Translate

Tuesday, January 31, 2017

Ahok. FPI dan Akal Sehat

Ahok. FPI dan akal Sehat

Menjelang Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jakarata 2017,  samapai hari ini, masyarakat kita masih disuguhi isu-isu seputar penistaan Agama. Tidak tanggung-tanggung, isu ini mampu mereduksi masyarakat kita sendiri menjadi dua Kubu. Satu kubu adalah mereka yang pro Ahok, sedangkan satu kubu lagi adalah mereka yang pro FPI. Kesimpulan seperti ini tentunya merupakan kesimpulan dari saya. Namun memang demikianlah yang terjadi; ada histori pengetahuan yang menbuat kesadaran kita absurd. hal ini terjadi akibat penggiringan media yang sedemikian sengitnya kayak dunia sudah mau kiamat. orang yang pro terahadap FPI dia mangaku paling punya agama dan paling benar.  ada yang anggap menista agama bahakan ualama sering jadi sasaran dari kelompok ini. sedangkan orang yang pro terhadap hadap Ahok akan menangkal semua argumen tersebut. ia itualah gambaran politik.



untuk menghakimi asumsi ini tentunya ada beberapa pertanyaan, apakah Ahok benar-benar telah menistakan Agama?. logika normal akan tentu bisa menjawab dengan mudah, atas tudingan pernyataan ahok bahwa ada oknum yang sering menyalahgunakan agama untuk kepentingan kelompoknya.  dewasa ini kita tentu bisa membuat kesimpulan. Bahwa bukanlah surah al-Maidah itu sendiri yang berbohong ketika Ahok mengatakan, “Jangan mau dibohongi pakai surah al-Maidah”, melainkan ada subjek yang berbohong.



Fakta bahwa orang membuat kesimpulan yang berbeda seringkali bukan karena ia tidak mampu menggunakan akal sehatnya, bukan pula karena ia tidak memiliki akal sehat sama sekali, melainkan karena ia mengingkari suara akal sehatnya sendiri hanya demi cintanya yang patologis terhadap Agama. Padahal keberlangsungan suatu Agama menuntut akal sehat para penganutnya, bukan cinta yang tidak berdasar.

Perkataan Ahok diatas, yang memicu terjadinya kontroversi, akan lebih tepat jika dimaknai sebagai ungkapan preskriptif ketimbang deskriptif. dalam ungkapan Filsafat dia lebih tepat di sebut sebagai ungkapan das sollen (Apa yang seharusnya) ketimbang das sein (Apa yang senyatanya). Oleh karena itu, terlepas dari apakah subjek yang berbohong tersebut benar-benar riil atau tdak, tidak akan menciderai makna yang dikandung ungkapan itu sendiri; bahwa setiap orang, kapan pun dan di mana pun, tidak boleh membohongi masyarakat terlebih-lebih jika itu dilakukan dengan menggunakan Ayat-ayat Suci.

Dari ungakapan saya di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa Ahok tidaklah menistakan Agama. Permasalahannya kemudian adalah, dapatkah Agama itu dinistakan? Pertanyaan di atas akan membuat ide tentang penistaan Agama itu sendiri menjadi absurd. Itulah mengapa akan menjadi absurd pula membuat dikotomi antara mereka yang sengaja menistakan Agama dengan mereka yang membela Agama dari penistaan itu sendiri.

Anggapan bahwa Agama dapat dinistakan tentu tidak sama dengan mengatakan bahwa Agama itu sendiri secara intrinsik telah ternistakan. Agama adalah suci, dan kesuciannya tidak akan terciderai sekalipun ia dicecar dengan ribuan penistaan. Terkait dengan Ahok, terlepas dari dapat atau tidaknya Agama itu dinistakan, senyatanya ia tidaklah menistakan Agama.

Dengan tulisan ini penulis tidak bermaksud mengungkapkan rasa simpati terhadap Ahok hanya karena ia adalah Ahok, melainkan sejauh Ahok itu sendiri berada di pihak yang benar. Dan sekalipun Ahok berada pada pihak yang benar, hal itu tidak akan pernah cukup untuk menjadikannya Tuhan yang patut diper-Tuhan-kan. Demikian dengan FPI, dengan segala kekeliruannya, tidak akan pernah cukup untuk menjadikannya kumpulan para Preman yang patut di Untuk di Penjarakan. Biarkan kebenaran itu Bicara dengan sendirinya tak pantas kita untuk saling mendewakan atau bahakan kita saling menghujat untuk kepentingan


* Tulisan ini dimuat di Satu Nusa News*
Selanjutnya

TUHAN

TUHAN

Sajak tuhan dan agama bertengger di atas kepalaku. Mencari sajak pembenaran. Agamawan menggaung menari dengan ayat-ayat suci.

tuhan gemarlah kamu kemari menengok kami. Anak manusia yang masih saja angkuh dengan  ego-ego dan sentimen agamamu.

Kita sering bertikai mengalirkan darah atas Namamu. Hari ini sudah mulai kalap pandanganku. Mana yang benar dan mana yang salah.

Mereka sudah gemar mencari eksistensi tapi keronta akan esensi. Mereka berteriak atas nama agamamu tapi mereka lupa bahwa kamu bisa di jumpai di mana saja. Karena  kamu lebih dekat dengan urat nadi.


Selanjutnya

Sunday, January 22, 2017

Allahu Akbar



Allahu Akbar...!!!
Takbir. Allahu Akbar..... menggelora. masih adakah yang tersisa dari prahara selain
kitab suci dan kebencian? katamu, sembari bergegas pergi
Aku tak begitu sadar, apa pernah mengucapkannya


Geram aku terbangun dari lamunan. berapa kali aku berucap, atau mungkin tak pernah
Tapi kenapa kamu pergi.  mendengar takbirku dan mengingatnya?
Aku ingin mengatakan, kau mungkin benar


Ketika kau melangkah, meningggalkan pagar rumahku
Aku kira kamu masih akan menoleh sejenak. Kau pun
berangkat, meninggalkan suatu masa yang keronta
Menuju sebuah zaman lain yang belum tentu seperti teriakku Allahu Akbar. semoga nada itu tak membuatmu marah lalu pergi dari agamaku kerena eranganku terlalu keras 


Yogyakarta 23 Januari 2017


Selanjutnya

Saturday, January 21, 2017

Aku. Kopi dan Buku

Aku. Kopi dan Buku

Kawan Jangan kau cari aku di warung kopi
Sebab warung kopi  tak lagi
sejuk tuk aku singgahi
Lantaran jengkal kopi tak lagi bisa aku seduh. bagiku dia adalah rentang waktu yang membuatku jauh dari merapal buku.
Kita tak bisa menerka nasib lewat secangkir kopi yg kita habiskan tak perlu ragu
tak perlu aku mengeja, merapal atau menggerutu
Cukuplah sampai disini kita membuat perjanjian tentang aku. secangkir kopi dan buku.
Kawan Cukuplah kamu temui aku di perpustakan atau di rumah saja
Sekali lagi, jangan cari aku di warung kopi
cari saja aku di tempat-tempat buku
tempat aku menerka nasib. 
Selanjutnya

Wednesday, January 18, 2017

BUNUH

BUNUH

Kelak engkau akan menjadi pendekar sejati
Mengikuti arah yang sama denganku
Bawalah senjata warisan Wira Raja
Agar kamu gampang memenggal kepala musuhmu sang
Petapa sejati di baris-baris puisiku dulu.

“cepatlah bunuh mereka araklah bawalah kepala yang aku minta
Agar kita sama-sama menggenggam kepala mereka di depan rumah kita”
Setelah mereka mati matahari akan bernyanyi lagi
Dengan lagu baru yang dimilikinya
Lalu jadilah kita penyair kematian

Atau menemukan sosok kematian baru
Hingga lupa dengan segalanya. Membuat mereka terbelalak lalu aku panggil engkau pendekar sejati dari tanah Madura

“cepatlah bunuh mereka bawalah apa yang aku minta
Agar kita sama-sama menggenggam kepala kepala mereka dekat kraton Songenep”

Setelah kematian menjemput. Mereka Akan tahu siapa kita sang pendekar dari keturunan Wira raja. matahari akan bernyanyi lagi
Dengan lagu baru yang dimilikinya Ole Ulang. Hingga lupa dengan kehidupan Fana ini lalu muncullah kita keturunan Wira Raja


Selanjutnya