EMPIRISME
OLEH: M.ADI
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga yogyakarta
Fakultas Usuluddin Agidah dan Filsafa
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga yogyakarta
Fakultas Usuluddin Agidah dan Filsafa
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Empirisme
adalah mrupakan aliran filsafat yang mencoba mengkeritk aliran rasionalisme. Filsafat
Yunani klasik merupakan permulaan dari pemikiran filsafat atau pembahasan
filsafat secara spekulatif rasional dan irrasional dogmatis. Filsafat Yunani
klasik merupakan contoh ilustrasi pemikiran dan pembahasan masalah filsafat
secara sistematis dan lengkap dan berlaku sampai sekarang[1].Berbagai
pemikiran tentang filsafat mengalami kemajuan pada masa Renaissance. Memasuki
abad ke-17 beberapa filosuf mencapai penyempurnaan dan kedewasaan pemikiran.
Pengaruhnya sangat besar bagi pemikiran-pemikiran filsafat pada masa
berikutnya.
Adapun aliran
empirisme berpendapat bahwa empirik atau pengalamanlah yang menjadi sumber
pengetahuan baik pengalaman yang batiniyah maupun yang lahiriayah. Akal bukan
menjadi sumber pengetahuan, akan tetapi akal mendapatkan tugas untuk mengolah
bahan-bahan yang diperoleh dari pengalaman.Semula aliran ini seperti masih
menganut semacam realisme yang naif yang menganggap bahwa pengenalan yang
diperoleh melalui pengalaman tanpa penyelidikan lebih lanjut telah memiliki
nilai yang obyektif. Akan tetapi kemudian nilai pengenalan yang diperoleh
memalui pegalaman itu sendiri dijadikan sasaran atau obyek penelitaian. Aliran
ini muncul di Inggris pada awalnya dipelopori Francis Bacon (1531-1626). Pada
perkebangannya dilanjutkan oleh tokoh-tokoh pasca Descartes seperti Thomas
Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), Berkeley (1685-1753), dan yang
terpenting adalah David Hume (1711-1776).[2]
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas,
pemakalah mengajukan permaslahan sebagai berikut:
1.
Apa yang dimaksud dengan empirisme?
2.
Menjelaskan siapa tokoh empirisme
yang berpengaruh?
2. Bagaimanakah pemikiran empiriseme tentang ilmu pengetahuan?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Empirisme
Empirisme
berasal dari kata Yunani empirikos yang berasal dari kata empeiria, artinya
pengalaman. Menurut aliran ini manusia memperoleh pengetahuan melalui
pengalamnnya. Bila dikembalikan kepada kata Yunaninya pengalaman yang dimaksud
adalah pengalaman inderawi. Manusia tahu es dingin karena ia menyentuhnya, gula
manis karena ia mencicipinya.[3]
Empirisme
adalah faham filsafat yang mengajarkan bahwa benar adalah yang logis dan ada
bukti empiris. Empirisme dalam bahasa Inggris, empiricism; dari Yunani
empeiria, empiris (berpengalaman dalam, berkenalan dengan, terampil untuk)
latin experienta (pengalaman). Empirisme adalah doktrin bahwa sumber seluruh
pengetahuan harus dicari dalam pengalaman. Salah satu teori mengenai asal
pengetahuan.
Secara etimologi, istilah empirisme
berasal dari kata Yunani empeiria yang berarti pengalaman.[4]
B. Tokoh-Tokoh Empirisme
Kita ketahui
bersama bahwa Pada abad 17-18 masa Ranaissance bermunculan berbagai pandangan
filsafat atas ilmu pengetahuan. Empirisme adalah bagian dari filsafat pada
masanya dengan memunculkan beberapa tokoh filosof. Berikut penulis sampaikan
tiga filosuf sebagai sampel pemikiran empirisme yang cukup berpngaruh, yaitu
Thomas Hobbes, John Locke, David Hume. Dan George Berkeley
1. Thomas Hobbes (1588-1679)
Thomas Hobbes
adalah merupakan tokoh empirisme, dia anak seorang pedeta, minatnya dari semula
terarahkan kepada kesusastraan dan filsafat. Ia seorang filosuf Inggris,
memahami manusia secara mekanik semata. Cita-citanya untuk mengembangkan suatu
filsafat atau teori negara yang dapat membantu untuk menyusun masyarkat dalam
keadaan damai dan adil[5].
Bukanlah yang abstrak dan umum yang sungguh-sungguh ada. Pengertian umum itu
hanya nama belaka yang sesungguhnya ada ialah hal sendiri. Adapun hal ini hanya
tercapai pengenalannya dengan persentuhan indera. Hanya kalau dapat disentu
dengan indera itulah suatu tanda kebenaran dan kesungguhannya. Pengetahuan kita
tak mengatasi pengideraan; dengan kata lain pengetahuan yang benar hanyalah
pengetahuan indera saja selainnya bukanlah pengetahuan.
Kekuatan materialisme
yang dianut Thomas Hobbes mensinyalir bahwa segala sesuatu yang ada bersifat
bendawi yakni segala kejadian adalah gerak yang berlangsung karena keharusan
dan realitas tidak bergantung pada gagasan kita, terhisap di dalam gerak itu.
Sebagai penganut empirisme, ia beranggapan bahwa pengalaman merupakan permulaan
segala pengenalan.[6]Ada
yang menyebut ia seorang penganunt sensualisme, karena ia amat mengutamakan
sensus (indera) dalam pengetahuan, memang tidak salah tetapi dalam hubungan ini
tentulah ia dianggap salah satu dari penganut empirisme-yang mengatakan bahwa
persentuhan dengan indera (empirik) itulah yang menjadi pangkal dan sumber ilmu
pengetahuan.
Pengalaman
inderawi sebagai permulaan segala pengenalan. Pengalaman intelektual tidak lain
semacam perhitungan (kalkulus) yaitu penggabungan data-data inderawi yang sama
dengan cara yang berlainan.[7]
Hobbes telah menyusun suatu sistem yang lengkap, berpangkal kepada empirisme
secara konsekuen. Sekalipun ia berpangkal pada dasar-dasar empiris, namun ia
menerima juga metode yang dipakai dalam ilmu alam yang bersifat matematis. Ia
telah mempersatukan empirisme dengan rasionalisme matematis.
Baginya
filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan yang bersifat umum, sebab filsafat
adalah suatu ilmu pengetahuan tentang efek-efek atau akibat-akibat atau tentang
penampakan-penampakan yang sedemikian seperti yang kita peroleh dengan
merasionalisasikan pengetahuan yang semula kita miliki dari sebab-sebab atau
asalnya. Sasaran filsafat adalah fakta-fakta yang diamati dengan maksud mencari
sebab-sebabnya. Dalam pengamatan disajikan fakta-fakta yang dikenal dalam
bentuk pengertian-pengertian yang ada dalam kesadaran kita seperti: ruang,
waktu, bilangan dan gerak dari pengamatan pada benda.Tidak semua yang diamati
pada benda-benda itu nyata. Yang benar-benar nyata adalah gerak dari
bagian-bagian kecil benda-benda itu. Segala gejala pada benda yang ada pada
pengamat saja, segala yang ada ditentukan oleh sebab, dunia adalah suatu
keseluruhan sebab-akibat.[8]
Pengalaman
adalah merupakan keseluruhan atau totalitas segala pengamatan yang disimpan di
dalam ingatan dan dibagungkan dengan suatu pengharapan akan masa depan sesuai
dengan apa yang telah diamati pada masa yang lampau. Pengamatan inderawi
terjadi karena gerak benda-benda di luar kita menyebabkan adanya suatu gerak di
dalam indera kita. Gerak ini diteruskan kepada otak kemudian diteruskan ke
jantung. Di dalam jantung timbullah suatu reaksi, suatu gerak yang berlawanan.
Pengamatan yang sebenarnya terjadi pada awal gerak reaksi tadi.
Sasaran yang
diamati adalah sifat-sifat inderawi. Penginderaan disebabkan karena tekanan
obyek atau sasaran kualitas dalam obyek-obyek yang sesuai dengan penginderaan
kita bergerak menekan indera kita. Warna yang kita lihat, suara yang kita
dengar bukan benda di dalam obyek melainkan di dalam subyeknya. Sifat-sifat
inderawi tidak memberi gambaran tentang sebab yang menimbulkan penginderaan.
Ingatan, rasa senang dan tidak senang dan segala gejala jiwani bersandar
semata-mata pada aosiasi gambaran-gambaran yang murni bersifat mekanis.
Thomas Hobbes
menjadi besar namanya disebabkan karena teorinya yang lebih modern tentang
negara dibanding dengan teori tentang negara yang mendahuluinya. Pemikirannya
didasari dengan tabiat alamiah manusia hingga dibutuhkan negara yang absolut
bahkan hingga pemikiran atheisnya bahwa Allah yang dapat mati.
Menurut sebagian pemikirannya
antara lain:
Menurut dia tabiatnya
segala manusia adalah sama, dalam keadaannya yang alamiah tiap manusia ingin
mempertahankan kebebasannya dan menguasai orang lain. Pada dasarnya manusia
cenderung untuk mempertahankan dirinya sendiri karena waktu itu yang ada hanya
hukum alam. Akibanya mereka tertekan sehingga menimbulkan perang total sehingga
hidup menjadi buruk, kasar dan singkat. Sebab dalam perang total itu kebijakan
pokok ialah kekautan dan kecurangan agar manusia dapat bebas dari pada bahaya
kehancuran, pengalaman mengajarkan bahwa akal sehat menuntut supaya tiap orang
mau melepaskan haknya untuk berbuat sekehendak sendiri. Oleh karenanya mereka
bersatu dan bersama-sama membuat perjanjian bahwa mereka akan tunduk kepada
penguasa pusat yang mereka bentuk.
Oleh karena
itu warga negara tidak berhak untuk meberontak. Orang banyak yang dipersatukan
demikian itu disebut “commonwealth”. Commonwelath ini disebut Leviatan, Allah
yang dapat mati. Di dalam commonwealth yang dipentingkan adalah perdamaian yang
awet yang tahan lama. Pemerintah harus diberi kuasa mutlak tanpa batas. Sumber
segala hak, hukum, moral adalah kuasa yang memerintah. Baik dan jahat bagi
perbuatan manusia diukur menurut peraturan dan larangan negara.
2. Jhon Locke (1632-1704)
John Locke
adalah filosof Inggris, lahir tahun 1632 di Wrington, Somersetshire. Tahun
1647-1652 ia belajar di Westminster. Tahun 1652 ia memasuki Universitas Oxford
mempelajari agama Kristen, namun ia juga mempelajari pengetahuan di luar tugas
pokoknya.[9]Lock
menyelidiki kemampuan pengetahuan manusia, sampai kemanakah ia dapat mencapai
kebenaran dan bagaimanakah mencapainya itu. Ia mempergunakan istilah sensation
dan reflection dalam upaya mencari kebenaran atas pengetahuan.Reflection itu
pengenalan intuitif serta memberi pengetahuan apakah kepada manusia lebih baik
lebih penuh dari pada sensation. Sansation merupakan suatu yang memiliki
hubungan dengan dunia luar tetapi tak dapat meraihnya dan tak dapat mengerti
sesungguhnya. Tetapi tanpa sensations manusia tak dapat juga suatu pengetahuan.
Tiap-tiap pengetahuan itu terjadi dari kerja sama antara sensation dan
reflections. Tetapi haruslah ia mulai dengan sensation sebab jiwa manusia itu
waktu dilahirkan merupakan yang putih bersih; tabula rasa, tak ada bekal dari
siapa pun yang merupakan ide innatae.[10]
Seluruh
pengetahuan kita peroleh dengan jalan menggunakan dan membandingkan
gagasan-gagasan yang diperoleh dari pengindraan dan refleksi. Akal manusia
hanya merupakan tempat penampungan yang secara pasif menerima hasil
penginderaan kita. Menurut Locke kita tidak melihat pohon atau orang atau
mendengar bunyi sangkakala melainkan kita melihat kesan inderawi pada retina
yang disebabkan oleh apa yng kita lihat sebagai pohon. Kita mendengarkan reaksi
selaput kuping terhadap getaran-getaran udara yang disebabkan oleh peniupan
sangkakala.[11]
Kesimpulan
Locke adalah subtance is we know not what. Tentang subtansi kita tidak tahu
apa-apa. Ia mengetahui menyatakan bahwa apa yang dianggapnya subtansi ialah
pengertian tentang obyek sebagai idea tentang obyek itu dibentuk oleh jiwa
berdasarkan masukan dari indera.[27]
3. David Hume (1711-1776)
David Hume
seorang Skot, lahir didekat kota Edinburgh Inggris tahun 1711. Ia telah pernah
mengajar di Universitas, barangkali juga karena ia dianggap ateis sehingga
tidak akan diterima sebagian profesor. Ia banyak berkeliling di Eropa terutama
di Perancis. [28] Buku yang ia tulis ketika berumur duapuluh tahunan adalah
Kretise Of Human Nature (1739), namun tidak banyak menarik perhatian orang.
Waktu mudanya ia juga berpolitik tetapi tak terlalu mendapat sukses,[12]
kemudian ia beralih menjadi sejarawan. Pada tahun 1948 ia menulis buku yang
sangat terkenal, An Enquiry Concerring the Princeiples of Morals (1751). Hume
meninggal pada tahun 1776.
Ia merupakan
tokoh yang menganalisis pengertian substansi, seluruh pengetahuan itu tak lain
dari jumlah pengalaman kita. Dalam budi kita tak ada suatu idea yang tidak
sesuai dengan impression yang disebabkan “hal” di luar kita. Adapun yang
bersentuhan dengan indera kita itu sifat-sifat atau gejala-gejala dari hal
tersebut.perulangan pengalaman yang demikian acapkalinya. Subtansi itu hanya
anggapan, khayal, yang sebenarnya tak ada.[13]
Perbedaan
kedua-keduanya terletak pada tingkat kekuatan dan garisnya menuju jiwa dan
jalan masuk kesadaran. Persepsi yang termasuk denagn kekuatan besar dan kasar
disebut impression (kesan) dan semua sensasim nafsu emosi termasuk kategori ini
begitu mereka masuk kedalam jiwa. Idea adalah gambaran kabur (faint image)
tentang persepsi yang masuk kedalam pemikiran.
Selanjutnya
David Hume menyatakan sebagaimana dinukil Prof.Dr. Ahmad Tafsir sebagai
berikut. Secara teliti ternyata persepsi itu dapat dibagi menjadi dua macam
yaitu pesepsi yang sederhana (simple) dan persepsi yang ruwet (complex).
Seluruh kesan dan idea kita saling berhubunan. Dalam penyelidikan saya ternyata
hanya idea yang kompleks yang tidak memiliki kesan (impression) yang
berhubungan dengan idea itu. Banyak juga kesan yang kompleks yang tidak direkam
dalam idea kita. Saya tidak bisa menggambarkan suatu kota yang belum pernah
saya lihat. Akan tetapi saya pernah melihat kota Paris namun saya harus
mengatakan saya tidak sanggup membentuk idea tentang kota Paris yang lengkap
dengan gedung-gedung, jalan dan lain lengkap dengan ukuran masing-masing.
Mengapa? Karena tidak semua kesan (impression) direkam dalam idea.
Pengalaman
lebih memberi keyakinan dibandingkan kesimpulan logika atau kemestian sebab
akibat. Hukum sebab akibat tidak lain hanya hubungan saling berurutan saja dan
secara konstan terjadi seperti api membuat air mendidih. Dalam api tidak bisa
diamati adanya "daya aktif" yang mendidihkan air. Daya aktif yang
disebut hukum kausalitas itu tidak bisa diamati. Dengan demikian kausalitas
tidak bisa digunakan untuk menetapkan peristiw-peristiwa yang akan datang
berdasarkan peristiwa-peristiwa terdahulu.[14]
Pemikirannya
tentang eksistensi Tuhan adalah ketika kita percaya kepada Tuhan sebagai
pengatur alam ini kita berhadapan dengan dilema, kita berpikir tentang Tuhan
menurut pengalaman masing-masing sedangkan itu hanya setumpuk persepsi dan
koleksi emosi saja. Kemudian, bagaimana kita dapat mengatakan Tuhan itu Maha
sempurna dan Maha Kuasa, sedangkan di alam terjadi kejahatan dan berbagai
bencana. Seharusnya alam ini juga sempurna sesuai denga penciptanya tetapi
ternyata tidak. Tuhan juga sumber kejahatan, terbatas dan memiliki sifat
mencintai dan membenci. Penelitiannya tentang dunia tidak mampu membuktikan Tuhan
kecuali Tuhan itu tidak sempurna.[15]
Lebih lanjut
Hume berkomentar, tidak ada bukti yang dapat dipahami untuk membuktikan bahwa
Allah ada dan bahwa Ia menyelenggrakan dunia. Juga tidak ada bukti bahwa jiwa
tidak dapat mati. Dalam praktik, orang-orang yang beragama selalu mengikuti
kepercayaan yang dianggap pasti sedang akal tidak dapat membuktikannya.
Menurutnya banyak sekali keyakinan agama yang merupakan hasil khayalan, tidak
berlaku umum dan tidak berguna bagi hidup. Agama berasal dasri penghargaan dan
ketakutan manusia terhadap tujuan hidupnya. Itulah yang menyebabkan manusia
mengangkat berbagai dewa untuk disembah.
4. George Berkeley
George
Berkeley sebagai penganut empirisme mencanangkan teori yang dinamakan
“immaterialisme” atas dasar prinsip-prinsip empirisme. Ia bertolak belakang
dengan pendapat John Locke yang masih menerima substansi dari luar. Berkeley
berpendapat sama sekali tidak ada substansi-substansi material dan yang ada
hanya pengalaman ruh saja karena dalam dunia material sama dengan ide-ide.[16]
Berkeley
mengilustrasikan dengan gambar film yang ada dalam layar putih sebagai benda
yang riil dan hidup. Pengakuannya bahwa “aku” merupakan suatu substansi rohani.
Tuhan adalah asal-usul ide itu ada yang menunjukkan ide-ide pada kita dan
Tuhanlah yang memutarkan film pada batin kita. Sepintas kita pahami bahwa
konsep pemikirannya ada kemiripan dengan paham fatalism dari Inggris, perbuatan-perbuatan
manusia telah ditentukan dari semula oleh Tuhan. Juga hampir sama dengan paham
Jabariyah yang menyatakan bahwa manusia tidak memiliki kemerdekaan dalam menentukan
kehendak dan perbuatan
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Emprisme adalah suatu paham filsafat yang
mengajarkan bahwa kebenaran itu adalah yang logis dan ada bukti empris adalah
sesuatu yang bisa ditangkap atau dicerap oleh panca indra. Peletak dasar
empiris pertama adalah Francis bacon, bapak empirisnya Jhon Locke dan beberapa
filsuf lainya seperti Thomas Hobbes, Berkeley, David Hume dan lainnya. Meskipun
aliran empirisme sangat berpengaruh atas pemikiran-pemikiran filsafat
selanjutnya namun banyak dijumpai kelemahan baik metode, obyek tentang empiris.
Paham ini beranggapan ilmu pegetahuan manusia itu kan hanya di capai jika dia
perhnah mengalami ataupun dai pernah merasakan.
Empirisme menganggap agama, mukjizat, bahkan
Tuhan sebagai keyakinan yang tidak logis dan tidak bisa dibuktikan secara
ilmiah hanya karena empirisme tidak mampu membuktikan eksistensi immateri.
KEPUSTAKAAN
Saifullah Ali, Antara Filsafat dan Pendidikan, Surabaya :
Usaha Nasional, 1403 H
Hadiwijoyo Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta:
Kanisius, 2002.
Muslih
Muhammad, Filsafat Ilmu-ilmu, Yogyakarta: Belukar, 2005,
Tafsir Ahmad, Filsafat
Umum Akal dan Hati sejak Thales sampai James, Bandung: Remaja Rosdakarya,
2003,
Muslim
Muhammad, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Belukar, 2005,
Magnis-Suseno
Franz, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta: Kanisius, 2002,
Ahmad Tafsir, Filsafat
Ilmu, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006,
Praja Juhana, S. Aliran-aliran
Filsafat dan Etika, Jakarta : Prenada Media, 2008,
I.R. Poedjawijatna, Pembimbing
ke Arah Alam Filsafat, Jakarta: Rineka Cipta, 1990,
Baktiar Amsal,
Filsafat Agama 1, Jakarta: Logos, 1997,
Ghulsyani
Mahdi, Filsafat Sains Menurut Al Qur’an, Bandung : Mizan, 1989,
[1]
Ali Saifullah, Antara Filsafat
dan Pendidikan, Surabaya : Usaha Nasional, 1403 H, hlm.
[2]
Muhammad Muslih, Filsafat
Ilmu-ilmu, Yogyakarta: Belukar, 2005, hlm. 53.
[3]
Ahmad Tafsir, Filsafat
Umum Akal dan Hati sejak Thales sampai James, Bandung: Remaja Rosdakarya,
2003, hlm. 21.
[4]
Muhammad Muslim, Filsafat Ilmu,
Yogyakarta: Belukar, 2005, hlm. 53.
[5]
Franz Magnis-Suseno, Filsafat
Sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta: Kanisius, 2002, hal. 71
[6]
Juhana S.
Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Jakarta : Prenada Media, 2008,
hlm. 107.
[7]
Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu,
Yogyakarta: Belukar, hlm. 53.
[8]Harun Hadiwijoyo, Sari Sejarah Filsafat
Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 2002, hlm. 32.
[9]
Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu,
Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006, hlm. 137.
[10]
Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu,
Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006, hlm. 137
[11]
Franz Magnis-Suseno, Filsafat
Sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta: Kanisius, 2002, hal. 73.
[12]
I.R.
Poedjawijatna, Pembimbing ke Arah Alam Filsafat, Jakarta: Rineka Cipta,
1990, hal 105.
[13]
Ibid., hal. 106-106
[14]
Amsal Baktiar, Filsafat Agama 1,
Jakarta: Logos, 1997, hal. 108-109.
[15]
Ibid., hlm.
110.
[16]
Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains
Menurut Al Qur’an, Bandung : Mizan, 1989, hlm. 89.
0 komentar