Translate

Tuesday, March 12, 2013

METODE KEILMUAN BARAT DAN ISLAM

METODE KEILMUAN BARAT DAN ISLAM

OLEH: M.ADI
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga yogyakarta
Fakultas Usuluddin Agidah dan Filsafat

A.    Pendahuluan
Pengetahuan merupakan produk kegiatan berpikir yang berangkat dari pertanyaan sederhana, yaitu: apakah yang ingin kita ketahui? Bagaimana cara kita memperoleh pengetahuan? Dan apakah nilai pengetahuan tersebut bagi kita? Dalam perkembangannya, pertanyaan-pertanyaan ini melahirkan Ilmu.
Memahami hakekat ilmu berarti memberikan apresiasi terhadap ilmu secara utuh, kekurangan dan kelebihannya. Ilmu memang telah memberikan kebenaran namun kebenaran keilmuan bukanlah satu-satunya kebenaran. Seyogyanya kita jangan sampai mendewa-dewakan ilmu sebagai satu-satunya kebenaran atau malah berpaling muka darinya karena takut akan ekses negatif dari ilmu.

B.    Sumber dan metode keilmuan Barat
Ilmu membatasi obyeknya hanya pada kejadian yang bersifat empiris, yaitu segala aspek kehidupan yang dapat diuji oleh pancaindra manusia.  Tujuan pembatasan ini adalah untuk memperoleh hakekat obyek empiris dan mendapatkankan inti sarinya yang berupa pengetahuan mengenai obyek tertentu.
Untuk mendapatkan pengetahuan, ilmu membuat beberapa asumsi mengenai obyek-obyek empiris. Asumsi ini berfungsi sebagai penunjuk arah dan landasan bagi kegiatan pengkajian. Dan pengetahuan baru dapat dianggap benar jika asumsi yang dikemukakan dapat diterima. Ilmu menganggap bahwa obyek-obyek empiris yang menjadi kajiannya memiliki keragaman dan sifat berulang, semuanya berjalan secara teratur, bukan hanya kebetulan. 
Berdasarkan pola berpikir manusia, cara memperoleh pengetahuan terbagi dua, yaitu rasionalisme dan dan empirisme. Menurut golongan rasionalisme, ide tentang kebenaran sudah dalam pikiran manusia dan untuk memperolehnya melalui berpikir secara rasional, tidak perlu mempelajarinya melalui pengalaman. Sedangkan menurut golongan empirisme, pengetahuan tidak ada secara apriori di benak manusia, melainkan harus diperoleh melalui pengalaman. Kedua metode ini – secara terpisah – sama-sama berujung pada kebuntuan. Rasionalisme tidak mampu menemukan sumber pengetahuan yang masih tercerai berai. Di sisi lain, empirisme tidak dapat memformulasikn secara utuh dari hasil temuannya. Akhirnya, terjadilah perkawinan antar keduanya menjadi sebuah metode untuk mendapatkn pengetahuan yang benar. Pada perkembangan selanjutnya, gabungan metode ini disebut metode keilmuan.  Rasionalisme memberikan kerangka pemikiran yang koheren dan logis. Sedangkan empirisme menyediakan kerangka pengujian dalam memastikan suatu kebenaran. Dengan demikian, suatu pengetahuan baru dapat dinyatakan benar jika sudah mendapatkan dukungan dari keduanya.
C.    Proses Kegiatan Keilmuan Barat
 Manusia berpikir kalau sedang menghadapi masalah. Dalam kegiatan keilmuan, masalah dikenal dalam dua bentuk. Pertama, masalah yang belum pernah diteliti sebelumnya, sehingga jawaban atas masalah tersebut merupakan pengetahuan baru.  Penelitian dalam memcahkan masalah ini dinamakan penelitian murni. Kedua, masalah sebagai konsekwensi praktis dari pengetahuan yang telah diteliti sebelumnya. Penelitian dalam memecahkan masalah yang kedua ini disebut penelitian terapan. Ilmu yang berhubungan dengan masalah pertama dikenal sebagai ilmu  murni, sedangkan ilmu yang berhubungan dengan masalah kedua disebut ilmu terapan.
Masalah pada hakekatnya adalah pertanyaan yang mengundang jawaban. Sebuah pertanyaan berpeluang dapat dijawab dengan tepat jika dirumuskan dengan baik. Pertanyaan yang baik mencakup pernyataan tentang faktor-faktor yang telibat dalam masalah tersebut dan hubungan logis yang ingin ditemukan antar keduanya dan pertanyaan ini sudah merupakan setengah jawabannya.  Oleh karena itu, Perumusan masalah yang baik adalah langkah pertama dalam kegiatan keilmuan. langkah selanjutnya adalah penyusunan hipotesis, yaitu dugaan mengenai hubungan antara faktor-faktor yang terlibat dalam suatu masalah.
Hipotesis ini dianggap benar secara keilmuan jika didukung oleh fakta. Fakta adalah segala sesutu yang ada.  Fakta-fakta itu dapat diturunkan dari deduksi hipotesis yang kemudian menghasilkan konsekwensi logis dari pernyataan yang diajukan. Di sini, terjadi proses penyusunan teori sebagai kerangka pemikiran yang menjelaskan struktur hubungan antara faktor-faktor yang terlibat dalam suatu masalah. Teori ini kemudian diuji secara empiris dengan cara mendeduksikan kosekwensi dari hipotesis. Secara rinci, proses kegiatan keilmuan dibagi dalam empat langkah, yakni permusan masalah, penyusunan hipotesis, deduksi dari hipotesis, dan pengujian.
Dalam menemukan fakta-fakta, kepercayaan adalah faktor penting yang tidak dapat dinafikan. Tapi konteks kepercayaan yang dimaksud adalah tidak seperti kepercayaan dalam bidang non ilmu, kepercayaan yang ganjil, fantastis, dan tidak rasional. Kepercayaan dalam konteks keilmuan adalah sesuatu yang terkontrol, teratur, dan rasional.  Kepercayaan yang berkorelasi dengan fakta disebut kebenaran.  Dan kepercayaan inilah yang menjadi subkelas dari pengetahuan. 
Sebuah kepercayaan dapat menjadi pengetahuan manakala ia didukung oleh bukti yang terdiri dari fakta yang tidak diragukan lagi, pada satu sisi, dan prinsip-prinsip tertentu yang menjelaskan proses penarikan kesimpulan dari sebuah fakta. Secara tradisi, fakta adalah apa yang diberikan persepsi dan ingatan, sementara prinsip-prinsip penarikan kesimpulan adalah logika deduksi dan logika induksi. 
D.    Sumber dan Metode keilmuan Islam
Secara umum, terdapat dua aliran untuk memperoleh pengetahuan. Pertama, idealisme-rasionalismse yang menakankan pada peranan “akal, idea, kategori dan form” sebagai sumber pengetahuan. Aliran yang kedua adalah realisme-empirisme yang mementingkan peran indra sebagai sumber pengetahuan.  Dan penggabuangan dua aliran sumber pengetahuan ini dikenal sebagai metode keilmuan.  Sebenarnya masih terdapat sumber pengetahuan yang lain, yaitu Intuisi. Namun sumber yang terakhir ini tidak banyak digunakan di dunia Barat.
Dalam tradisi Islam, terdapat sumber lain yang ditengarai memiliki validitas paling tinggi diantara sumber-sumber lainnya, yaitu teks. Bahkan sebagian kalangan menyatakan bahwa teks adalah satu-satunya sumber pengetahuan, sedangkan sumber-sumber lainnya  hanya berfungsi sebagai validitas teks. 
Dalam perkembangan tradisi Islam, terdapat tiga model epistimologi, yaitu bayani, irfani, dan burhani. klasifikasi model epistimologi disesuiakan dengan unsur treatment yang berbeda dalam memperlalakukan sumber-sumber pengetahuan Islam (teks, akal dan intuisi).
1.    Model Epistimologi Bayani
Kata bayani berasal dari Bahasa Arab yang berarti penjelasan. Secara terminologis, digunakan dalam dua arti (1) aturan-aturan penafsiran wacana. (2) syarat-syarat memproduksi wacana.  Dalam memperoleh pengetahuan, epistimologi bayani menggunakan dua cara (1) berdasarkan redaksi teks yang dikaji secara lingustik, nahwu-Sharaf sebagai alat analisis. (2) metode qiyas atau analogi, dengan melihat hubungan antar tiga aspek,  yakni ashl, far, dan illat.
2.    Model Epitimologi Irfani
Irfani bersal dari kata dasar Bahasa Arab arafa, yang semakna dengan ma’rifat-pengetahuan. Secara terminologis, digunakan sebagai pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakekat oleh Tuhan kepada hambanya setelah adanya olah rohani (mujahadah) yang dilakukan atas dasar cinta. Pengetahuan irfani bersumber dari realitas kesadaran diri (kasyf) dan objeknya bersifat immaterial dan esensial. 
Menurut suharawardi yang dikutip oleh Khudori, secara metodologis terdapat tiga fase untuk memperoleh pengetahuan irfani. Yaitu persiapan, penerimaan dan pengungkapan. Pada tahap persiapan, seseorang harus menjalani kehidupan spritual seperti, seperti taubah, wara’, zuhud, fakir, sabar, tawakal dan ridla. Dalam fase penerimaan, seseorang yang mencapai tingkat tertentu akan mendapatkan pengetahuan langsung dari Allah secara ilumintif. Sedangkan tahap terakhir adalah pengungkapan pengalaman yang telah diperoleh melalui pengetahuan irfani.
3.    Model Epistimologi Burhani
Untuk memperoleh pengetahuan, nalar burhani menyandarkan pada kekuatan rasio dengan menggunakan dalil-dalil logika. Sementara dalil agama akan diterima selama tidak bertentangan dengan logika rasional. 
Secara sederhana, burhani adalah aktivitas berpikir untuk menetapkan kebenaran preposisi melalui pendekatan induktif (istidraj) dengan mengaitkan preposisi yang satu dengan preposisi lainnya yang telah terbukti kebenarannya secara aksiomatik.
Dalam ketiga model epistimologi tersebut, tampaknya empirisme tidak memiliki tempat dalam tradisi Islam. Secra implisit , ketiga model epistimologi itu hanya menaruh perhatian pada teks, intuisi dan rasio.
E.    Kritik terhadap metode keilmuan Islam
Teks Al-Qur’an memiliki status yang paling tinggi dalam dinamika perkembangan Islam. Dan faktor eksistensial Al-Qur’an lah yang menentukan distingsi antara metode keilmuan Barat dan Islam baik dari segi sumber maupun metodenya.
Dalam khazanah Islam, terdapat tiga model epistimologi yang dikenal secara umum. Yaitu bayani, Irfani dan burhani.  Ketiga epistimologi ini – dalam sejarahnya – telah menunjukkan keberhasilannya masing-masing. Nalar bayani telah membesarkan disiplin ilmu hukum (Fiqh) dan teologi (kalam), nalar Irfani menghasilkan teori dalam sufisme, dan nalar burhani mengantarkan Filsafat Islam dalam puncak kejayaan.
Kendati demikian, tidak berarti bahwa ketiga model epistimolegi itu terbebas dari sorotan kritik. Diantara kritik tersebut adalah hegemoni dan dominasi nalar bayani yang kemudian melahirkan indoktrinasi yang tumbuh subur dalam khazanah Ilmu keislaman, dengan kata lain telah mensyakralkan pemikiran keagamaan dalam Islam. Al-Qur’an yang semula bersifat terbuka, polyinterpretable, historis-spritual, dan elastis, kini berubah sifat menjadi tertutup, final, ahistoris, dan kaku. 
Selain itu, menurut Amin Abdullah, masing-masing model Epistimologi tersebut ternyata memiliki kelemahan jika digunakan secara independen. Nalar bayani cenderung bermental dogmatik  defensif, dan apologetik ketika berhadapan dengan perbedaan, yang disebabkan oleh kuatnya otoritas teks dan menjadikan rasio hanya sebagai fungsi sebagai pengawal teks. Kelemahan nalar irfani terletak dalam pembakuan term seperti ilham dan kasyf dalam tarekat dan wirid-wirid tertentu, tentunya hal ini menjadikan nalar irfani bersifat eksklusif dan sulit dijangkau. Sedangkan nalar burhani sementara ini masih meletakkan rasionalitas dengan model induktif-deduktif. Sehingga tidak mampu mengimbangi dinamika pemikiran kontemporer.
Dari deskripsi kelamahan tersebut melahirkan inisiatif untuk menggabung ketiganya. Dalam istilah Amin Abdullah, penggabungan dalam bentuk “hubungan sirkuler”, yakni membangun hubungan kerjasama yang saling melengkapi antara satu dengan lainnya.  Dengan demikian, besar harapan model epistimologi Islam mempu bersinergi dengan perkembangan pemikiran kontemporer.
Problem lain yang juga menjadi sorotan dalam model epistimologi Islam adalah tidak adanya pengembangan teori empirisme-indrawi laiknya yang terjadi di Barat.  Padahal dalam metode keilmuan, peranan empirimse memiliki urgensitas yang sangat tinggi. Mengingat bahwa metode keilmuan adalah perkawinan antara rasionalisme dan empirisme.  Rasionalisme memberikan penekanan pada penjelasan yang koheren dengan pengetahuan sebelumnya, atau  penyusunan teori dengan deduksi. Sedangkan empirisme berada dalam wilayah pengujian teori yang didasarkan pada fakta-fakta.
Dengan demikian, penghilangan sense of empirisme sama halnya dengan peniadaan aspek pengujian secara ilmiah. Dan tanpa pengujian ilmiah, sebuah teori tidak akan mendapatkan legitimasi kebenaran yang syah secara keilmuan.
F.    Kesimpulan
Dari tulisan di atas, dapat ditari garis besar bahwa signifikansi perbedaan metode keilmuan barat dan Islam terletak pada obyek dan sumber untuk memperoleh pengetahuan. Dalam metode keilmuan Barat, obyek pengetahuan hanya dibatasi pada obyek empiris dan sumber pengetahuan diperoleh melalui maksimalisai akal (rasionalisme) dan pengamatan indrawi (empirisme). Penggabungan dari keduanya dikenal dengan metode keilmuan. Rasionalisme memberikan kerangka pemikiran yang koheren dan logis. Sedangkan empirisme menyediakan kerangka pengujian dalam memastikan suatu kebenaran.
Sementara dalam metode keilmuan Islam, sumber primer pengetahuan adalah teks ilahiah, akal dan indra berfungsi sebagai penyokong kebenran teks. Sehingga dalam perkembangannya, dikenal tiga aliran utama dalam metode keilmuan Islam, yakni bayani, burhani, dan irfani. Nalar bayani telah membesarkan disiplin ilmu hukum dan teologi, Irfani menghasilkan teori sufisme, dan burhani mengantarkan Filsafat Islam dalam puncak kejayaan. Namun ironisnya, ketiga epistemologi itu tidak memberikan ruang pada aspek empirisme yang berada dalam wilayah pengujian teori padahal peniadaan aspek pengujian sama halnya dengan menghilangkan legitimasi kebenaran ilmiah.

DAFTAR PUSTAKA

Amin Abdullah, “Aspek Epistemologis Filsafat Islam” dalam Irma Fatimah (ed), Filsafat Islam: Kajian Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis, Prospektif, Yogyakarta: Lesfi, 1992.
Bertrand Russerl, “Fakta, Kepercayaan dan Pengetahuan” dalam Jujun S. Suriasumantri (ed), Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006.
Shaleh, A. Khudori Shaleh. Wacana Baru filsafat Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Sibawaihi. Eskatologi Al-Ghazali dan Fazlur Rahman. Yogyakarta: Islamika, 2004.
Jujun S. Suriasumantri, “Tentang Hakekat Ilmu: Sebuah Pengantar Redaksi”, dalam  Jujun S. Suriasumantri (ed), Ilmu Dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006.
W. M. Davis, “Kaidah-Kaidah Ilmu yang Masuk Akal: Suatu Dongeng Tentang Pasang” dalam Jujun S. Suriasumantri (ed), Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006.

Load disqus comments

0 komentar