Translate

Wednesday, April 10, 2013

PENDIDIKAN ISLAM DALAM TINJAUAN ONTOLOGIS



PENDIDIKAN ISLAM DALAM TINJAUAN ONTOLOGIS 
OLEH: M.ADI
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga yogyakarta
Fakultas Usuluddin Agidah dan Filsafa
A.    Pedahuluan
Pendidikan adalah proses, bukan aktivitas spontan yang sekali jadi. Sebagai sebuah proses, maka hakekat pendidikan adalah rangkain aktivitas terprogram, terarah dan berkesinambungan. Ada berbagai komponen yang berfungsi sebagai penopang  terlaksananya aktivitas pendidikan secara efektif dan efisien. Komponen-komponen itu saling berhubungan dan memiliki kebergantungan satu sama lain. oleh karenanya, dapatlah dikatakan bahwa pendidikan adalah kumpulan aktivitas dalam sebuah sistem.
Sebagai sebuah sistem, pendidikan tidak dapat dilepaskan dari kerangka filosofis yang mengkaji tentang masalah pendidikan. Kerangka filosofis yang berbertuk gagasan ini kemudian menjadi landasan dasar dan penunjuk arah bagaimana kontsruksi sistem tersebut dibentuk.[1] Dalam ranah filosofis, hal ini dapat dilihat dari tiga aspek yakni ontologi, epistimologi, dan aksiologi.[2]
Kajian ontologi mengacu pada hakikat yang dikaji.[3] Epistimologi berhubungan dengan prosesnya,[4] yang meliputi sumber-sumber, karakteristik, sifat, dan kebenarannya.[5] Sementara  aksiologi berkaitan dengan nilai gunanya.[6] Perspektif filosofis ini dapat memperkaya horison kita dalam memandang pendidikan Islam. Artinya, kita akan menyadari bahwa pendidikan Islam tidak hanya berkaitan dengan pesoalan Fiqih, tetapi juga mencakup segala cabang pengetahuan yang diajarkan dari sudut pandang Islam.[7] Dan yang menjadi perhatian daam tulisan ini adalah pendidikan Islam dalam tinjaun ontologis.
B.     Identifikasi Problem Pendidikan Islam
Dewasa ini pendidkan Islam tidak lagi diartikan sebagai pendidikan agama semata yang hanya mengkaji tentang persoalan keislaman, tetapi juga mencakup semua cabang pengetahuan yang diajarkan dari sudut pandang Islam. Artinya, dalam pendidikan Islam terkandung gagasan atau prinsip-prinsip tertentu yang saling bertautan dan berkesinambungan. Dalam konteks ini, pendidikan Islam adalah sebuah sistem yang menjalin sinergi kebergantungan dengan berbagai komponen. Dan komponen-komponen yang memiliki fungsi prinsipil tersebut bersumber dari pemikiran filsat, yakni filsafat Islam. [8]
Secara terminologis, pendidikan adalah proses perbaikan, penguatan, dan penyempurnaan terhadap semua potensi manusia.[9] Jika dikaitkan dengan pendidikan Islam, maka proses tersebut adalah upaya mewujudkan pribadi unggul yang memiliki kesalehan individual (Abdullah) dan kesalehan sosial (khaliah fil Ard).
Dalam perkembangannya, pendidikan Islam dihdapkan dengan rpoblem yang cukup kompleks. Menurut Abdur Rahman Assegaf, setidaknya terdapat empat problem utama dalam pendidikan Islam, yaitu:pertama, lack of Vision, pendidikan Islam tidak memiliki visi yang kuat. Hal ini dapat dilihat dari materi dan metodologi yang diajarkan di dunia Islam adalah koian dari Barat.
Kedua, kesalehan individual dan ketertinggalan teknologi, pendidikan Islam yang diajarkan seringkali hanya menekankan pada pemenuhan ibadah makhdah, shalat misalnya. Sementara kategori ibadah ghairu makhdah yang yang dimensinya lebih luas, seperti solidaritas sosial dan kepedulian pada lingkungan, kurang mendapat porsi yang memuaskan. Penyikapan yang sempit terhadap ibadah ini berimplikasi pada keterbelakangan umat Islam dalam teknologi dan sains, dengan memposisikan keduanya diluar ibadah.
Ketiga, dikotomi Ilmu, adanya dikotomisasi ilmu antara ilmu agama dan ilmu umum telah menyebabkan disharmonisasi dalam memahami ayat-ayat ilahiah dan ayat-ayat kauniyah. Relasi ini kemudian mengantarkan pada pemisahan antara dimensi teosentris dan antroposentris.
Keempat, tradisi berpikir normatif deduktif, yang dapat dilihat dari praktik pendidikan Islam yang cenderung pada pola mengajar (teaching, ta’lim) daripada mendidik (education, tarbiyah, ta’dib). Dalam pola mengajar, yang terjadi adalah guru sebagai satu-satunya sumber pengajaran dan menafikan peran dialogis antara guru dan siswa. Proses belajar yang berlangsung seringkali hanya dengan menghafal (kognitif), sementara dimensi sikap dan keterampilan sering terabaikan. Padahal hakikat pendidikan tidak hanya transfer of knowledge, tetapi juga transfer of values (internalisasi nilai) dan transfer of methodology (aplikasi metodologi).[10]
Sementara dalam identifikasi Imam Suprayogo, pendidikan Islam masih terjebak pada pemikiran-pemikiran klasik yang sudah ketinggalan zaman. Para pemikir muslim masih segan untuk melakukan reformulasi dan modernisasi pemikiran. Munculnya perdebatan panjang antara kaum modernis dan tradisonalis adalah bukti nyata bahwa sebagian para pemikir muslim masih takut untuk melakukan pembaharuan pemikiran. Selain itu, umat Islam juga masih mengidap syndrom of inferiority complex, sikap pesimistis dan kurang percaya diri. Hal ini menjadikan umat Islam cenderung untuk meniru dan mengambil tradisi Barat dan meninggalkan tradisi Islam sendiri.[11]
Mengacu pada dua pakar tersebut, identifikasi problem pendidikan Islam terletak pada persoalan orientasi yang dapat dilihat dari problem lack of vision, antara kesalehan individual dan kesalehan sosial, dan problem konseptual, seperti dikotomi, reformulasi pemikiran, dan cenderung hanya meniru tradisi Barat.
C.    Pendidikan Islam dalam Tinjaun Ontologis
Menghadapi problem yang kompleks ini, menuntut pendidikan Islam agar membangun sinergi dengan disiplin lain, salah satunya adalah filsafat. Dengan analisa Filsafat, problem-problem yang terdapat dalam pendidikan Islam dapat dikaji secara ilmiah. Dan yang menjadi kajian pertama dalam analisa filsafat adalah dimensi ontologisnya.
Ontologi mengkaji hakekat yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ia membahas tentang yang ada universal dan berusaha mencari inti yang terkandung dalam setiap kenyataan.[12] Dengan kata lain, ontologi adalah teori tentang ada, yang membahas apa yang ingin kita ketahui.[13]
Secara ontologis, filsafat telah mengantarkan kita pada kesimpulan tentang adanya sebab pertama (causa prime) dari adanya sesuatu. Namun filsafat tidak memberikan jawaban secara pasti terhadap persoalan apa dan bagaimana causa prima tersebut. Dan tidak demikian  halnya dengan Islam yang telah menegaskan bahwa Causa prima tersebut adalah Dzat yang mengciptakan alam (Khlaq al-‘Alam), dan sekaligus mengembangkannya (Rabb al-‘Alam), Dia adalah Dzat Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya.[14] Sehingga dalam konteks pendidikan Islam, kajian ontologi ini tidak dapat dipisakan dengan Sang Pencipta-Nya. Dengan demikian, masalah hakekat pendidikan haruslah mengacu pada pemikiran yang bersumber dari wahyu.
Dengan merujuk pada wahyu,[15] pendidikan Islam kemudian mengenalkan tiga term, yakni ta’lim, tarbiyah, dan ta’dib. Namun dalam implementasinya, terjadi silang pendapat antar para tokoh. Al-Ghazali cenderung menggunakan istilah ta’lim dari pada tarbiyah atau ta’dib. Sementara Syed Muhammad Naquib al-Attas lebih condong pada konsep ta’dib. Ia berpendapat bahwa istilah tarbiyaah memiliki obyek yang sangat luas, termasuk juga hewan di dalamnya. Sedangkan ta’dib, mencakup pengertian pendidikan untuk manusia.[16] Dalam identifikasi Abdur Rahman Assegaf, ta’lim lebih cenderung pada pola pengajaran yang lebih menekankan pada proses transfer ilmu, sementara tarbiyah dan ta’dib adalah aktivitas pendidikan yang menekankan pada interaksi edukatif antara guru dan murid.[17]
Ketiga konsep ini sebenarnya saling mengakomodasi satu sama lain dan harus dijalankan secara bersamaan dengan porsi yang seimbang. Dengan konsep ta’lim, peserta didik akan sampai pada aspek pengetahuan dengan nalar kognitif. Sementara konsep tarbiyah dan ta’dib akan mengarahkan peserta didik pada dimensi afektif dan psikomotorik.[18] Menghilangkan satu aspek, sama halnya dengan mengebiri pendidikan Islam itu sendiri. Dan cita luhur untuk mewujudkan manusia yang memiliki kompetensi kesalehan individual dan sosial hampir bisa dipastikan tidak akan tercapai.
Dengan demikian, dalam analisa ontologis, pendidikan Islam tdak dapat dipisahkan dari dimensi ilahiah (wahyu). Semua komponen yang terkandung dalam sistem pendidikan akan disarikan dari wahyu ilahi. Selain dari lahirnya term-term tertentu dalam pendidikan Islam, hal itu juga dapat dilihat dari beberapa pembahasan tentang persoalan-persoalan pendidikan yang mengacu teks ilahiah.
Pertama, rumusan tujuan pendidikan Islam yang secara umum diorientasikan untuk membentuk insan kamil (Abdullah dan khalifah Allah). Konsepsi tujuan ini adalah konsekwensi logis dari al-Qur’an yang memproyeksikan manusia untuk mengabdi kepada Allah dan menjadi khalifah-Nya. Tujuan ini tidak hanya mengandung dimensi normatif pada pembetukan religious beings, tetapi juga mencakup pada pembentukan manusia sebagai historical beings yang memiliki kesadaran dalam konteks sosial yang berhadapan dengan dimensi-dimensi multikultural, seperti gender, ras, agama, politik, dan budaya.[19] Oleh karenanya, pendidikan Islam seyogyanya tidak menafikan dimensi-dimensi kehidupan yang membentuk habitus sosial ini.
Implikasi dari fenomena di atas adalah bahwa konstruksi kegiatan pendidikan Islam tidak hanya menekankan pada pembangunan moral semata, tetapi juga perlu melihat aspek-aspek lain yang cukup dominan dalam mengarahkan peserta didik dalam menjalani aktivittas sosialnya. Dalam hal ini, perlu adanya pembelajaran yang juga mampu membangun kesadaran krtis peserta didik. Karena dalam habitus sosial, seringkali muncul pertarungan pelbagai kepentingan dan idiologi tertentu. Dan idiologi dominanlah yang akan mempengaruhi wajah sosial masyarakat.
Konteks kesadaran kritis di sini tidak hanya berbentuk pada penguatan ketrampilan berpikir semata, tetapi juga mampu menstransformasikannya dalam kehidupan sosial dan kultural. Dengan demikian, peserta didik akan mampu mengatasi situasi-batas (limit situation) dan aksi batas (limit action), yakni kemampuan untuk membentuk dan mengontrol kehidupan mereka, sehingga dapat terlepas dari segala bentuk penindasan yang semena-mena.[20]
Implikasi lain dari konsepsi tujuan tersebut menuntut para praktisi pendidikan Islam agar membuka ruang pada daya nalar untuk merokonstruksi khazanah klasik yang sementara ini hanya diamini secara dogmatif. Sikap dogmatif adalah bertentangan dengan konsepsi tujuan pendidikan Islam yang menyiratkan bahwa manusia sebagai khalifah Allah mengandung proses dinamisasi yang tidak terjebak pada waktu tertentu. Sementara tradisi dogmatif adalah bentuk pelanggenan sesuatu dan tidak mengapresiasi keniscayaan perubahan.
Kedua, analisa ontologis terhadap pendidikan Islam tampak pada lahirnya teori fitrah dalam pendidikan. Fitrah berarti potensi yang dimiliki manusia untuk menerima agama, iman, dan tauhid serta perilaku suci.[21] Meski semua manusia memiliki potensi ini tidak serta merta secara aktual tewujud dalam kenyataan. Dalam perkembangannya, potensi yang berwujud fitrah dapat tertutupi oleh polusi jika tidak mendaptkan perhatian secara seksama, karena fitrah bisa bertambah atau berkurang. Dan di sinilah arti penting pendidikan Islam.
Konsep fitrah dalam Islam berbeda dengan teori tabula rasa Jhon Locke, sebab dalam teori tabula rasa, manusia dipandang sebagai kerta putih bersih yang terbebas dari coretan. lingkunganlah yang mengisi coretan dalam kertas putih tersebut. Artinya, manusia terlahir dalam keadaan pasif. Sebaliknya, fitrah memandang manusia lebih dari ibarat kertas putih dan bersih, karena dalam diri manusia terdapat potensi yang terbawa sejak lahir, yakni daya untuk menerima agama atau tauhid.[22]
Perbedaan yang signifikan antara konsep fitrah dan teori tabula rasa terletak pada konsepsi manusia, apakah ia pasif atau memiliki potensi aktiv sejak lahir. Dalam tabula rsa, manusia adalah pasif dalam kelahirannya, sementara fitrah mengakui bahwa manusia memiliki potensi aktiv dalam kelahirannya. Meski demikian, konsepsi fitrah tidak menafikan pengaruh lingkungan terhadap pembentuk karakter manusia. Lingkungan hanya dianggap salah satu faktor yang bisa menjadi bertambah atau berkurangnya fitrah tersebut.
Dalam implementasinya, konsepsi fitrah tidak hanya mengandung dimensi spritual-religius untuk bertauhid. Fitrah juga aspek fisik-materiil dan sosial.[23] Hadis berikut mengindikasikan dimensi fisik-matriil dal fitrah:
حَدَّثَنَا عَلِيٌّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ الزُّهْرِيُّ حَدَّثَنَا عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رِوَايَةً
الْفِطْرَةُ خَمْسٌ أَوْ خَمْسٌ مِنْ الْفِطْرَةِ الْخِتَانُ وَالِاسْتِحْدَادُ وَنَتْفُ الْإِبْطِ وَتَقْلِيمُ الْأَظْفَارِ وَقَصُّ الشَّارِبِ
Telah menceritakan kepada kami Ali telah menceritakan kepada kami Sufyan, Az Zuhri mengatakan; telah menceritakan kepada kami dari Sa'id bin Musayyab dari Abu Hurairah secara periwayatan, fitrah itu ada lima, atau lima dari sunnah-sunnah fitrah, yaitu; berkhitan, mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, memotong kuku dan mencukur kumis.” (HR. BUKHARI - 5439). [24]
Dari hadis ini, jelas kiranya bahwa konsespi Fitrah juga menakankan perhatiannya pada aspek fisik-matriil manusia. Maka, tanpa pemenuhan aspek ini, sama halnya dengan mereduksi nilai fitrah manusia. Dengan kata lain, fitrah tidak mengenal dikotomi antara pemenuhan kebuthan jasmani dan kebutuhan rohani, nilai-nilai yang terkandung dalam keduanya sama-sama penting untuk diakomodasi dalam sistem pendidikan Islam.
Adapun konsepsi fitrah yang menyangkut dimensi sosial dapat dilihat dari ajaran Islam yang mewajibkan umat Islam pada setiap untuk memberikan sebagian rizkinya pada orang miskin dan mustahiq lainya, yang diistilahkan dengan zakat fitrah. Dalam hal ini, dengan konsep fitrah, Islam telah mengajarkan umat Islam untuk memiliki kepekaan dan solidaritas sosial, tidak sepatutnya seorang muslim hanya menikmati reizkinya seorang diri tanpa peduli dengan kondisi muslim lainnya yang sedang kesulitan.
Dengan konsepsi fitrah yang multi dimensi ini, sistem pendidikan Islam sudah semestinya melakukan shift paradigma dari orientasi religius semata, menuju pada keseimbangan orientasi sosio-religius. Pendidikan yang tidak hanya menitikberatkan pada pembangunan akhlak dan persoalan ritual semata, tetapi juga memberikan ruang pada pada pengembangan daya nalar kritis yang mampu ditransformasikan dalam aktivitas sosial masyarakat. Dengan demikian, sistem pendidikan Islam akan mengandung nilai universal selaras dengan jaran Islam yang rahmatan li al-‘alamin.
D.    Kesimpulan
Dari pemaparan di atas dapat diambil generalisasi bahwa dimensi Pendidikan Islam sangat luas, mencakup segala pngetahuan yang diajarkan dengan menggunakan perspektif Islam. Tetapi dalam pelaksanaannya, pendidikan Islam dihadapkan dengan berbagai problem yang kompleks, yakni problem orientasi dan konseptualisasi. Oleh karenanya, sistem pendidikan Islam perlu bersinergi dengan disiplin keilmuan lainnya. Dan Filsafat merupakan satu disiplin ilmu yang mampu memberikan sumbangsih untuk memecahkan persoalan filosofis yang terdapat dalam sistem pendidikan Islam.
Kajian awal dalam Filsafat adalah ontologi, yang mengkaji esensi dari sesuatu. Tinjaun ontologis dalam sistem pendidikan Islam dapat dilihat dari adanya term-term seperti tarbiyah, ta’lim dan ta’dib. Ketiga term itu perlu terakomodasi dalam sistem pendidikan Islam. Selain itu, tinjaun ontologis juga terdapat pada hakekat tujuan pendidikan Islam yang menjadi instrument tujuan religius, yakni abdullah dan khalifah Allah. Pendidikan Islam mengandung dimensi normatif religious beings dan historical beings yang memiliki kesadaran dalam konteks sosial. Tinjaun ontologis juga terlihat dengan adanya konsep fitrah dalam melihat peserta didik. Fitrah diartikan  sebagai potensi aktif yang dimiliki manusia untuk menerima agama, iman, dan tauhid serta perilaku suci. Dimensi fitrah ini juga mencakup dimensi spritual-religius, fisik-materiil dan sosial.


Daftar Pustaka
Aplikasi Software hadis sembilan imam
Ashraf, Ali, Horison baru pendidikan Islam, terj. Sori Siregar, Pustaka Firdaus, 1996.
Assegaf, Abdur Rahman, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Rajawali, 2011.
Habib, “Pengantar Editor”, dalam Mahmud Arif, Involusi Pendidikan Islam, Yogyakarta: IDEA PRESS, 2006.
Jalaluddin, Filsafat Pendidikan Islam:Telaah sejarah dan pemikirannya, Jakarta: Kalam Mulia,  2011
M. Agus Nuryanto, “Isu-Isu Kritis dalam Pendidikan Islam” dalam Nizar Ali & Sumedi (ed), Antologi pendidikn Islam, Yogyakarta: PPS UIN Suka, 2010.
Noeng Muhajir, Filsafat Ilmu, Positivisme, Post Positivisme, dan Post Modernisme, Yogyakarta: Rakersan, 2000.
Roqib, Moh, Ilmu Pendidikan Islam, Yogyakarta: LkiS, 2009.
Suprayogo, Imam, “Rekonstruksi Kajian Keislaman” dalam M. Zainuddin & Muhammad In’am Esha (ed), Horizon Baru Pengembangan Pendidikan Islam, Malang: Uin Press, 2004.
Suriasumantri ,,Jujun S. Suriasumantri, “Tentang Hakekat Ilmu: Sebuah Pengantar Redaksi”, dalam  Jujun S. Suriasumantri (ed), Ilmu Dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006.
Susanto, Ahmad, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistimologis, dan Aksiologis, Jakarta: Bumi Aksara, 2011.




[1] Jalaluddin, Filsafat Pendidikan Islam:Telaah sejarah dan pemikirannya, (Jakarta: Kalam Mulia, 2011), hlm. 121.
[2] Habib, “Pengantar Editor”, dalam Mahmud Arif, Involusi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: IDEA PRESS, 2006), hlm. v
[3] Jujun S. Suriasumantri, “Tentang Hakekat Ilmu: Sebuah Pengantar Redaksi”, dalam  Jujun S. Suriasumantri (ed), Ilmu Dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), hlm. 3
 hlm. 5
[4] Ibid, hlm. 9.
[5] A. Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistimologis, dan Aksiologis, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hlm.  135.
[6] Jujun, Jujun S. Suriasumantri, “Tentang Hakekat Ilmu: Sebuah Pengantar… hlm. 35.
[7] Ali Ashraf, Horison baru pendidikan Islam, terj. Sori Siregar, (Pustaka Firdaus, 1996), hlm. 86.
[8] Jalaluddin, Filsafat Pendidikan Islam-Telaah sejarah… hlm. 122.
[9] Dr. Moh Roqib, ilmu pendidikan Islam, (Yogyakarta: LkiS, 2009), hlm. 13
[10] Abdur Rahman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Rajawali, 2011), hlm. 22-25.
[11] Imam Suprayogo, “Rekonstruksi Kajian Keislaman” dalam M. Zainuddin & Muhammad In’am Esha (ed), Horizon Baru Pengembangan Pendidikan Islam, (Malang: Uin Press, 2004), hlm. 12.
[12] Noeng Muhajir, Filsafat Ilmu, Positivisme, Post Positivisme, dan Post Modernisme, (Yogyakarta: Rakersan, 200), hlm. 57.
[13] Jujun S. Suriasumantri, “Tentang Hakekat Ilmu: Sebuah Pengantar… hlm. 6.
[14] Jalaluddin, Filsafat Pendidikan Islam… hlm. 123.
[15] Q.S.  al-Baqarah (2): 31, QS. Al-Israa’: 24.
[16] Jalaluddin, Filsafat Pendidikan Islam… hlm. 125.
[17] Abdur Rahman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam… hlm. 22
[18] Ibid, hlm. 23.
[19] M. Agus Nuryanto, “Isu-Isu Kritis dalam Pendidikan Islam” dalam Nizar Ali & Sumedi (ed), Antologi pendidikn Islam, (Yogyakarta: PPS UIN Suka, 2010), hlm. 121.
[20] Ibid, hlm. 114.
[21] Abdur Rahman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam… hlm. 46.
[22] Ibid, hlm. 47.
[23] Ibid, hlm. 49.
[24] Aplikasi Software hadis sembilan imam
Load disqus comments

0 komentar