KITAB HADIST NON INDUK
(Al-Hakim Dan Ibnu Hibban)
OLEH: M.ADI
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga yogyakarta
Fakultas Usuluddin Agidah dan Filsaf
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga yogyakarta
Fakultas Usuluddin Agidah dan Filsaf
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Pengantar
Kita telah ketahui bersama bahwa Kodifikasi hadis telah dimulai
pada akhir abad pertama hijrah terutama oleh Ibnu syihab al-Zhuhri ( 124 H/742
M), Namun usaha kodifikasi hadis baru sangat gencar dilakukan oleh ulama hadis
pada abad ke-2 dan ke-3 Hijrah. Pada abad kedua kitab hadis paling populer
adalah kitab al-Muwaththa` susunan Imam Malik ibn Anas (179 H/795 M), Kemudian
pada abad ke-3 H, kodifikasi hadis mengalami masa puncaknya, Pada masa ini
bermunculan sejumlah ulama hadis terkenal sebagai penyusun kitab hadis,
Walaupun abad ke-3 ini merupakan puncak penyusunan kitab hadis sehingga kita
kenal dengan sebutan kutub al-sittah, namun ternyata kitab-kitab hadis itu
terutama kutub al-sittah belum dapat menampung, merangkum dan menampilkan semua
hadis Nabi baik kuantitas maupun kualitasnya.[1]Salah
seorang pakar hadis yang menarik pada abad ke-4 H ini adalah al-Hakim
al-Naysaburi dengan karya monumentalnya al-Mustadrak ‘ala al-Shahihain dan juga
karangan ibnu hibban yaitu as-Sahih Ibnu Hibban karena kontroversi sekitar dirinya baik pada
sosok pribadinya, metodenya maupun pada kitab hadis yang disusunnya,
Pertanyaan yang cukup serius mengenai karangan al-malik adalah pada
kitab al-Mustadrak-nya sedangkan ibnu hibban adalah kita sohihnya yaitu shahih
ibnu hibban, kalau al-mustadrak menggunakan kriteria shahihain dalam al-Mustadrak,
maka kitab tersebut dapat dinilai setara bahkan melebihi shahihain
(shahihBukhari dan Muslim), namun mengapa al-Mustadrak justru dinilai jauh
tingkatnya dibanding shahihain padahal ia menggunakan syarat shahihain? Makalah
ini akan mencoba sedikit menguraikan tentang Al Hakim dan Ibnu Hibban dan kitab
keduanya tersebut.
B.
Rumusan
masalah
Berdasarkan
uraian dia atas dapat di tarik kesimpulan bahwa makalh ini akan membahas:
1.
Dari
manakah dua tokoh tersebut muncul?
2.
Apa
saja kitab non induk yang mereka hasilkan?
3.
Apa
kelebihan dan kekurangan kedua kitab non induk tersebut?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Penegrtian
Kitab non induk adalah merupakan kitab yang bukan merupan induk
hadis(kutub as-Sittah), dan kitab non iduk ini adalah merupakan karaya ulama
hadist yang juga sangat besar pengarunhnya, kitab ini muncul pada abad ke IV,
dengan tokohnya yang sangat terkenal yaitu al-Hakim dan ibnu hibban.
1.Al-Hakim
Nama lengkap al Hakim adalah al-Hafizh Abu Abdullah Muhammad bin
Abdullah bin Muhammad bin Hamdun bin Hakam bin Nu'aim bin al-Bayyi' al-Dabi
al–Tahmani al-Naisaburi. Beliau dilahirkan di Naisabur pada hari senin 12
Rabiul awal 321 H, dan wafat pada tahun 405 H, Beliau sering disebut dengan Abu
Abdullah al-Hakim al-Naisaburi atau Ibn al-Bayyi' atau al-Hakim Abu Abdullah,[2]Ayah
al-Hakim, Abdullah bin Hammad bin Hamdun adalah seorang pejuang yang dermawan
dan ahli ibadah yang sangat loyal terhadap penguasa bani Saman yang menguasai
daerah Samaniyyah.
Dalam catatan sejarah daerah Samaniyah pada abad ke III telah
melahirkan ahli hadits ternama diantaranya Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Abu
Daud, al-Tirmidzi, al-Nasa'I, dan ibn Majah, Di tempat inilah al-Hakim
dilahirkan dan dibesarkan, Kondisi sosiokultural ini yang mempengaruhi al-Hakim
sebagai seorang pakar hadits abad IV H, Pada usia 13 tahun (334 H), ia berguru
pada ahli hadits Abu Hatim Ibn Hibban dan ulama-ulama yang lainnya, Al Hakim
melakukan pengembaraan ilmiah ke berbagai wilayah, seperti Iraq, Khurasan,
Transosiana, dan hijaz, Rihlah ilmiah yang dilakukannya untuk mendapat sanad
yang bernilai 'ali (tinggi), nampakknya al-Hakim ingin menerapkan pandangan
al-Bukhari, Al-Hakim telah mensyaratkan tatap muka dengan guru dalam penerimaan
riwayat hadits, meski hanya sekali,[3]
Dalam perjalanan hidupnya yang berlangsung selama 84 tahun, al Hakim telah
melakukan banyak kontribusi dalam bidang hadis melalui karya fonumentalnya al
Mustadrak ala Sahihain namun sebelum menuntaskan kajiannya, beliau yelah
dipanggil oleh Yang Maha Kuasa pada tanggal 3 bulan Safar tahun 405 H,
2. Karya-karya
Al Hakim diantaranya:
Diantara krya alhakim adalah:Al Arba’in, Al Asma` Wa Al Kuna, Al
Iklil fi Dalail An-Nubuwwah, Amali Al ’Asyiyyat, Al Amali,Tarikh
Naisabur,Ad-Du’a, Su`alat Al Hakim li Ad-Daraquthni fi Al Jarh wa At-Ta’dil,
Su`alat Mas’ud As-Sajzi li Al Hakim, Adh-Dhu’afa’, Ilal Al Hadits, Fadhail
Fathimah, Fawa`id Asy-Syuyukh, Ma Tafarrada bihi Kullun min Al Imamain, Al
Madkhal ila ’Ilmi Ash-Shahih, Al Madkhal ila Ma’rifati Al Mustadrak, Muzakki Al
Akhbar, Mu’jam Asy-Syuyukh, Al Mustadrak ala Ash-Shahihain (kitab Ini),
Ma’rifah Ulum Al Hadits, Al Ma’rifah fi Dzikri Al Mukhadhramin, Maqtal Al
Husain, Manaqib Asy-Syafi'i.[4]
Kitab karya al Hakim yang paling terkenal adalah dinamakan al
mustadrak yang artinya ditambahkan atau disusulkan atas al Shahihain. Al Hakim
menamakan demikian kerena berpendapat bahwa hadis-hadis yang terdapat dalam
kitabnya memenuhi kriteria yang terdapat dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim,
sedangkan hadis tersebut belum tercantum dalam kitab Shahih Bukhari maupun
Muslim. Dengan demikian kandungan kitab al Mustadrak dapat kita klasifikasikan
menjadi Empat kemungkinan: (a). Hadis-hadis yang tercantum dalam
al-Mustadrak tidak ada dalam shahihain, baik lafal maupun makna, tetapi
terdapat pada kitab lain. (b). Hadis-hadis yang terdapat dalam al-Mustadrak
lafalnya berbeda dengan hadis yang ada dalam shahihain tetapi maknanya sama.
(c). Hadis-hadis dalam al-Mustadrak melengkapi lafal hadis yang ada dalam shahihain.
(d). Hadis-hadis yang tercantum dalam al-Mustadrak menggunakan sanad yang tidak
digunakan dalam shahihain.[5]
Tertib susunan bab al-Mustadrak, mengikuti pola susunan Bukhari dan
Muslim dalamshahih mereka, karena itu kitab al-Mustadrak termasuk kitab hadis
al-jami’, yaitu kitab hadis yang memuat berbagai studi Islam yang meliputi
bidang akidah, syari’ah dan akhlak. Selain itu di dalamnya terdapat berbagai
hal yang berkaitan dengan tarikh, tafsir, sirah Nabi, sahabat, maghazi,
peristiwa masa silam dan lain-lain. Jumlah hadis dalam al-Mustadrakdiperkirakan
sebanyak 8690 hadis (berbeda dengan jumlah hadis pada al-Mustadrak versi
terbaru di atas) dan 7248 hadis di dalam talkhis-nya.
Syarat hadis shahih menurut al Hakim, tidak berbeda dengan para
ulama hadis, yaitu sanad-nya muttashil, rawi-nya ‘adil, dhabit dan tidak syadz
serta tidak ada‘illah. Perbedaannya hanya pada masalah tasyaddud dan tasahul
serta kriteria minornya seperti tentang konsep ‘adalah dimana al-Hakim
menetapkan syarat ‘adil itu ada tiga yaitu beragama Islam, tidak berbuat bid’ah
dan tidak berbuat maksiat[6]
Al Hakim membagi hadis menjadi 2 bagian saja, yaitu shahih dan
dhaif (hadis hasan tidak termasuk). Hadis shahih itupun bertingkat-tingkat, ada
yang disepakati ke-shahih-annya dan ada pula yang tidak disepakati. Dari
ungkapan hadis yang tidak disepakati ke-shahih-annya itulah antara lain hadis
hasan termasuk dalam kategori hadis shahih. Konsep hadis shahih dan hasan
menurut al-Hakim tidak sama dan tidak sebanding dengan konsep shahih dan dha’if
menurut ulama lainnya. Artinya shahih dan dha’if menurut al-Hakim berbeda
dengan ulama lain meskipun istilah teknis yang dipakai sama. Hadis yang
dianggap hasan oleh ulama lain dimasukkan ke dalam kategori hadis shahih atau
dalam ungkapan al-Hakim disebut shahih al-isnad. Sementara hadis dha’if yang
palsu atau mawdhu’ dalam tingkatan hadis al-Hakim ada yang termasuk hadis mawdhu’
yang dapat dipergunakan.[7]
Dari jumlah itu hadis shahih pada al-Mustadraksebenarnya masih jauh
lebih banyak dari jumlah hadis yang dinilai lemah dan tidak layak. Secara
ringkas penilaian Al-Dzahabi terhadap hadis-hadis al-Mustadrak adalah ada 87
hadismawdhu’, munkar 101 hadis, matruk 60 hadis dan dha’if mencapai 930 hadis.
Namun ada 359 hadis yang tidak dinilai sama sekali oleh al-Dzahabi. Di atas
telah disebutkan bahwa terdapat 87 hadis yang dianggap mawdhu’ dalam
al-Mustadrak. Dari 51 topik dalam 4 jilid al-Mustadrak, topik yang mengandung
hadis mawdhu’adalah sebagai berikut: (a).Sejarah rasul, sahabat, hijrah dan
peperangan berisi 41 hadis mawdhu dari 1637 hadis. (b). Tafsir berisi 10 hadis
mawdhu’ dari jumlah 1063 hadis. (c). Sejarah Nabi pada masa lalu memiliki 6
hadismawdhu` dari 252 hadis. (d). Riqaq memiliki 5 hadis mawdhu’ dari 334
hadis. (e). Al-fitan wa al-malahim memiliki 5 hadis mawdhu’ dari 334 hadis (f).
Salat ada 4 hadis dari 305 hadis. (g). Pengobatan Nabi ada 3 hadis dari 130
hadis. (h). Makanan ada 2 hadis dari 114 hadis. Selain itu ada 11 topik yang
masing-masing memiliki satu hadis mawdhu’ (jadi ada 11 hadis mawdhu’), 11 topik
tersebut adalah: ‘idayn (dari 28 hadis), tathawwu’ (dari 47 hadis), doa-doa
(dari 207 hadis), fara`id (dari 67 hadis), hudud (dari 130 hadis), buyu’ (dari
215 hadis), nikah (dari 105 hadis), jihad (dari 193 hadis), memerangi
pemberontak (dari 26 hadis), fadha`il al-Qur`an (dari 67 hadis) dan ahwal (114
hadis).
3. Tanggapan
Para Ulama’ Terhadap kitab al Mustadrak Al Hakim
Al Mustadrak yang dipandang sebagai karya monumental tidak lepas
dari kritik yang menyanggung dan kritik yang menghujat. Pujian yang ditujukan
kepada al-Hakim, terbukti dari gelar yang dinisbahkan kepadanya oleh para
muridnya dan oleh para ahli hadithsemasa dan sesudahnya, yakni dengan menyebut
al-Hakim sebagai al-Hafidz al Kabir, al-Naqid, al-Shaikh al-Muhadditsin, dan
sebagainya. Sedangkan di antara ulama yang menghujat adalah:
a.
Al-Baihaqi yang merupakan murid al-Hakim,tidak sepakat sepenuhnya bahwa
al-Mustadrak merangkum hadis yang memenuhi syarat shahihahin (Bukahri Muslim).
b.
Abu Sa’id al-Malini (w.412 H) mengatakan bahwa dalam al-Mustadrak tidak ada
hadith shahih yang memnuhi syarat shahihahin. Sebagaimana pernyataannya: “Aku
telah meneliti al-Mustadrak dari awal sampai akhir, dan ternyata tidak ada
satupun hadith yang memenuhi persyaratan shahihahin.
c.
Al-Dzahabi, meski juga mengkritik al-Hakim, tetapi menganggap hujatan al-Malini
terlalu berlebihan. Berdasar penelitian al-Dzahabi, kursng lebih setengahnya
yang memenuhi persyaratan Bukhari Muslim, Bukhari atau Muslim saja.
d.
Muhammad bin Tahir menilai al-Hakim rafidi khabith (Pengikut Syi’ah Rafidah
yang jahat), pura-pura Sunni, padahal pengikut Ali yang fanatik dan tidak
menyukai Muawiyah.
e.
Abdullah Ismail bin Muhammad al-Anshari menilai al-Hakim adalah rawi yang
tsiqqah, faqih, hafdiz, hujjah, rafidih khabith.
Secara global pada umumnya para ulama’ hadith semasa dan pasca
al-Hakim banyak mengkritik kelonggaran al-Hakim dalam menilai keshahihan suatu
hadith. Juga berdasarkan penelitian al-Z{ahabi yang melihat al-Hakim seringkali
melakukan kekeliruan, semisal dinyatakan sesuai syarat shahihahin, padahal
setelah diteliti sesuai syarat Bukhari saja.[8]
2. Ibn
Hibban
Nama lengkap beliau adalah Muhammad bin Hibban bin Ahmad bin Hibban
bin Muaz bin Ma’bad Abu hatim at-Tamimy al-Busty as-Sijistany. Beliau
dilahirkan pada tahun 270 H.884 M di daereh Sijistan, Afganistan (sekarang).
Dan beliau wafat pada tahun 354 Hijriah.[9]Menurut
Az-Zahabi, pada awal tahun 300 Hijriah, Ibn Hibban melakukan pengayaan
intlektual dengan menimba ilmu di beberapa Negara, selain di daerah di mana ia
dilahirkan, ia juga pergi menuntut ilmu ke-Naisabur, Irak, Syam, Mesir, dan
Hijaz… lewat pengembaraannya ini -seperti yang ia sebutkan dalam muqaddimah
kitabnya-, gurunya mencapai ribuan. Akan tetapi dari sekian banyak guru, ia
hanya meriwayatkan hadis lewat jalur kurang lebih 150 guru saja, dan menurut
Ibn Hibban hanya 20 orang guru saja yang paling dhabit dan mu’tamad. Di
antaranya: Abu Ya’la al-Mausuly, Ibn Khuzaymah, Hasan bin Sufyan, dan Abu
‘Arubah al-Harany.
Ibn Hibban adalah seorang ulama yang tidak hanya pandai dibidang
hadis, akan tetapi banyak displin ilmu lain yang ia kuasai, seperti fikih,
kalam, kedokteran, dan ilmu falak. Keahliaanya dibidang fikih bisa kita lihat
dalam pertentangannya dengan pendapat Abu Hanifah pada waktu itu, ketidak
setujuaanya ini ia tuangkan dalam sebuah karya yang setebal 10 jilid[10]
Keahlianya dibidang kalam bisa kita lihat beberapa pemahaman Ibn Hibban
terhadap hadis Rasul SAW, di antaranya adalah hadis nabi Muhammad SAW yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:
Menurut Ibn Hibban, “lewat hadis ini Rasul SAW memberi kabar bahwa
pada akhir zaman nanti ilmu akan berkurang, saya melihat pada dasarnya semua
ilmu akan berkembang kecuali pada displin ilmu satu ini -yang beliau maksud
adalah ilmu hadis dan sunan-, setiap harinya ia berkurang. Ilmu yang Nabi
jadikan khitab kepada umatnya setiap harinya berkurang dengan berkurangnya
orang yang mengetahu sunan, jalan satu-satunya untuk mengetahui sunan adalah
mengetahui para perawi dhaif dan yang ditinggalkan”[11]
Keahliannya dibidang ilmu kalam tidak selalu berhujung manis,
bahkan atas pengaruh ilmu kalamnya ia hampir saja terbunuh, karena gagasannya
membuat bingung umat. Cobaaan ini adalah imbas dari pernyataan Ibn Hibban
“Kenabian dengan ilmu dan Amal”. Gagasan
ini lah yang membuat banyak orang yang memberi cap zindiq kepada Ibn Hibban.
Tidak cukup itu saja, ia juga diusir dari Sijistan dan dilaporkan kepada
Khalifah. Akhirnya Khalifah memutuskan untuk membunuhnya, akan tetapi Ibn Hibban
lari dan bersembunyi.[12]
2.
Tanggapan Ulama terhadap Ibn Hibban
Menurut al-Hakim, Ibn Hibban adalah orang yang peduli terhadap
ilmu, fikih, hadis, bahasa, dan nasehat, ia juga termasuk orang-orang yang
cerdas.Menurut Khatib al-Baghdadi, Ibn Hibban adalah orang baik dan terpercaya,
karyanya juga banyak[13]
Ibn ‘Asir berkomentar, Ibn Hibban adalah imam pada masanya, jumlah
karyanya tidak tertandingi.[14]
3. Karya-Karya
Ibn Hibban
Ibn Hibban adalah salah satu ulama yang sangat produktif, sehingga
banyak sekali peninggalan-peninggalan karyanya yang bisa dimanfatkan oleh
generasi-genarasi berikutnya.Meskipun demikian, tidak semua karyanya bisa kita
temukan. Karya Ibn Hibban yang tidak bisa kita jumpai saat ini adalah: ‘Ilal
Auhām al-Muarrikhīn (kitab ini terdiri atas 10 juz), ‘Ilal hadīst az-Zuhrī (20
jilid), ‘Ilal Hadīst Mālik (10 Juz), Wasf al-Ulum wa ‘Anwā’uhā (30 juz.
Sedangkan Peninggaln Ibn Hibban yang masih dapat kita jumpai adalah: Kitāb
as-Tsiqāt, Kitāb al-Majruhīn min ad-Dhuafā’ wa al-Matrukīn min ar-Ruwwāt. Kedua
kitab ini adalah ringkasan dari Kitāb at-Tārikh karya Ibn Hibban juga, Kitāb Masyāhīr
al-Ulamā’ al-Amshār, Raudhah al-Uqalā’ wa Nuzhah al-Fudhalā’, dan Sahīh Ibn
Hibbān.[15]
4. Sahīh Ibn Hibbān
Kitab ini populer dengan sebutan Sahīh Ibn Hibbān, padahal jika
kita observasi lebih jauh, nama asli kitab ini adalah Al-Musnad as-Sahīh ‘ala
at-Taqāsim wa al-‘Anwā’ min Ghair Wujud Qat’ fī Sanadihā wa la Tsubut Jarh fī
Nāqilihā.
Kata
Taqāsim dan ‘Anwa’ mempunyai maksud tersendiri -mirip dengan metode atau
sistematika penulisan-, yang di maksud
Taqāsim adalah bagian lima:
Pertama,
Perintah-perintah yang Allah wajibkan terhadap hamba-Nya;
Kedua,
Larangan-larangan yang Allah haramkan bagi hamba-Nya;
Ketiga,
Kabar-kabar dari Allah SWT yang wajib diketahui;
Keempat,
Ibahah yang Allah perbolehkan untuk hamba-Nya;
Kelima,
Perbuatan Nabi Muhammad SAW yang ia lakukan sendiri, tidak untuk umat.
Sahīh Ibn Hibbān tidak lepas dari lima bagian ini, setiap bagian
mempunyai aneka ragam bentuk (bab) di dalamnya, misalnya dalam
“Perintah-perintah yang Allah wajibkan terhadap hamba-Nya” ada 110 bab, dan
setiap bab memuat beberapa hadis. Begitu juga pada bagian kedua.Bagian ketiga
memuat 80 bab, bagian keemapat dan kelima memuat 50 bab, jumlah seluruhnya 400
bab.[16]Dalam
hal dua riwayat tsiqah yang bertentangan, satunya marfu’ dan satunyalgi mauquf,
atau satunya mausul dan satunya mursal, Ibn Hibban menggunakan metode untuk menerima
yang marfu’ dan mausul dengan tidak menjelaskan ‘ilat yang lainya, karena
kedua-duanya tsiqah.[17]
Latar belakang penulisan buku ini tertera dalam muqaddimah Sahīh
Ibn Hibbān, yaitu, Ibn Hibban melihat banyak manusia yang berpaling dari Sihah
as-Sunnah, banyak sekali hal-hal aneh dan lemah masuk di dalam hadis. Atas
dasar cinta Ibn Hibban terhadap sunah Rasul SAW kemudian ia mengarang kitab
Sahīh Ibn Hibbān ini. Kecintaanya tidak hanya terwujud dalam bentuk karnya
saja, akan tetapi ia memberikan pernyataan; “Hendaklah manusia menghafal Sunan
dan berpegang teguh dengan metode yang benar seperti yang telah dilakukan oleh
ulama klasik.[18]
Al-Farisy adalah orang yang menyusun Sahīh Ibn Hibbān sehingga
menjadi kitab yang sistematis, diberi nomer, bab fikihnya berurutan… Usaha
Al-Farisy ini menjadikan kitab yang popeler dihadapan kita dengan sebutan
Al-Ihsān bi Tartīb Sahīh Ibn Hibbān. Meskipun demikian, Al-Farisi tidak
melupakan hal-hal penting yang sudah ditetapkan oleh Ibn Hibban, seperti
istinbath fikih-nya dan komentar-nya terhadap beberapa hadis.[19]
BAB III
KESIMPULAN
Dari uraina diatas dapat ditarik sebuah benang merah, bahwa hadist
non iduk itu adalah merupakna cabang
dari hadist yang berkembang dan muncul pada abad IV. Dalam rangka
menyempuranakan dan menlengkapi hadist yang sebelumnya,
Namun yang perlu kita ketahui bersama bahwa munculny tokoh dalam
hadist hadist itu tidak lepas dari sosio historis munculny Tokoh tersebut,
sehingga mnurt penulis orang yag ingin mendalami tentang ilmu hadsit dia harus
tahu disiplin ilmu yaitu rijalul hadsit, agar dia dapat memahami secara utuh
pemikiran dan sosio historis tokoh yang ingin dia pahami. Dan setiap karya
ulama hadist itu prlu di teliti kembali agar kekurangan yang ada dalam hadist
tersebut kita bisa mengethui.
KEPUSTAKAAN
Abdurrahman ,M. Pergeseran
Pemikiran Hadis Ijtihad Hakim dalam Menentukan suatu Hadis,
Jakarta:Paramadina, 2000
Al-Farisi, Al-Amir ‘Alauddin Ali bin
Balban, Al-Ihsān bi Tartīb Sahīh Ibn Hibbān, Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, Bairut- Libanaon, Cet II, 1996
Ash
–shalih Subhi, Dr. membhas ilmu-ilmu
Hadist, pustaka firdaus, Jakrta,
1993
Solahuddin
,M, Drs. M . Ag dan Agus Suyadi , Lc. M,
Ag. Ulumul Hadist. Pustaka setia, Bandung 2011
Tahhan
Muhammad, Dr. Ulumul Hadst, ,Titian Ilahi press,
Imogiri, tegalasri, yogyakarta 1997
Al-khatib muhammad ‘ajaj,2007.Usulul al-hsdist
pokok-pokok ilmu hsdist, jakarta : gaya media pratama.
[1]
Karena itu pada
abad ke-4 gerakan penyusunan kitab hadis terus berlanjut. Pada masa ini muncul
sejumlah ulama hadis seperti al-Daruquthni (w. 385 H/995 M), al-Hakim (w. 405
H/1014 M), al-Bayhaqi (w. 458 H/1066 M), al-Khathib al-Baghdadi (w. 463 H/1071
M), Abu Nu’aym al-Isfahani (w. 430 H/1039 M) dan lain-lain.
[2] Hal ini untuk menghindari kekeliruan nama al Hakim lain yang sama
seperti Abu Ahmad al Hakim, abu ali al Hakim al Kabir atau khlifah Fatimiyah di
Mesir Al Hakim bin Amrullah.
[3] M. Abdurrahman , Pergeseran Pemikiran Hadis Ijtihad Hakim dalam
Menentukan suatu Hadis (Jakarta: Paramadina, 2000) h.29
[4]
Ibid, h.54
[5] Mustadrak (jamak: mustadrakat) adalah salah satu bentuk metode
pembukuan hadis, yang menurut Shubhî Shalih berarti menyusulkan hadis-hadis
yang terlewatkan oleh seorang penulis hadis dalam kitabnya berdasarkan syarat
yang digunakan penulis kitab hadis itu. Sementara menurut Ali Mustafa Ya’qub,
metode mustadrak berarti menyusulkan hadis-hadis yang tidak tercantum dalam
suatu kitab hadis yang lain. Namun dalam menuliskan hadis-hadis susulan itu
penulis kitab pertama mengikuti persyaratan hadis yang dipakai oleh kitab yang
lain itu. Jenis-jenis kitab hadis selain mustadrak adalah kutub al-shihhah,
al-Jawami’ (al-jami’)dan al-masanîd (al-musnad), al-ma’ajim (al-mu’jam),
al-mustakhrajat (al-mustakhraj) dan al-ajza` (juz`). Lihat pengertian
istilah-istilah ini pada: Shubhî al-Shalih, ‘Ulûm al-Hadîts wa
Mushthalahuhu,(Beyrut: Dar al-‘Ilm li al-Malayîn, 1988), h. 117-125. Lihat juga
pengertian istilah-istilah jenis kitab hadis ini pada: Ali Mustafa
Ya’qub,Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), h. 76-80. Namun pada Ali
Mustafa Ya’qub terdapat beberapa istilah yang tidak ada pada Shubhî al-Shalih,
yaitu metode Muwaththa`, mushannaf, sunan, majma’ dan zawa`id.
[6]
Dengan cukup hanya tiga syarat ‘adil ini Syuhudi Ismail menilai
al-Hakim termasuk ulama hadis yang paling sedikit memberikan syarat-syarat
‘adil pada seorang rawi. Penilaian al-Hakim terhadap suatu hadis, walaupun
menggunakan syarat ke- shahih-an yang sama dengan ulama lain, tergantung pada
konteks hadis itu terkait masalah apa. Al-Hakim menerapkan standar yang berbeda
(standar ganda) antara hadis yang berkaitan dengan ajaran pokok dan yang bukan
pokok. Al-Hakim bersikap tasyaddud pada hadis yang berkaitan dengan masalah
pokok (akidah dan ibadah) dan bersikap tasahul pada hadis yang tidak berkaitan
dengan masalah pokok dalam agama (seperti sejarah, fadha`il al-‘amal dan
biografi sahabat).
[7] M. Abdurrahman
, Pergeseran... h. 259-260
[8]
Dikutip dari Al
Hakim Muqaddimah Ma’rifah, shw. Nurun Najwah Al Mustadrak ala Shahihain al
Hakim (dalam buku Studi Kitab Hadis, Yogakarta: TERAS, 2009) h. 255-256
[9] Al-Farisi, Al-Amir ‘Alauddin Ali bin Balban, Al-Ihsān bi Tartīb
Sahīh Ibn Hibbān, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Bairut- Libanaon, Cet II, 1996
M, hlm 5-18.
[10] Ali Hamid Sa’d
bin Abdullah, Op-cit, hlm 145-148
[11] Ibid, hlm
148-149
[12] Ibid, hlm
151-152
[13] Abu Zahwu Muhammad, al-Hadīst wa al-Muhadditsūn, Dar al-Fikr al-‘Araby,
tth, hlm
[14] Al-Farisi,
Al-Amir Alauddin Ali bin Balban, Op-cit, hlm 10
[15] Ali Hamid,
Sa’ad bin Abdullah, Op-cit, hlm 159
[16] Ali Hamid
Sa’ad bin Abdullah, Op-cit, hlm 162-163
[18] Ibid, hlm 160
[19] Ibid, hlm 170
0 komentar