PENDIDIKAN ISLAM DALAM
TINJAUAN ONTOLOGIS
OLEH: M.ADI
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga yogyakarta
Fakultas Usuluddin Agidah dan Filsafa
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga yogyakarta
Fakultas Usuluddin Agidah dan Filsafa
A. Pedahuluan
Pendidikan adalah proses, bukan
aktivitas spontan yang sekali jadi. Sebagai sebuah proses, maka hakekat
pendidikan adalah rangkain aktivitas terprogram, terarah dan berkesinambungan. Ada
berbagai komponen yang berfungsi sebagai penopang terlaksananya aktivitas pendidikan secara
efektif dan efisien. Komponen-komponen itu saling berhubungan dan memiliki
kebergantungan satu sama lain. oleh karenanya, dapatlah dikatakan bahwa
pendidikan adalah kumpulan aktivitas dalam sebuah sistem.
Sebagai sebuah sistem, pendidikan tidak
dapat dilepaskan dari kerangka filosofis yang mengkaji tentang masalah
pendidikan. Kerangka filosofis yang berbertuk gagasan ini kemudian menjadi
landasan dasar dan penunjuk arah bagaimana kontsruksi sistem tersebut dibentuk.[1]
Dalam ranah filosofis, hal ini dapat dilihat dari tiga aspek yakni ontologi,
epistimologi, dan aksiologi.[2]
Kajian ontologi mengacu pada hakikat
yang dikaji.[3]
Epistimologi berhubungan dengan prosesnya,[4]
yang meliputi sumber-sumber, karakteristik, sifat, dan kebenarannya.[5]
Sementara aksiologi berkaitan dengan nilai
gunanya.[6]
Perspektif filosofis ini dapat memperkaya horison kita dalam memandang
pendidikan Islam. Artinya, kita akan menyadari bahwa pendidikan Islam tidak hanya
berkaitan dengan pesoalan Fiqih, tetapi juga mencakup segala cabang pengetahuan
yang diajarkan dari sudut pandang Islam.[7]
Dan yang menjadi perhatian daam tulisan ini adalah pendidikan Islam dalam
tinjaun ontologis.
B. Identifikasi Problem Pendidikan Islam
Dewasa ini pendidkan Islam tidak lagi
diartikan sebagai pendidikan agama semata yang hanya mengkaji tentang persoalan
keislaman, tetapi juga mencakup semua cabang pengetahuan yang diajarkan dari
sudut pandang Islam. Artinya, dalam pendidikan Islam terkandung gagasan atau
prinsip-prinsip tertentu yang saling bertautan dan berkesinambungan. Dalam
konteks ini, pendidikan Islam adalah sebuah sistem yang menjalin sinergi kebergantungan
dengan berbagai komponen. Dan komponen-komponen yang memiliki fungsi prinsipil
tersebut bersumber dari pemikiran filsat, yakni filsafat Islam. [8]
Secara terminologis, pendidikan adalah
proses perbaikan, penguatan, dan penyempurnaan terhadap semua potensi manusia.[9]
Jika dikaitkan dengan pendidikan Islam, maka proses tersebut adalah upaya
mewujudkan pribadi unggul yang memiliki kesalehan individual (Abdullah)
dan kesalehan sosial (khaliah fil Ard).
Dalam perkembangannya, pendidikan Islam
dihdapkan dengan rpoblem yang cukup kompleks. Menurut Abdur Rahman Assegaf,
setidaknya terdapat empat problem utama dalam pendidikan Islam, yaitu:pertama,
lack of Vision, pendidikan Islam tidak memiliki visi yang kuat. Hal ini
dapat dilihat dari materi dan metodologi yang diajarkan di dunia Islam adalah koian
dari Barat.
Kedua, kesalehan
individual dan ketertinggalan teknologi, pendidikan Islam yang diajarkan
seringkali hanya menekankan pada pemenuhan ibadah makhdah, shalat
misalnya. Sementara kategori ibadah ghairu makhdah yang yang dimensinya
lebih luas, seperti solidaritas sosial dan kepedulian pada lingkungan, kurang
mendapat porsi yang memuaskan. Penyikapan yang sempit terhadap ibadah ini
berimplikasi pada keterbelakangan umat Islam dalam teknologi dan sains, dengan
memposisikan keduanya diluar ibadah.
Ketiga, dikotomi
Ilmu, adanya dikotomisasi ilmu antara ilmu agama dan ilmu umum telah
menyebabkan disharmonisasi dalam memahami ayat-ayat ilahiah dan
ayat-ayat kauniyah. Relasi ini kemudian mengantarkan pada pemisahan antara
dimensi teosentris dan antroposentris.
Keempat, tradisi
berpikir normatif deduktif, yang dapat dilihat dari praktik pendidikan Islam
yang cenderung pada pola mengajar (teaching, ta’lim) daripada mendidik (education,
tarbiyah, ta’dib). Dalam pola mengajar, yang terjadi adalah guru sebagai
satu-satunya sumber pengajaran dan menafikan peran dialogis antara guru dan
siswa. Proses belajar yang berlangsung seringkali hanya dengan menghafal
(kognitif), sementara dimensi sikap dan keterampilan sering terabaikan. Padahal
hakikat pendidikan tidak hanya transfer of knowledge, tetapi juga transfer
of values (internalisasi nilai) dan transfer of methodology (aplikasi
metodologi).[10]
Sementara dalam identifikasi Imam
Suprayogo, pendidikan Islam masih terjebak pada pemikiran-pemikiran klasik yang
sudah ketinggalan zaman. Para pemikir muslim masih segan untuk melakukan
reformulasi dan modernisasi pemikiran. Munculnya perdebatan panjang antara kaum
modernis dan tradisonalis adalah bukti nyata bahwa sebagian para pemikir muslim
masih takut untuk melakukan pembaharuan pemikiran. Selain itu, umat Islam juga
masih mengidap syndrom of inferiority complex, sikap pesimistis dan
kurang percaya diri. Hal ini menjadikan umat Islam cenderung untuk meniru dan
mengambil tradisi Barat dan meninggalkan tradisi Islam sendiri.[11]
Mengacu pada dua pakar tersebut, identifikasi
problem pendidikan Islam terletak pada persoalan orientasi yang dapat dilihat
dari problem lack of vision, antara kesalehan individual dan kesalehan
sosial, dan problem konseptual, seperti dikotomi, reformulasi pemikiran, dan
cenderung hanya meniru tradisi Barat.
C. Pendidikan Islam dalam Tinjaun Ontologis
Menghadapi problem yang kompleks ini, menuntut
pendidikan Islam agar membangun sinergi dengan disiplin lain, salah satunya
adalah filsafat. Dengan analisa Filsafat, problem-problem yang terdapat dalam pendidikan
Islam dapat dikaji secara ilmiah. Dan yang menjadi kajian pertama dalam analisa
filsafat adalah dimensi ontologisnya.
Ontologi mengkaji hakekat yang ada, yang
tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ia membahas tentang yang ada
universal dan berusaha mencari inti yang terkandung dalam setiap kenyataan.[12]
Dengan kata lain, ontologi adalah teori tentang ada, yang membahas apa yang
ingin kita ketahui.[13]
Secara ontologis, filsafat telah
mengantarkan kita pada kesimpulan tentang adanya sebab pertama (causa prime)
dari adanya sesuatu. Namun filsafat tidak memberikan jawaban secara pasti terhadap
persoalan apa dan bagaimana causa prima tersebut. Dan tidak
demikian halnya dengan Islam yang telah
menegaskan bahwa Causa prima tersebut adalah Dzat yang mengciptakan alam
(Khlaq al-‘Alam), dan sekaligus mengembangkannya (Rabb al-‘Alam),
Dia adalah Dzat Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya.[14]
Sehingga dalam konteks pendidikan Islam, kajian ontologi ini tidak dapat dipisakan
dengan Sang Pencipta-Nya. Dengan demikian, masalah hakekat pendidikan haruslah
mengacu pada pemikiran yang bersumber dari wahyu.
Dengan merujuk pada wahyu,[15]
pendidikan Islam kemudian mengenalkan tiga term, yakni ta’lim, tarbiyah, dan
ta’dib. Namun dalam implementasinya, terjadi silang pendapat antar para
tokoh. Al-Ghazali cenderung menggunakan istilah ta’lim dari pada tarbiyah
atau ta’dib. Sementara Syed Muhammad Naquib al-Attas lebih condong pada konsep
ta’dib. Ia berpendapat bahwa istilah tarbiyaah memiliki obyek yang
sangat luas, termasuk juga hewan di dalamnya. Sedangkan ta’dib, mencakup
pengertian pendidikan untuk manusia.[16]
Dalam identifikasi Abdur Rahman Assegaf, ta’lim lebih cenderung pada pola
pengajaran yang lebih menekankan pada proses transfer ilmu, sementara tarbiyah
dan ta’dib adalah aktivitas pendidikan yang menekankan pada interaksi edukatif
antara guru dan murid.[17]
Ketiga konsep ini sebenarnya saling
mengakomodasi satu sama lain dan harus dijalankan secara bersamaan dengan porsi
yang seimbang. Dengan konsep ta’lim, peserta didik akan sampai pada aspek
pengetahuan dengan nalar kognitif. Sementara konsep tarbiyah dan
ta’dib akan mengarahkan peserta didik pada dimensi afektif dan
psikomotorik.[18]
Menghilangkan satu aspek, sama halnya dengan mengebiri pendidikan Islam itu
sendiri. Dan cita luhur untuk mewujudkan manusia yang memiliki kompetensi
kesalehan individual dan sosial hampir bisa dipastikan tidak akan tercapai.
Dengan demikian, dalam analisa
ontologis, pendidikan Islam tdak dapat dipisahkan dari dimensi ilahiah (wahyu).
Semua komponen yang terkandung dalam sistem pendidikan akan disarikan dari
wahyu ilahi. Selain dari lahirnya term-term tertentu dalam pendidikan Islam,
hal itu juga dapat dilihat dari beberapa pembahasan tentang persoalan-persoalan
pendidikan yang mengacu teks ilahiah.
Pertama,
rumusan tujuan pendidikan Islam yang secara umum diorientasikan untuk membentuk
insan kamil (Abdullah dan khalifah Allah). Konsepsi tujuan
ini adalah konsekwensi logis dari al-Qur’an yang memproyeksikan manusia untuk
mengabdi kepada Allah dan menjadi khalifah-Nya. Tujuan ini tidak hanya
mengandung dimensi normatif pada pembetukan religious beings, tetapi
juga mencakup pada pembentukan manusia sebagai historical beings yang
memiliki kesadaran dalam konteks sosial yang berhadapan dengan dimensi-dimensi
multikultural, seperti gender, ras, agama, politik, dan budaya.[19]
Oleh karenanya, pendidikan Islam seyogyanya tidak menafikan dimensi-dimensi
kehidupan yang membentuk habitus sosial ini.
Implikasi
dari fenomena di atas adalah bahwa konstruksi kegiatan pendidikan Islam tidak
hanya menekankan pada pembangunan moral semata, tetapi juga perlu melihat aspek-aspek
lain yang cukup dominan dalam mengarahkan peserta didik dalam menjalani
aktivittas sosialnya. Dalam hal ini, perlu adanya pembelajaran yang juga mampu
membangun kesadaran krtis peserta didik. Karena dalam habitus sosial, seringkali
muncul pertarungan pelbagai kepentingan dan idiologi tertentu. Dan idiologi
dominanlah yang akan mempengaruhi wajah sosial masyarakat.
Konteks kesadaran kritis di sini tidak
hanya berbentuk pada penguatan ketrampilan berpikir semata, tetapi juga mampu
menstransformasikannya dalam kehidupan sosial dan kultural. Dengan demikian,
peserta didik akan mampu mengatasi situasi-batas (limit situation) dan
aksi batas (limit action), yakni kemampuan untuk membentuk dan
mengontrol kehidupan mereka, sehingga dapat terlepas dari segala bentuk
penindasan yang semena-mena.[20]
Implikasi lain dari konsepsi
tujuan tersebut menuntut para praktisi pendidikan Islam agar membuka ruang pada
daya nalar untuk merokonstruksi khazanah klasik yang sementara ini hanya diamini
secara dogmatif. Sikap dogmatif adalah bertentangan dengan konsepsi tujuan
pendidikan Islam yang menyiratkan bahwa manusia sebagai khalifah Allah mengandung
proses dinamisasi yang tidak terjebak pada waktu tertentu. Sementara tradisi
dogmatif adalah bentuk pelanggenan sesuatu dan tidak mengapresiasi keniscayaan
perubahan.
Kedua, analisa
ontologis terhadap pendidikan Islam tampak pada lahirnya teori fitrah dalam pendidikan.
Fitrah berarti potensi yang dimiliki manusia untuk menerima agama, iman, dan
tauhid serta perilaku suci.[21]
Meski semua manusia memiliki potensi ini tidak serta merta secara aktual
tewujud dalam kenyataan. Dalam perkembangannya, potensi yang berwujud fitrah
dapat tertutupi oleh polusi jika tidak mendaptkan perhatian secara seksama,
karena fitrah bisa bertambah atau berkurang. Dan di sinilah arti penting
pendidikan Islam.
Konsep fitrah dalam Islam berbeda
dengan teori tabula rasa Jhon Locke, sebab dalam teori tabula
rasa, manusia dipandang sebagai kerta putih bersih yang terbebas dari
coretan. lingkunganlah yang mengisi coretan dalam kertas putih tersebut.
Artinya, manusia terlahir dalam keadaan pasif. Sebaliknya, fitrah memandang
manusia lebih dari ibarat kertas putih dan bersih, karena dalam diri manusia
terdapat potensi yang terbawa sejak lahir, yakni daya untuk menerima agama atau
tauhid.[22]
Perbedaan yang signifikan antara konsep fitrah
dan teori tabula rasa terletak pada konsepsi manusia, apakah ia pasif atau memiliki
potensi aktiv sejak lahir. Dalam tabula rsa, manusia adalah pasif dalam
kelahirannya, sementara fitrah mengakui bahwa manusia memiliki potensi
aktiv dalam kelahirannya. Meski demikian, konsepsi fitrah tidak menafikan pengaruh lingkungan
terhadap pembentuk karakter manusia. Lingkungan hanya dianggap salah satu
faktor yang bisa menjadi bertambah atau berkurangnya fitrah tersebut.
Dalam implementasinya, konsepsi fitrah
tidak hanya mengandung dimensi spritual-religius untuk bertauhid. Fitrah
juga aspek fisik-materiil dan sosial.[23]
Hadis berikut mengindikasikan dimensi fisik-matriil dal fitrah:
حَدَّثَنَا
عَلِيٌّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ الزُّهْرِيُّ حَدَّثَنَا عَنْ سَعِيدِ بْنِ
الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رِوَايَةً
الْفِطْرَةُ خَمْسٌ
أَوْ خَمْسٌ مِنْ الْفِطْرَةِ الْخِتَانُ وَالِاسْتِحْدَادُ وَنَتْفُ الْإِبْطِ
وَتَقْلِيمُ الْأَظْفَارِ وَقَصُّ الشَّارِبِ
“Telah menceritakan kepada kami Ali telah
menceritakan kepada kami Sufyan, Az Zuhri mengatakan; telah menceritakan kepada
kami dari Sa'id bin Musayyab dari Abu Hurairah secara periwayatan, fitrah itu
ada lima, atau lima dari sunnah-sunnah fitrah, yaitu; berkhitan, mencukur bulu
kemaluan, mencabut bulu ketiak, memotong kuku dan mencukur kumis.” (HR.
BUKHARI - 5439). [24]
Dari hadis ini, jelas kiranya bahwa
konsespi Fitrah juga menakankan perhatiannya pada aspek fisik-matriil
manusia. Maka, tanpa pemenuhan aspek ini, sama halnya dengan mereduksi nilai fitrah
manusia. Dengan kata lain, fitrah tidak mengenal dikotomi antara
pemenuhan kebuthan jasmani dan kebutuhan rohani, nilai-nilai yang terkandung
dalam keduanya sama-sama penting untuk diakomodasi dalam sistem pendidikan
Islam.
Adapun konsepsi fitrah yang
menyangkut dimensi sosial dapat dilihat dari ajaran Islam yang mewajibkan umat
Islam pada setiap untuk memberikan sebagian rizkinya pada orang miskin dan mustahiq
lainya, yang diistilahkan dengan zakat fitrah. Dalam hal ini, dengan konsep
fitrah, Islam telah mengajarkan umat Islam untuk memiliki kepekaan dan
solidaritas sosial, tidak sepatutnya seorang muslim hanya menikmati reizkinya
seorang diri tanpa peduli dengan kondisi muslim lainnya yang sedang kesulitan.
Dengan konsepsi fitrah yang multi
dimensi ini, sistem pendidikan Islam sudah semestinya melakukan shift
paradigma dari orientasi religius semata, menuju pada keseimbangan orientasi
sosio-religius. Pendidikan yang tidak hanya menitikberatkan pada pembangunan
akhlak dan persoalan ritual semata, tetapi juga memberikan ruang pada pada
pengembangan daya nalar kritis yang mampu ditransformasikan dalam aktivitas
sosial masyarakat. Dengan demikian, sistem pendidikan Islam akan mengandung
nilai universal selaras dengan jaran Islam yang rahmatan li al-‘alamin.
D. Kesimpulan
Dari pemaparan di atas dapat diambil
generalisasi bahwa dimensi Pendidikan Islam sangat luas, mencakup segala
pngetahuan yang diajarkan dengan menggunakan perspektif Islam. Tetapi dalam
pelaksanaannya, pendidikan Islam dihadapkan dengan berbagai problem yang
kompleks, yakni problem orientasi dan konseptualisasi. Oleh karenanya, sistem
pendidikan Islam perlu bersinergi dengan disiplin keilmuan lainnya. Dan
Filsafat merupakan satu disiplin ilmu yang mampu memberikan sumbangsih untuk
memecahkan persoalan filosofis yang terdapat dalam sistem pendidikan Islam.
Kajian awal dalam Filsafat adalah
ontologi, yang mengkaji esensi dari sesuatu. Tinjaun ontologis dalam sistem
pendidikan Islam dapat dilihat dari adanya term-term seperti tarbiyah,
ta’lim dan ta’dib. Ketiga term itu perlu terakomodasi dalam sistem
pendidikan Islam. Selain itu, tinjaun ontologis juga terdapat pada hakekat
tujuan pendidikan Islam yang menjadi instrument tujuan religius, yakni abdullah
dan khalifah Allah. Pendidikan Islam mengandung dimensi normatif religious
beings dan historical beings yang memiliki kesadaran dalam konteks
sosial. Tinjaun ontologis juga terlihat dengan adanya konsep fitrah dalam
melihat peserta didik. Fitrah diartikan sebagai potensi aktif yang dimiliki manusia
untuk menerima agama, iman, dan tauhid serta perilaku suci. Dimensi fitrah
ini juga mencakup dimensi spritual-religius, fisik-materiil dan sosial.
Daftar Pustaka
Aplikasi Software hadis sembilan imam
Ashraf, Ali, Horison baru
pendidikan Islam, terj. Sori Siregar, Pustaka Firdaus, 1996.
Assegaf, Abdur Rahman, Filsafat
Pendidikan Islam, Jakarta:
Rajawali, 2011.
Habib, “Pengantar Editor”, dalam
Mahmud Arif, Involusi Pendidikan Islam, Yogyakarta: IDEA PRESS, 2006.
Jalaluddin, Filsafat Pendidikan
Islam:Telaah sejarah dan pemikirannya, Jakarta: Kalam Mulia, 2011
M. Agus Nuryanto, “Isu-Isu Kritis dalam
Pendidikan Islam” dalam Nizar Ali & Sumedi (ed), Antologi pendidikn
Islam, Yogyakarta: PPS UIN Suka, 2010.
Noeng Muhajir, Filsafat Ilmu,
Positivisme, Post Positivisme, dan Post Modernisme, Yogyakarta: Rakersan,
2000.
Roqib, Moh, Ilmu Pendidikan Islam, Yogyakarta:
LkiS, 2009.
Suprayogo, Imam, “Rekonstruksi Kajian
Keislaman” dalam M. Zainuddin & Muhammad In’am Esha (ed), Horizon Baru
Pengembangan Pendidikan Islam, Malang: Uin Press, 2004.
Suriasumantri ,,Jujun S. Suriasumantri,
“Tentang Hakekat Ilmu: Sebuah Pengantar Redaksi”, dalam Jujun S. Suriasumantri (ed), Ilmu Dalam
Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu, Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2006.
Susanto, Ahmad, Filsafat Ilmu: Suatu
Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistimologis, dan Aksiologis, Jakarta: Bumi
Aksara, 2011.
[1] Jalaluddin, Filsafat
Pendidikan Islam:Telaah sejarah dan pemikirannya, (Jakarta: Kalam Mulia,
2011), hlm. 121.
[2] Habib, “Pengantar
Editor”, dalam Mahmud Arif, Involusi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: IDEA
PRESS, 2006), hlm. v
[3] Jujun
S. Suriasumantri, “Tentang Hakekat Ilmu: Sebuah Pengantar Redaksi”, dalam Jujun S. Suriasumantri (ed), Ilmu Dalam
Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu, (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2006), hlm. 3
hlm. 5
[4] Ibid, hlm. 9.
[5] A. Susanto, Filsafat
Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistimologis, dan Aksiologis, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2011), hlm. 135.
[6] Jujun, Jujun S.
Suriasumantri, “Tentang Hakekat Ilmu: Sebuah Pengantar… hlm. 35.
[7] Ali Ashraf, Horison
baru pendidikan Islam, terj. Sori Siregar, (Pustaka Firdaus, 1996), hlm.
86.
[8] Jalaluddin, Filsafat
Pendidikan Islam-Telaah sejarah… hlm. 122.
[9] Dr. Moh Roqib, ilmu
pendidikan Islam, (Yogyakarta: LkiS, 2009), hlm. 13
[10] Abdur Rahman Assegaf,
Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Rajawali, 2011), hlm. 22-25.
[11] Imam Suprayogo, “Rekonstruksi
Kajian Keislaman” dalam M. Zainuddin & Muhammad In’am Esha (ed), Horizon
Baru Pengembangan Pendidikan Islam, (Malang: Uin Press, 2004), hlm. 12.
[12] Noeng Muhajir, Filsafat
Ilmu, Positivisme, Post Positivisme, dan Post Modernisme, (Yogyakarta:
Rakersan, 200), hlm. 57.
[13] Jujun S.
Suriasumantri, “Tentang Hakekat Ilmu: Sebuah Pengantar… hlm. 6.
[14] Jalaluddin, Filsafat
Pendidikan Islam… hlm. 123.
[15] Q.S. al-Baqarah (2): 31, QS. Al-Israa’: 24.
[16] Jalaluddin, Filsafat
Pendidikan Islam… hlm. 125.
[17] Abdur Rahman Assegaf,
Filsafat Pendidikan Islam… hlm. 22
[18] Ibid, hlm. 23.
[19] M. Agus Nuryanto,
“Isu-Isu Kritis dalam Pendidikan Islam” dalam Nizar Ali & Sumedi (ed), Antologi
pendidikn Islam, (Yogyakarta: PPS UIN Suka, 2010), hlm. 121.
[20] Ibid, hlm.
114.
[21] Abdur Rahman Assegaf,
Filsafat Pendidikan Islam… hlm. 46.
[22] Ibid, hlm. 47.
[23] Ibid, hlm. 49.
[24] Aplikasi Software
hadis sembilan imam
0 komentar