima sebagian profesor. Ia banyak berkeliling di Eropa terutama di Perancis. [28] Buku yang ia tulis ketika berumur duapuluh tahunan adalah Kretise Of Human Nature (1739), namun tidak banyak menarik perhatian orang. Waktu mudanya ia juga berpolitik tetapi tak terlalu mendapat sukses,[12] kemudian ia beralih menjadi sejarawan. Pada tahun 1948 ia menulis buku yang sangat terkenal, An Enquiry Concerring the Princeiples of Morals (1751). Hume meninggal pada tahun 1776.
Ia merupakan tokoh yang menganalisis pengertian substansi, seluruh pengetahuan itu tak lain dari jumlah pengalaman kita. Dalam budi kita tak ada suatu idea yang tidak sesuai dengan impression yang disebabkan “hal” di luar kita. Adapun yang bersentuhan dengan indera kita itu sifat-sifat atau gejala-gejala dari hal tersebut.perulangan pengalaman yang demikian acapkalinya. Subtansi itu hanya anggapan, khayal, yang sebenarnya tak ada.[13]
Perbedaan kedua-keduanya terletak pada tingkat kekuatan dan garisnya menuju jiwa dan jalan masuk kesadaran. Persepsi yang termasuk denagn kekuatan besar dan kasar disebut impression (kesan) dan semua sensasim nafsu emosi termasuk kategori ini begitu mereka masuk kedalam jiwa. Idea adalah gambaran kabur (faint image) tentang persepsi yang masuk kedalam pemikiran.
Selanjutnya David Hume menyatakan sebagaimana dinukil Prof.Dr. Ahmad Tafsir sebagai berikut. Secara teliti ternyata persepsi itu dapat dibagi menjadi dua macam yaitu pesepsi yang sederhana (simple) dan persepsi yang ruwet (complex). Seluruh kesan dan idea kita saling berhubunan. Dalam penyelidikan saya ternyata hanya idea yang kompleks yang tidak memiliki kesan (impression) yang berhubungan dengan idea itu. Banyak juga kesan yang kompleks yang tidak direkam dalam idea kita. Saya tidak bisa menggambarkan suatu kota yang belum pernah saya lihat. Akan tetapi saya pernah melihat kota Paris namun saya harus mengatakan saya tidak sanggup membentuk idea tentang kota Paris yang lengkap dengan gedung-gedung, jalan dan lain lengkap dengan ukuran masing-masing. Mengapa? Karena tidak semua kesan (impression) direkam dalam idea.
Pengalaman lebih memberi keyakinan dibandingkan kesimpulan logika atau kemestian sebab akibat. Hukum sebab akibat tidak lain hanya hubungan saling berurutan saja dan secara konstan terjadi seperti api membuat air mendidih. Dalam api tidak bisa diamati adanya "daya aktif" yang mendidihkan air. Daya aktif yang disebut hukum kausalitas itu tidak bisa diamati. Dengan demikian kausalitas tidak bisa digunakan untuk menetapkan peristiw-peristiwa yang akan datang berdasarkan peristiwa-peristiwa terdahulu.[14]
Pemikirannya tentang eksistensi Tuhan adalah ketika kita percaya kepada Tuhan sebagai pengatur alam ini kita berhadapan dengan dilema, kita berpikir tentang Tuhan menurut pengalaman masing-masing sedangkan itu hanya setumpuk persepsi dan koleksi emosi saja. Kemudian, bagaimana kita dapat mengatakan Tuhan itu Maha sempurna dan Maha Kuasa, sedangkan di alam terjadi kejahatan dan berbagai bencana. Seharusnya alam ini juga sempurna sesuai denga penciptanya tetapi ternyata tidak. Tuhan juga sumber kejahatan, terbatas dan memiliki sifat mencintai dan membenci. Penelitiannya tentang dunia tidak mampu membuktikan Tuhan kecuali Tuhan itu tidak sempurna.[15]
Lebih lanjut Hume berkomentar, tidak ada bukti yang dapat dipahami untuk membuktikan bahwa Allah ada dan bahwa Ia menyelenggrakan dunia. Juga tidak ada bukti bahwa jiwa tidak dapat mati. Dalam praktik, orang-orang yang beragama selalu mengikuti kepercayaan yang dianggap pasti sedang akal tidak dapat membuktikannya. Menurutnya banyak sekali keyakinan agama yang merupakan hasil khayalan, tidak berlaku umum dan tidak berguna bagi hidup. Agama berasal dasri penghargaan dan ketakutan manusia terhadap tujuan hidupnya. Itulah yang menyebabkan manusia mengangkat berbagai dewa untuk disembah.

4. George Berkeley
George Berkeley sebagai penganut empirisme mencanangkan teori yang dinamakan “immaterialisme” atas dasar prinsip-prinsip empirisme. Ia bertolak belakang dengan pendapat John Locke yang masih menerima substansi dari luar. Berkeley berpendapat sama sekali tidak ada substansi-substansi material dan yang ada hanya pengalaman ruh saja karena dalam dunia material sama dengan ide-ide.[16]
Berkeley mengilustrasikan dengan gambar film yang ada dalam layar putih sebagai benda yang riil dan hidup. Pengakuannya bahwa “aku” merupakan suatu substansi rohani. Tuhan adalah asal-usul ide itu ada yang menunjukkan ide-ide pada kita dan Tuhanlah yang memutarkan film pada batin kita. Sepintas kita pahami bahwa konsep pemikirannya ada kemiripan dengan paham fatalism dari Inggris, perbuatan-perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh Tuhan. Juga hampir sama dengan paham Jabariyah yang menyatakan bahwa manusia tidak memiliki kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatan
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
 Emprisme adalah suatu paham filsafat yang mengajarkan bahwa kebenaran itu adalah yang logis dan ada bukti empris adalah sesuatu yang bisa ditangkap atau dicerap oleh panca indra. Peletak dasar empiris pertama adalah Francis bacon, bapak empirisnya Jhon Locke dan beberapa filsuf lainya seperti Thomas Hobbes, Berkeley, David Hume dan lainnya. Meskipun aliran empirisme sangat berpengaruh atas pemikiran-pemikiran filsafat selanjutnya namun banyak dijumpai kelemahan baik metode, obyek tentang empiris. Paham ini beranggapan ilmu pegetahuan manusia itu kan hanya di capai jika dia perhnah mengalami ataupun dai pernah merasakan.
 Empirisme menganggap agama, mukjizat, bahkan Tuhan sebagai keyakinan yang tidak logis dan tidak bisa dibuktikan secara ilmiah hanya karena empirisme tidak mampu membuktikan eksistensi immateri.
KEPUSTAKAAN
Saifullah Ali, Antara Filsafat dan Pendidikan, Surabaya : Usaha Nasional, 1403 H
Hadiwijoyo Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Muslih Muhammad, Filsafat Ilmu-ilmu, Yogyakarta: Belukar, 2005,

Tafsir Ahmad, Filsafat Umum Akal dan Hati sejak Thales sampai James, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003,

Muslim Muhammad, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Belukar, 2005,

Magnis-Suseno Franz, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta: Kanisius, 2002,

Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006,

Praja Juhana, S. Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Jakarta : Prenada Media, 2008,
I.R. Poedjawijatna, Pembimbing ke Arah Alam Filsafat, Jakarta: Rineka Cipta, 1990,
Baktiar Amsal, Filsafat Agama 1, Jakarta: Logos, 1997,

Ghulsyani Mahdi, Filsafat Sains Menurut Al Qur’an, Bandung : Mizan, 1989,






[1] Ali Saifullah, Antara Filsafat dan Pendidikan, Surabaya : Usaha Nasional, 1403 H, hlm.
[2] Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu-ilmu, Yogyakarta: Belukar, 2005, hlm. 53.
[3] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum Akal dan Hati sejak Thales sampai James, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003, hlm. 21.

[4] Muhammad Muslim, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Belukar, 2005, hlm. 53.
[5] Franz Magnis-Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta: Kanisius, 2002, hal. 71
[6] Juhana S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Jakarta : Prenada Media, 2008, hlm. 107.
[7] Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Belukar, hlm. 53.
[8]Harun Hadiwijoyo, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 2002, hlm. 32.
[9] Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006, hlm. 137.
[10] Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006, hlm. 137
[11] Franz Magnis-Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta: Kanisius, 2002, hal. 73.
[12] I.R. Poedjawijatna, Pembimbing ke Arah Alam Filsafat, Jakarta: Rineka Cipta, 1990, hal 105.

[13] Ibid., hal. 106-106
[14] Amsal Baktiar, Filsafat Agama 1, Jakarta: Logos, 1997, hal. 108-109.
[15] Ibid., hlm. 110.
[16] Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains Menurut Al Qur’an, Bandung : Mizan, 1989, hlm. 89.
Load disqus comments

0 komentar